Selasa, 10 Maret 2009

MUSLIM JERMAN

Setelah berpuluh tahun kehadiran Islam dan Muslim cenderung informal, keduanya akhir-akhir ini menghadapi fokus pemindaian publik. Ini adalah hasil dari ketertarikan terhadap subjek Islam yang semakin meningkat, demikian menurut Mounir Azzaoui, mantan juru bicara Badan Muslim Pusat di Jerman (ZMD).

Lima tahun terakhir Islam dikarakteristikan dengan krisis, serangan teroris, diskusi atas karitkatur dan pernyataan Paus; yang terjadi hampir tiga bulan sekali. "Kami selalu memiliki debat besar," ujar Mounir.

Dalam hitungan kasar, tiga perempat Muslim di Jerman merupakan imigran atau keturunan Turki. Jajak Pendapat Representatif menunjukkan 84 % Muslim di Jerman menginginkan tinggal di Jeman. Beberapa 60 ribu diantaranya telah menjadi warga negara Jerman.

Beberapa asosiasi Muslim bahkan mengubah ruangan kerja mereka menjadi tempat sholat temporer demi memfasilitasi kebutuhan keagamaan yang semakin bertambah. Ini kemudian menjadi pertanda nyata pertama kehadiran Muslim di Jerman.

Sedikit demi sedikit, Muslim dan organsasi mereka mencari tempat-tempat yang dapat digunakan beribadah dalam jangka waktu lama. Kini ada lebih dari 2.000 ruang ibadah yang digunakan setiap hari, dan hari ini ada 159 arsitektur ternama bertujuan sebagai masjid yang telah atapun dalam tahap dibangun. Sementara 140 proyek konstruksi serupa masuk dalam tahap perencanaan.

Muslim yang makin bertumbuh melihat fokus jati diri etnis yang masih melekat sebagai salah satu kendala dalam umat Islam. "Ini menjadi masalah, karena warg Muslim terbesar terkait dengan Turki. Seingga koneksi yang ada dalam topik Islam selalu mengarah pada masalah khas Turki," ujar Leyla Massoudi, mahasiswa Muslim di kota Cologne.

Tuntutan keadila dan pengakuan jika mereka juga, seperti hanya grup etnis lain, paling tidak, merupakan bagian pengaruh warga asing.

Mounir sendiri mengatakan status pendidikan dan pengajaran Islam merupakan hal problematik. Benar-benar menjadi masalah utama dari bentuk komunitas maupun organisasi Muslim karena tidak ada pengajaran yang menyoal situasi lokal kehidupan Muslim di Jerman. Lembaga dan organisasi luput dari hal tersebut--yang justru hanya dianggap masalah politik belaka.

Sebagian besar, khususnya generasi muda Muslim dan pemeluk baru, menyatakan tuntutan kebutuhan tersebut. Ada sebuah arus berlawanan, hingga suara lantang yang mengkritik posisi yang dipegang para lembaga Islam. Berdasar pandangan para Muslim di Jerman ada tiga kritik utama yakni kurangnya sistem pengajaran Islam secara independen, kedua ketidahadiran jaringan komunitas Muslim yang berkelanjutan, dan ketiga fokus lembaga Islam masih dominan pada kebutuhan struktural organisasi itu sendiri ketimbang pengembangan masyarakat ke arah luar.

Malik Sezgin, sekretaris jenderal Persatuan Muslim Eropa pun menyepakati kritik terhadap fokus etnis yang masih terjadi di lembaga-lembaga Islam Jerman. Ia sendiri memiliki latarbelakang imigran, namun ia mengatakan Muslim Eropa kini tengah memainkan peranan penting yang semakin meningkat dalam perkembangan Islam di Jerman

"Mereka menjadi elemen kunci perubahan positif komunitas Muslim di Jerman, karena mereka mengerti dan memahami bahasa serta warisan intelektual dan spiritual Jerman," ujarnya

Perjuangan Muslim melakukan integrasi di Jerman meski kadang pasang-surut, namun tetap berlangsung. Seperti saat pendirian KRM, salah satu organisasi Muslim di sana, para anggota dewan berdiri di depan para kuli tinta dan seluruh partisipan terlihat optimis, "Waktunya bagi pekerja pendatang dan imigran telah usai," ujar Kepala Islamic Council, Ali Kizilkaya. "Mayoritas Muslim saat ini lahir di Jerman dan tidak bermigrasi. Kami bagian dari Jerman," imbuhnya.

Meski toh ada pula yang skeptis terhadap perlunya organisasi Muslim seperti Feridun Zaimoglu, penulis terkenal berdarah Turki. "Menginstitusionalkan Islam? Saya tidak tertarik," ujarnya. "Lebih lanjut ia menekankan yang terpenting adalah rasa percaya diri umat Muslim. "Pada intinya Muslim tidak seharusnya menyerah dengan mudah terhadap tekanan," katanya.

Organisasi Muslim memang masih dianggap kurang independen, begitu juga para Muslim dan warga keturunan Jerman yang menjadi muslim masih sedikit yang memiliki visi mengembangkan Islam di tengah-tengah peradaban Jerman. Namun timbul kebutuhan di kalangan pemuda Muslim untuk mengkoreksi pandangan terhadap Islam bukan ke arah fundamentalis, juga tak sekedar berdiam diri dalam masjid dan menjadi esoteris.

Ahmad Gross manajer umum Weimar Institue, institut pendidikan dan budaya Muslim terkemuka tetap optimis terhadap masa depan Muslim di Jerman. "Memang tekanan juga terus bertambah, sehingga harus dipahami keberadaan kita di sini adalah kesempatan yang diberikan Allah. Terlepas dari propaganda sesat dan semacamnya, Barat mulai menemukan Islam sesungguhnya. Setiap orang melewati pintu berbeda-beda tapi pada akhirnya mereka menuju satu tujuan," kata Ahmad

(sumber; Harian Republika, 9 Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar