Selasa, 18 Februari 2014

SANG SAKA MERAH PUTIH

memuja sang saka Merah Putih
bersemedi di bawah tiang bendera
merajut mimpi tentang Mahapatih
semuanya demi Indonesia

Bireuen, 18 Februari 2014 mukhlis aminullah

saya menulis puisi ini berdasarkan imajiner, setelah mengamati ke-Indonesiaan pemimpin-pemimpin kita di tanoeh endatu...
saya sendiri belum pernah memakai topi putih berlambang burung Garuda. entahlah suatu saat.....

10 POTENSI MASALAH PADA PEMILU 2014

Pertama, sosialisasi kandidat calon legislatif tidak optimal karena masih didominasi sosialisasi sosok atau figur, bukan sosialisasi ideologi dan program kerja dijalankan periode 2014-2019.

Kedua, model kampanye peserta pemilu masih bertumpu pada politik visual dengan hanya menjual figur. “Partai politik bukan menjual gagasan atau program konkrit demi perubahan Indonesia ke depan,” ujarnya.

Ketiga, adanya kecurigaan netralitas KPU masih menjadi beban berat bagi parpol dan pemilih, terutama saat menandatangi kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) walaupun akhirnya dibatalkan kedua belah pihak. “Kerja sama ini sempat menjadi kecurigaan didasari memori masa lalu yang dinilai tidak fair dan penuh manipulasi suara dan data pemilih,” kata Boni.

Keempat, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sampai kini belum tuntas diselesaikan KPU. Hal ini bakal menimbulkan kecurigaan munculnya kartu pemilih siluman yang bertujuan menggelembungkan suara partai tertentu.

Kelima, kemunculan dana saksi yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sudah mendapatkan penolakan berbagai kalangan.
“Dana saksi dari APBN ini dinilai tak tepat sasaran, karena seharusnya partai menyiapkan dana sendiri untuk membayar para saksi partai yang ditempatkan di seluruh TPS,” ujar Boni.

Keenam, kecurigaan terhadap aparat keamanan dalam praktik membantu mengamankan kotak suara hasil pencoblosan. Padahal pada Pemilu 2009, ada fakta bahwa aparat keamanan ikut bermain memanipulasi surat suara maupun kotak di TPS yang berbeda dengan apa yang sampai di tangang KPUD. “Kecurigaan ini terkait belum adanya mekanisme pengawasan terhadap petugas keamananm,” katanya.

Ketujuh, kecurigan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak bisa menarik jarak dari KPU, sehingga cenderung menjadi bagian dari penyelenggara Pemilu dan tak bisa diharapkan netral sepenuhnya dalam mengawasi pelaksanaan Pemilu.

Kedelapan, adanya politik uang dalam bentuk langsung maupun tak langsung yang masih menjadi momok penyelenggaraan pemilu.

Kesembilan, kata Boni, tabulasi suara KPU masih dicurigai sebagai peluang manipulasi suara jika belum disiapkan mekanisme transparansi penghitungan suara yang bisa diamati publik sepanjang proses penghitungan suara secara nasional dilakukan.

Kesepuluh kekerasan politik berpotensi terjadi di daerah yang sentimen primodialnya masih kental.


oleh
BONI HARGENS


Senin, 17 Februari 2014

POTENSI TERJADI KORUPSI DITINJAU MENURUT TAHAPANNYA

Berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, ada cukup banyak potensi kecurangan dan korupsi yang dapat terjadi setelah penetapan peserta pemilu, terutama pada tahapan pencalonan, masa kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara, khususnya pada saat menyiapkan perlengkapan pemungutan suara. Adapun perincian potensi kecurangan dan korupsi dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, tahap pencalonan para kandidat. Ada beberapa hal yang cukup rawan di dalam tahapan ini, yaitu penetapan bakal calon, verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, dan penetapannya. Pada partai yang belum mempunyai mekanisme rekrutmen dan standar prosedur pencalonan internal yang baku, tahapan ini cukup kritis. Ada dinamika dan potensi ketegangan pada proses ini, lebih-lebih pada partai yang sedang mengalami pertikaian internal. Politik uang, perilaku patronase, "sikut-menyikut" dan tindak kekerasan, biasa terjadi di dalam tahapan ini.

Proses verifikasi dan penetapan daftar calon sementara juga punya potensi mengalami kecurangan dan korupsi. KPU menjadi pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan verifikasi hingga penetapan calon. Pada keseluruhan proses ini, khususnya terhadap partai yang tidak cukup ketat dan teliti menyiapkan kelengkapan calon dan/atau calon "bermasalah" yang tidak memenuhi persyaratan tetapi secara sengaja tetap mengajukan calon tersebut, ada potensi untuk mempengaruhi lembaga KPU; dan tidak ada jaminan staf administratif KPU tidak tergoda "iming-iming" dan "bujuk rayu" calon bermasalah untuk diluluskan dan ditetapkan sebagai calon. Peran Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya dan kontrol publik menjadi penting untuk meminimalkan potensi kecurangan dan korupsi pada tahapan pencalonan ini.

Kedua, tahapan masa kampanye. Potensi kecurangan dan korupsi pada tahapan ini juga cukup mengkhawatirkan. Ada beberapa titik rawan yang perlu diperhatikan, yaitu ketidakjelasan pengelolaan dana kampanye, penggunaan fasilitas negara dan pemerintahan untuk kampanye, konflik kepentingan dalam menjalankan konsolidasi partai dan mempengaruhi pemilih melalui acara dan program yang dilakukan instansi pemerintahan, perilaku diskriminatif pimpinan dan kalangan pemerintahan yang berafiliasi atau punya favoritisme pada partai tertentu, serta mempengaruhi pemilih dengan politik uang.

Pada tahapan ini juga potensial terjadi provokasi dan eksploitasi penggunaan simbol, etnis, ras, slogan, dan metode black campaign yang menyerang peserta pemilu atau kelompok tertentu. Ketidakmampuan dan/atau sikap diskriminatif di dalam mengelola potensi konflik tersebut akan memicu dan mengubah pola konflik, intensitas, kemasifan, dan penggunaan kekerasan sehingga menimbulkan instabilitas sosial.

Ketiga, tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum proses pemungutan suara dilakukan, pengadaan sarana kelengkapan proses pemungutan menjadi tahapan yang paling potensial menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Pengadaan barang dan distribusi sarana pemilu menjadi kunci sukses pemilu, tetapi sekaligus memerlukan manajemen kepemiluan yang baik. Dana yang sangat besar untuk membiayai tahapan ini punya potensi untuk dikorupsi sehingga lembaga pengawas, termasuk Bawaslu, KPK, dan lembaga watch dog masyarakat, perlu diaktifkan dan diefektifkan untuk mengawasi tahapan ini.

Politik uang untuk mempengaruhi pemilih dan penyalahgunaan kewenangan pejabat pelaksana pemilu potensial dilakukan pada tahapan ini. Sikap dan perilaku kolusif karena keberpihakan, favoritisme, dan afiliasi terselubung biasa terjadi sehingga pelaksana pemungutan dan penghitungan suara harus dikontrol para pemilih. Hal serupa juga dapat terjadi pada tahapan penetapan pemenang pemilu di KPUD kabupaten/kota dan provinsi, selain nasional. Faksionalisasi anggota KPUD dapat menyebabkan proses penghitungan dan penetapan suara di lembaga KPUD menjadi bermasalah.

Pemetaan atas potensi kecurangan dan tindak korupsi, beserta modus operandi kejahatan pada setiap tahapan seperti diuraikan di atas, harus dicegah dan diminimalkan karena akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, bilamana kecurangan dan korupsi yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemilu bersifat masif, pemilu kehilangan justifikasi moral politik dan dapat saja memicu tindakan sebagian kalangan untuk mendelegitimasi proses penyelenggaraan dan hasil pemilu. Atau, setidaknya, pemilu yang dipenuhi oleh kecurangan dan pelanggaran yang bersifat masif tidak akan pernah mampu menghasilkan anggota parlemen dan kepala negara yang punya integritas dan profesionalitas tinggi akibat proses penyelenggaraan pemilu memang tidak berkualitas.

Bambang Widjojanto
ICW

WILAYAH "RAWAN" KORUPSI DALAM PEMILU

Secara umum ada tiga wilayah yang "rawan" korupsi, sehingga potensial menyebabkan terjadinya kecurangan dan pelanggaran perundangan pemilu, yaitu antara lain sebagai berikut:

Pertama, sebagian pejabat negara dan kepala pemerintahan di daerah adalah orang partai yang notabene peserta pemilu, atau setidaknya, pihak yang mempunyai afiliasi dan kedekatan politik tertentu yang berkaitan dengan posisi dan jabatannya. Pejabat negara tersebut mempunyai potensi untuk menggunakan sumber daya yang didasarkan pada jabatan publiknya untuk kepentingan sang peserta pemilu.

Pada level yang paling konvensional, tindakan pejabat negara dimaksud hanya berupa penggunaan atau pemberian sarana dan kesempatan atas fasilitas negara, seolah-olah untuk kepentingan publik. Misalnya saja penggunaan aset pemerintahan, dan melakukan perjalanan dinas yang menggunakan uang negara tapi dipakai untuk melakukan konsolidasi partai sebagai peserta pemilu.

Di dalam tingkat yang lebih "advanced", kewenangan publik yang dimiliki pejabat negara dan kepala pemerintahan digunakan untuk mendapatkan "rente" ekonomi dan politik dari pihak ketiga. Misalnya, mengkapitalisasi kewenangan yang berkaitan dengan perizinan untuk mendapatkan "sumbangan dana" atau memberikan "privilege" dengan kompensasi tertentu bila berpihak atau menjadi bagian dari partainya si pejabat negara atau kepala pemerintahan tersebut.

Kedua, penyusunan anggaran pada instansi teknis, departemen, ataupun APBD/ APBN, serta pelaksanaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD pada akhir tahun mata anggaran rawan untuk dimanipulasi. Kepala daerah, melalui bank milik daerah atau kalangan profesional, dapat "menggunakan" dana APBD melalui permainan di "pasar uang" yang hasilnya disumbangkan kepada partai peserta pemilu. Hal serupa juga potensial terjadi pada BUMN dan BUMD. Fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan parlemen juga akan melemah, karena sebagian anggota parlemen juga punya kepentingan untuk mengkapitalisasi dana agar konsolidasi sumber daya yang dilakukan partai peserta pemilu dengan "eksploitasi" sumber keuangan negara melalui kewenangan publik dapat dilakukan. Misalnya, melaksanakan proyek mercusuar dan/atau konversi program bantuan sosial yang akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.

Ketiga, penyelenggara pemilu menyiasati proses pengadaan barang melalui tender "kolusif" atau penunjukan langsung dengan alasan situasi "darurat" dalam melaksanakan tahapan pemilu. Dana pemilu yang diberikan penyelenggara pemilu untuk membiayai pemilu parlemen dan pemilihan presiden, pelaksanaannya dapat saja berimpitan dengan pilkada kepala pemerintahan. Biasanya, keterlambatan pengeluaran dana dan adanya tahapan yang menumpuk dalam pelaksanaan tahapan pemilu pilkada, pemilihan presiden, dan pemilihan parlemen menyebabkan kontrol menjadi terbatas dan sekaligus membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan tahapan pemilu.

Bambang Widjojanto
ICW

PEMUKIM DEMOKRASI

Jika demokrasi dikiaskan sebagai satu wilayah, demokrasi Indonesia memiliki dua jenis penduduk: imigran dan pemukim asli (native) demokrasi. Saya sengaja menyebut imigran lebih dulu karena dari segi usia dan generasi, imigran demokrasi lebih tua dan lebih dulu ada dari para pemukim yaitu sejak sebelum Indonesia menjadi teritori demokrasi.

Indonesia menjadi teritori demokrasi sejak Reformasi 1998. Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, paling tidak kita sudah memenuhi kaidah-kaidah demokrasi dasar dan prosedural. Sambil jalan, kita terus memperbaiki demokrasi di Indonesia untuk memenuhi substansi demokrasi yaitu cara partisipatif rakyat dalam mewujudkan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera. Dalam beberapa kesempatan saya mengintroduksi istilah “gelombang ketiga” dalam sejarah Indonesia.

Saya menganalogikan perjalanan sejarah terjadi dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi sejak penjajahan hingga kita merdeka. Gelombang ini saya sebut sebagai fase “menjadi Indonesia”, di mana kita menemukan jati diri kita sebagai bangsa dan kemudian negara melalui dua tonggak sejarah besar, Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Gelombang kedua berlangsung sejak merdeka hingga 2014, di mana kita bergulat “menjadi negara-bangsa modern”. Gelombang ini diwarnai dengan usaha mencari sistem ekonomi dan politik yang sesuai sejarah dan budaya bangsa.

Selama lebih dari 60 tahun kita membongkar-pasang berbagai sistem ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya hingga menemukan sintesisnya pada Era Reformasi. Pada 2014 menjadi garis batas karena tahun ini “ujian akhir semester” demokrasi prosedural pasca-Reformasi. Kita sudah mengalami satu masa kepresidenan yang dihasilkan oleh pemilihan langsung.

Satu dasawarsa yang terdiri atas dua periode kepresidenan yang terus berjalan di dalam koridor prosedur demokrasi, dalam arti tanpa ancaman nondemokratis yang signifikan— seperti kudeta atau usaha penggulingan di tengah jalan lainnya—adalah pencapaian dalam praktik demokrasi yang patut kita apresiasi bersama. Gelombang ketiga terjadi sejak 2014 ke depan. Saya belum punya nama karena gelombang ini sedang terjadi dan kita sedang menghirup semangat zaman (zeitgeist) gelombang ini.

Satu fenomena khas dari gelombang ketiga ini adalah kelahiran kelompok “native democracy” atau pemukim demokrasi. (Mungkin dari segi tata bahasa Inggris kurang tepat, saya mohon maaf dan mohon masukan). Tapi, esensinya, kini lahir satu generasi yang hanya mengenal demokrasi sebagai sistem dan cara hidup sejak mereka cukup dewasa dalam melihat lingkungan sekitar. Coba amati. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 adalah mereka yang lahir pada rentang 1992-1997.

Ketika sekolah dasar mereka menyaksikan krisis moneter dan gerakan Reformasi. Gambar yang terbayang di benak adalah Gedung DPR di Senayan diduduki mahasiswa dan Jakarta terbakar oleh kerusuhan. Lalu mereka tumbuh remaja dengan menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, dan kebebasan berpendapat hampir di mana saja.

Mereka tidak memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers dibungkam, partai politik dibonsai, dan pemilu semata menjadi “pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya. Kelompok pemukim demokrasi ini berbeda dengan “kakaknya” yang lahir pada awal Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970-an) yang mengalami hidup di era Orde Baru. Karena itu, sang kakak—dan generasi sebelumnya— saya sebut sebagai “imigran demokrasi”, yang berpindah dari teritori suasana otoritarian ke alam demokrasi dengan membawa rekaman suasana mencekam di era Orde Baru.

Saya gemar menggunakan analogi telepon seluler dalam menggambarkan kelahiran “native democracy” ini. Bagi generasi tua, mereka menyaksikan dan mengalami sendiri perubahan dari rumah tanpa listrik menjadi ada listrik, menggunakan telepon putar dengan jaringan kabel di rumah, penyeranta (pager), hingga telepon seluler. Mereka bermigrasi dari satu tahapan teknologi ke tahapan teknologi berikutnya, berikut perubahan gaya hidup yang menyertainya.

Mereka saya sebut sebagai “imigran teknologi”. Ketika smartphone datang, mereka mampu membelinya, tetapi hanya menggunakan fitur-fitur dasar sesuai referensi pengalamannya. Smartphone itu kebanyakan hanya digunakan untuk bertelepon, pesan pendek (SMS) dan sesekali berfoto. Lihat bedanya dengan anak sekarang. Mereka lahir dan tumbuh ketika smartphone hadir. Bagi mereka, smartphone adalah sesuatu yang biasa dan fitur-fitur canggih di dalamnya adalah keharusan, mulai dari chatting, social media, e-mail, hingga fitur yang rumit seperti internet banking.

Merekalah “native technology” yang dengan lancar menguasai perkembangan teknologi sebagaimana mereka berbicara dalam bahasa ibu. “Native democracy” juga demikian. Mereka lahir ketika demokrasi ini tumbuh dan mulai menguasai fitur-fitur demokrasi yang rumit sementara generasi tua masih berkutat pada fitur-fitur dasar demokrasi. Fitur dasar ini yang sebelumnya saya sebut sebagai demokrasi prosedural.

Pemilihan umum yang bebas, pembatasan masa kekuasaan, pemisahan kekuasaan melalui trias politica, yang merupakan “prestasi” dari proses demokratisasi yang panjang bagi generasi tua, dianggap hal biasa oleh generasi muda. Mereka sudah masuk ke penguasaan fitur-fitur rumit seperti perlindungan kaum minoritas, partisipasi individu dalam gerakan sosial, hingga keadilan global.

Ideologi dan Kepemimpinan

Dalam konteks ideologi, ahli politik Inggris Robert Corfe dalam The Future of Politics (2010) menyebut kelompok ini sebagai middle-middle majority (mayoritas tengah-tengah). Mereka berada di tengah dalam konteks sosio-ekonomi dan spektrum ideologi. Karena tidak ada lagi konflik politik ideologi yang bipolar, generasi ini percaya diri untuk menyuarakan isu-isu secara objektif dan berani. Mereka sudah melampaui cara berpikir dalam kungkungan kepentingan kelas bahkan melampaui batas negara-bangsa.

Kebajikan yang paling utama bagi kelompok tengah-tengah ini adalah keadilan sosial, kesempatan yang sama, dan kesetaraan. Kelompok baru ini membangun nilai etis baru sebagai konsekuensi dari perubahan yang mereka alami. Bagi mereka, mengejar kesuksesan dan melakukan akumulasi finansial adalah kebajikan karena dalam mengejar kesuksesan dan kekayaan itu mereka tidak mengorbankan individu atau bagian lain dari masyarakat.

Di sisi politik, mereka yang hanya paham fitur dasar demokrasi akan tergagap-gagap berdialog dengan mereka yang sangat lancar menguasai fiturfitur yang advance. Kelompok ini membutuhkan pendekatan kepemimpinan baru yang mampu memberdayakan mereka di tengah situasi ketidakpastian. Karena itu, komunikasi politik ke depan tidak bisa lagi bertumpu pada penjejalan ideologi sebagai cara pandang terhadap dunia yang rigid, tapi juga tidak terjebak pada sikap asal menyenangkan publik alias populisme.

Pemimpin para native democracy di gelombang ketiga adalah perpaduan antara penggugah visioner dan eksekutor andal dalam menyelesaikan (deliver) agenda-agenda publik yang telah disepakati. Dalam konteks tersebut, Pemilu 2014 punya arti penting karena peristiwa itu bukan saja menjadi momentum peralihan kekuasaan, melainkan juga momentum peralihan gelombang sejarah Indonesia. Gelombang demi gelombang sejarah telah kita lalui dan meninggalkan endapan berharga bagi perjalanan kita sebagai negara-bangsa. Gelombang ketiga adalah momentum berharga bagi Indonesia menuju kemajuan.

oleh Ustadz Anis Matta
dimuat HARIAN SINDO 14 Februari 2014

KLAIM SBY MEMERANGI KORUPSI

“Untuk menyempurnakan akurasi klaim SBY tersebut, KPK perlu lebih agresif mengejar Sengman Tjahya”

GELEMBUNG dana talangan Bank Century yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) otomatis mereduksi klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai agresivitas pemberantasan korupsi. Langkah pemberantasan korupsi sekarang ini sangat maju, dan itu lebih karena faktor keberanian dan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ceritanya bisa berbeda andai institusi dan kepemimpinan KPK bisa dikooptasi oleh kekuasaan seperti era kepemimpinan sebelumnya komisi antikorupsi tersebut. Semua orang ingat bahwa sampai pengujung 2011, terjadi stagnasi atas proses hukum kasus Century.

Sejak kepemimpinan baru KPK mulai bekerja pada 2012, kemajuan proses hukum megaskandal ini mulai terlihat. Selain menetapkan status tersangka terhadap dua mantan deputi gubernur BI, KPK memeriksa ulang mantan menkeu/ketua KSSK Sri Mulyani dan Wapres Boediono dalam kapasitas sebagai mantan gubernur BI/anggota KSSK. Bahkan pemeriksaan Boediono mengungkap masalah baru mengingat tak ada yang mau bertanggung jawab atas terjadinya gelembung dana talangan sampai Rp 6 triliun lebih itu.

Selain kasus Century, dewan kepemimpinan KPK terkini pun akhirnya berani mengakhiri kejanggalan dalam proses hukum suap pemilihan deputi gubernur BI pada 2004. Sebelumnya, kasus ini dinilai aneh oleh publik karena penerima suap dihukum, sementara pemberi tak pernah menjalani proses hukum. Sejumlah politikus yang didakwa menerima suap sudah divonis pengadilan Tipikor sejak Mei 2010.

Selama hampir 2 tahun, pihak penyuap dalam kasus ini tak tersentuh. Baru pada akhir Januari 2012, KPK menetapkan Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka dalam kasus ini. Menjelang akhir September 2012, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada Miranda.

Kejanggalan proses hukum kasus suap pemilihan deputi gubernur BI 2004 bisa terjadi karena KPK mendapat tekanan dari penguasa. Tekanan itu tak bisa dielak karena KPK saat itu dicurigai tidak independen. Demikian juga alasan di balik stagnasi proses hukum kasus Century. Artinya, agresivitas pemberantasan korupsi sangat bergantung pada independensi dan keberanian KPK. Peran pemerintah relatif minim.

Bila kasus penggelembungan dana talangan Century itu bisa dipertanggungjawabkan pemerintahan SBY-Boediono, itu berarti baru sebagian klaim SBY terpenuhi. Ketika memberi sambutan pada acara Penandatanganan Komitmen Bersama Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara di auditorium BPK, Rabu (22/1), SBY mengklaim pada masa pemerintahannya, kampanye antikorupsi begitu agresif.

SBY menyebut agresivitas pemberantan korupsi seperti sekarang ini tak pernah terjadi pada kepemimpinan sebelumnya. Karena alasan itu, ia menegaskan bahwa meski pemberitaan mengenai korupsi mendapat tempat besar di media saat ini, bukan berarti di pemerintahan sebelumnya tak pernah terjadi korupsi.

Benar, korupsi selalu terjadi pada tiap era pemerintahan sebelumnya. Namun, setelah Orba mewariskan megaskandal Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), baru pada era kepresidenan SBY terjadi sejumlah megaskandal bernuansa korupsi. Dari skandal Century, penganggaran Hambalang, hingga suap pengaturan impor daging sapi serta kasus yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas.

Praktik Kartel

Untuk menyempurnakan akurasi klaim SBY itu, KPK perlu lebih agresif mengejar Sengman Tjahya, yang mangkir dengan dalih sakit, dalam sidang kasus suap daging impor (SM, 12/2/14). Bisa dipastikan jika nanti pisau penyelidikan kasus suap impor daging dipertajam saat pemeriksaan Sengman, bisa terungkap praktik kartel impor bahan pangan kebutuhan pokok rakyat.

Pengendali kartel impor daging sapi disebut-sebut sosok perempuan berjuluk Bunda Putri dan pengusaha properti asal Palembang bernama Sengman Tjahya itu. Keduanya mengklaim dekat SBY. Bahkan Bunda Putri konon bisa menentukan jabatan seseorang di kementerian. Sejak identitas mereka disebutkan di pengadilan Tipikor yang menyidangkan terdakwa kasus suap impor daging sapi, keduanya belum diperiksa KPK.

Agenda pemeriksaan Sengman oleh KPK dalam kasus suap impor daging sapi bisa dijadikan pintu masuk membongkar praktik kartel pangan. Kepedulian dan keberanian KPK mengeliminasi kartel pangan akan meringankan beban berat kehidupan rakyat akibat tingginya harga aneka kebutuhan pokok.

Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan di Indonesia, termasuk kartel kedelai. KPPU juga mengaku punya indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan impor komoditas bawang putih. Artinya, sudah tiga komoditas yang dikuasakan Kemendag kepada kartel, meliputi daging sapi, kedelai, dan bawang putih.

Figur seperti Sengman dan Bunda Putri memenuhi persyaratan sebagai pengendali sepak terjang kartel bahan pangan karena kedekatan mereka dengan penguasa. Bukankah sosok Bunda Putri mengaku bisa memengaruhi arah kebijakan kabinet? Adapun Sengman, kepada Menteri Pertanian, mengaku dekat dengan Presiden. Kalau tidak powerfull, siapa pun tak mungkin bisa membangun kartel.

Oleh
Bambang Soesatyo
dimuat SUARA MERDEKA 15 Februari 2014

POLITIK TRANSAKSIONAL

Perilaku sebagian politikus di negeri ini semakin hari kian mencengangkan. Bagaimana tidak, terseretnya sejumlah tokoh politik dalam berbagai kasus korupsi padahal selama ini dipercaya sebagai sosok yang jujur, cerdas, alim dan santun, telah membalikkan anggapan positif tentang kredibilitas para politikus.

Apalagi kalau yang terseret kasus korupsi itu adalah politikus juga wakil rakyat duduk di DPR/DPRD maupun DPD RI, tentu sangat menyakitkan sanubari publik. Sebab kasus tersebut telah menyobek kesadaran publik, bahwa para wakil rakyat sudah bukan orang-orang kepercayaan rakyat lagi. Melainkan mereka yang bekerja untuk meraih visi dan misi pribadi, segala perbuatannya bukan untuk mewakili aspirasi publik.

Ada semacam kredo yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan disebut sebagai proses transaksional. Artinya, ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.

Di masa kampanye, para politikus mengeluarkan banyak dana untuk membiayai kegiatan tersebut. Dalam logika bisnis, modal yang sudah dikeluarkan tersebut harus kembali puluh atau minimal impas. Padahal besarnya gaji bulanan yang disediakan ayai diberikan oleh negara kepada para politikus yang menduduki berbagai jabatan legislatif, eksekutif maupun yudikatif belum tentu mampu mengembalikan besarnya modal yang pernah dihabiskan untuk membiayai dana kampanye.

Nafsu korupsi, menjadi jalan pintas yang bisa menjebak bagi para politikus untuk mengembalikan atau mencari keuntungan setinggi-tingginya dalam jangka waktu singkat. Dalam konteks politik transaksional tersebut, partai politik sekadar menjadi jembatan politik yang bisa mengantarkan para politikus meraih berbagai jabatan publik yang diperebutkan secara bebas dan demokratis.

Nalarnya, politikus yang memiliki modal finansial yang kuat, akan dilirik oleh partai politik. Kendati pun ada faktor-faktor lain yang cukup berpengaruh pada kesuksesan seorang politikus memenangi pertarungan pemilu maupun pilkada. Misalkan dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, dan bahkan keberuntungan (nasib).

Dalam kamus politik, empat faktor di atas menjadi daya tarik yang diperebutkan oleh para politikus. Dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, keberuntungan (nasib) dan besarnya modal finansial menjadi powerfull yang mendukung eksistensi seorang politikus. Melalui penguasaan empat hal di atas, bisa mendongkrak rapor keterpilihan seorang politikus menjadi sang pemenang dalam berbagai pesta demokrasi.

Meraih Kekuasaan

Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.

Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.

Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di Tanah Air. Sehingga menyebabkan para politikus berpikir praktis dan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa. Di Indonesia profesi sebagai pejabat yang duduk di berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih menarik minat banyak orang. Setidaknya bagi mereka yang kini aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.

Politik transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki berbagai jabatan mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya kualitas moral para politikus itu sendiri, sebab mereka berpikir bahwa dengan bermodalkan uang yang cukup besar bisa memuluskan karier politik mereka.

oleh
Supadiyanto
dimuat di SUARA KARYA 27 Februari 2013

Minggu, 16 Februari 2014

MENGINGATKAN UNTUK MELURUSKAN

KADANG kebenaran tertolak hanya karena cara kita menyampaikan yang menyalahi tuntunan. Tetapi kadangkala kebenaran diterima justru bersebab tersentuhnya hati oleh kasih-sayang. Bukan karena telah dipahaminya kebenaran. Ia menerima kebenaran tersebut karena hatinya tersentuh sehingga tergerak untuk meyakini, padahal ia belum memahaminya.

Selain benar, kita dituntut untuk menyampaikan kebenaran dengan sabar dan penuh sayang. Saling mewasiatkan dengan kebenaran, saling mewasiatkan dengan kesabaran dan saling mewasiatkan dengan penuh kasih-sayang. Saling mewasiatkan kepada kebenaran, saling mewasiatkan kepada kesabaran dan saling mewasiatkan untuk saling berkasih-sayang.

Sengaja saya tulis “saling mewasiatkan” secara berulang karena seperti itu pula yang kita dapati dalam al-Qur’an surat Al-’Ashr dan Al-Balad. Ini menandakan pentingnya memegangi prinsip tersebut. Kita harus mewasiatkan kebenaran dengan cara yang benar. Kita pun harus mewasiatkan dengan kesabaran dan mewasiatkan pula kepada kasih sayang, dengan penuh kasih-sayang.
Allah Ta’ala berfirman:
إن الإنسان لفي خسر إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr, 103: 2-3).

Allah Ta’ala juga berfirman:
ثم كان من الذين آمنوا وتواصوا بالصبر وتواصوا بالمرحمة
“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad, 90: 17).

Emosi kadang meledak-ledak. Tetapi kita harus mengambil jarak sejenak, adakah yang ingin kita perbaiki itu kebatilan atau kekhilafan? Kita pun harus mengambil jarak agar tak memukul rata setiap kekeliruan. Kita perlu bedakan, ini kerusakan ataukah kesalahan tak mendasar? Setiap kita dapat terjatuh pada salah dan lupa. Maka, bedakan kesalahan yang semacam ini dengan kesesatan dan kerusakan diri maupun aqidah.

Ada saat kita harus memperingatkan dengan tegas, ada saat kita harus bertanya terlebih dahulu sebelum mengingatkan. Seseorang dapat melakukan kesalahan karena kesengajaan untuk melakukannya. Tetapi kadangkala seseorang berbuat salah karena khilaf. Dapat pula terjadi, seseorang melakukan kesalahan hanya karena salah ucap untuk perkara sederhana. Dapat pula karena tak tahu jika itu salah.

Berbeda sekali orang yang melakukan kesalahan secara sengaja, lebih berat lagi yang melakukan secara sengaja dan terang-terangan. Berbeda pula orang yang tak sengaja melakukan kesalahan. Ia tahu itu salah, tapi keliru dalam melakukan sesuatu sehingga salah tanpa sadar. Dan berbeda juga dengan orang yang melakukan kesalahan tanpa bermaksud melakukan kesalahan bersebab ia tak tahu bahwa itu salah.

Di saat kita ingin menasehati orang lain dan mewasiatkan tentang kebenaran, kita perlu memohon rahmat Allah Ta’ala seraya menilik diri. Kita memeriksa diri sendiri, adakah kita ingin meluruskan ataukah ingin membungkamnya secara telak? Ingin memenangkan hati atau meninggikan reputasi?
Sungguh, hanya karena rahmat Allah Ta’ala maka kita akan dapat berlaku lembut, berhati sejuk dan tidak berkata kasar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3: 159).

Semoga catatan sederhana ini bermanfaat untuk yang menulis, yang membaca dan menyebarkannya. Semoga Allah Ta’ala limpahi kita hidayah dan taufiq. Semoga pula Allah ‘Azza wa Jalla berikan rezeqi husnul-khatimah kepada kita.

 Mohammad Fauzil Adhim

BERCERMIN PADA AIR KERUH

bila bercermin
pada air keruh
pastilah bulan berseri
tampak muram
bagaimana mungkin
melihat kebenaran
kalau cahaya hati
masih temaram

Bireuen, 16 Februari 2014 mukhlis aminullah

PURNAMA SANGAT BERSERI

aku bukan sedang bermimpi
ketika purnama sangat berseri
semalam
menjelang Insya sinarnya terang
sampai pagi
ternyata sedang mengantar pengantin
menuju mahligai
sakinah, mawaddah wa rahmah

Bireuen, 15 Februari 2014 mukhlis aminullah

Spesial kepada adinda Khairul Munar...