Pertama, sosialisasi kandidat calon legislatif tidak optimal karena
masih didominasi sosialisasi sosok atau figur, bukan sosialisasi
ideologi dan program kerja dijalankan periode 2014-2019.
Kedua, model kampanye peserta pemilu masih bertumpu pada politik visual
dengan hanya menjual figur. “Partai politik bukan menjual gagasan atau
program konkrit demi perubahan Indonesia ke depan,” ujarnya.
Ketiga, adanya kecurigaan netralitas KPU masih menjadi beban berat bagi
parpol dan pemilih, terutama saat menandatangi kerja sama dengan Lembaga
Sandi Negara (Lemsaneg) walaupun akhirnya dibatalkan kedua belah pihak.
“Kerja sama ini sempat menjadi kecurigaan didasari memori masa lalu
yang dinilai tidak fair dan penuh manipulasi suara dan data pemilih,”
kata Boni.
Keempat, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
sampai kini belum tuntas diselesaikan KPU. Hal ini bakal menimbulkan
kecurigaan munculnya kartu pemilih siluman yang bertujuan
menggelembungkan suara partai tertentu.
Kelima, kemunculan
dana saksi yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
sudah mendapatkan penolakan berbagai kalangan.
“Dana saksi dari
APBN ini dinilai tak tepat sasaran, karena seharusnya partai menyiapkan
dana sendiri untuk membayar para saksi partai yang ditempatkan di
seluruh TPS,” ujar Boni.
Keenam, kecurigaan terhadap aparat
keamanan dalam praktik membantu mengamankan kotak suara hasil
pencoblosan. Padahal pada Pemilu 2009, ada fakta bahwa aparat keamanan
ikut bermain memanipulasi surat suara maupun kotak di TPS yang berbeda
dengan apa yang sampai di tangang KPUD. “Kecurigaan ini terkait belum
adanya mekanisme pengawasan terhadap petugas keamananm,” katanya.
Ketujuh, kecurigan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak bisa
menarik jarak dari KPU, sehingga cenderung menjadi bagian dari
penyelenggara Pemilu dan tak bisa diharapkan netral sepenuhnya dalam
mengawasi pelaksanaan Pemilu.
Kedelapan, adanya politik uang dalam bentuk langsung maupun tak langsung yang masih menjadi momok penyelenggaraan pemilu.
Kesembilan, kata Boni, tabulasi suara KPU masih dicurigai sebagai
peluang manipulasi suara jika belum disiapkan mekanisme transparansi
penghitungan suara yang bisa diamati publik sepanjang proses
penghitungan suara secara nasional dilakukan.
Kesepuluh kekerasan politik berpotensi terjadi di daerah yang sentimen primodialnya masih kental.
oleh
BONI HARGENS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar