Jumat, 23 November 2012

HUKUM MENABUR DAN MENUAI

Pada suatu hari seorang pemuda yang sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba mendengar jeritan minta tolong. Ternyata ia melihat seorang pemuda yang sebaya dengan dia sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang, semakin dia bergerak malah semakin dia terperosok. Pemuda yang pertama dengan sekuat tenaga memberikan pertolongan. Dengan susah payah, pemuda yang terperosok itu dapat di selamatkan. Pemuda yang pertama memapah pemuda terperosok ini pulang ke rumahnya.
Ternyata rumah si pemuda sangat bagus, megah, dan mewah. Ayah pemuda ini sangat berterima kasih atas pertolongan yang dia berikan kepada anaknya, dan hendak memberikan uang, tapi pemuda yang pertama ini menolak pemberian tersebut. Ia berkata bahwa selayaknya sesama manusia saling menolong orang lain yang kesusahan. Sejak kejadian ini mereka menjalin persahabatan.
Si pemuda yang pertama dalah seorang yang miskin, sedang si pemuda yang kedua adalah bangsawan kaya raya. Si pemuda miskin mempunyai cita-cita untuk menjadi dokter, namun ia tidak mempunyai biaya untuk kuliah. Tapi da seorang yang murah hati, yaitu ayah dari pemuda yang bangsawan itu. Ia memberinya beasiswa sampai akhirnya meraih gelar dokter.

Tahukah anda nama pemuda miskin yang telah menjadi dokter ini??
Namanya adalah Alexander Fleming, tokoh yang kemudian menemukan obat penisilin. Si pemuda Bangsawan masuk dinas militer dan dalam satu tugas ke medan perang, ia terluka parah sehingga menyebabkan demam yang sangat tinggikarena infeksi. Pada waktu itu belum ada obat untuk infeksi serupa itu. Para dokter mendengar penisilin penemuan Dr.Fleming dan mereka segera menyuntikan penisilin yang merupakan obat temuan terbaru. Apa yang terjadi? Berangsur-angsur demam akibat infeksi itu reda dan si pemuda bangsawan itu akhirnya sembuh.
Tahukah anda siapa nama pemuda itu? Namanya Winston Churchil, Perdana Menteri Inggris yang termasyhur itu. Dalam kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran yaitu Hukum Menabur dan Menuai. Fleming menabur kebaikan, ia menuai kebaikan pula. Cita-citanya tercapai, ia menjadi Dokter. Fleming menemukan penisilin yang akhirnya menolong jiwa Churchil. Tidak sia-sia bukan Beasiswa yang di berikan ayah Churchil??


Kamis, 22 November 2012

RAGAM KEMUNAFIKAN

Sikap munafik (tidak adanya kesesuaian antara ucapan dan hati serta tindakan) banyak kita temui dalam perjalanan sejarah kemanusiaan, termasuk di dunia modern dan dunia maya dewasa ini.

Jika hal tersebut berkaitan dengan keimanan dan keyakinan biasanya dikenal dengan istilah Munafik I'tiqadi.

Allah SWT berfirman: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata: "Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta." (QS. Al-Munafiqun: 1).

Namun jika kemunafikan tersebut berkaitan dengan perbuatan seperti berdusta, berkhianat dan ingkari janji, maka hal tersebut disebut dengan Munafik Ghairu I'tiqadi. Rasulullah SAW bersabda: "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara berbohong, jika dipercaya berkhianat dan jika berjanji tidak ditepati." (HR. Muslim).

Hukum Munafik 'Amali (Ghairu I'tiqadi) sama dengan hukum fasiq, yang merupakan suatu kemaksiyatan dan pelakunya harus meminta maaf kepada manusia serta bertobat kepada Allah SWT.

Hal tersebut karena kemunafikan menyalahi keimanan serta dampaknya sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa dan masyarakat. Lebih dari itu, kemunafikan belum ditemukan obatnya kecuali dengan mengikis habis sifat keburukannya dan menggantinya dengan fikih keimanan.

Kemunafikan memiliki banyak tanda selain tiga yang disebutkan Rasulullah SAW di atas. Di antara tanda-tanda tersebut adalah: 

Pertama, orang-orang munafik memiliki sifat gemar merusak, bukan membangun; mengacaukan, bukan memperbaiki; mengganggu, bukan  menkondisikan kebaikan. Allah SWT berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari." (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Kedua, orang munafik memiliki kebiasaan dan perangai menuduh, menghina dan menjelek-jelekkan kaum muslimin. Allah SWT berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!" Mereka menjawab, Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?" Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal, tetapi mereka tidak tahu." (QS. Al-Baqarah: 13).

Ketiga, orang munafik berpura-pura berperilaku layaknya orang yang beriman, tetapi dengan visi dan misi keburukan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ingin dipuji di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisa': 142).

Keempat, orang munafik selalu berusaha menghalangi orang lain dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan cara dan tipu daya apa pun (QS. An-Nisa': 61).

Kelima, orang-orang munafik memiliki visi yang berbeda dengan orang beriman, yaitu menyuruh kemungkaran dan mencegah yang makruf (QS. At-Taubah: 67).

Mudahnya mengidentifikasi kemunafikan dalam dunia ide, tidak semudah mengidentifikasikannya dalam kehidupan, sehingga setiap jiwa harus berhati-hati dengan sikap tersebut, terlebih jika memengaruhi kepribadian jiwa seseorang. Seorang yang berakal harus mendayafungsikan akal dan mengikuti kata hatinya, sehingga ia berjalan di atas cahaya Allah SWT. Wallahu a'lam

 Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

dimuat di Harian Republika

Selasa, 20 November 2012

BALASAN AMALAN DALAM KESENDIRIAN

Dinarasikan Abu Hurairah, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia” mereka pun mencintanya, kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari, bab Dzikrul Malâikah, nomor 3037]

Dalam buku Shaidul Khâthir, diary yang berisi catatan-catatan renungannya, Ibnul Jauzi mengingatkan, “Amalan di tempat sepi memiliki banyak pengaruh di tempat ramai. Tak sedikit orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla memuliakan-Nya di tempat-tempat yang sepi dan meninggalkan sesuatu yang disenanginya karena takut pada siksa-Nya, berharap pahala-Nya atau segan terhadap-Nya.”

Orang yang melakukan amalan di tempat sepi dan ketika menyendiri, lanjut Ibnul Jauzi, ibarat orang yang memasukkan kayu gaharu ke dalam perapian, lalu ia menyebarkan aroma wangi nan mengharumkan, yang tercium oleh banyak orang, meski mereka sama sekali tidak mengetahui dari mana sumbernya. Wangi atau tidaknya kayu gaharu itu bergantung dari tingkat kesungguhan dalam meninggalkan apa-apa yang disenangi dan kuat-lemahnya kemampuan menjauhi hal-hal yang dicintai.
Itulah keshalihan haqiqi, dan buah dari keikhlasan, serta ta’zhim (pengagungan) seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Semakin tinggi kualitas iman dan keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula kecintaan manusia kepadanya, disadari atau tidak, dikehendaki atau tidak. Balasan yang Allah berikan itu setara, bahkan lebih baik dari amal hamba-hamba-Nya.
Ada pesan indah yang diucapkan oleh Yahya bin Mu’adz. Katanya, “Manusia akan segan kepadamu menurut kadar takutmu kepada Allah, dan manusia akan mencintamu menurut kadar cintamu kepada Allah, dan manusia akan sibuk menolong urusanmu menurut kadar kesibukanmu untuk Allah.” (Shifatus Shafwah : IV/95, dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 461, hlm. 274-275).

Cinta dari langit
Kita mungkin bertanya, apa yang membuat manusia begitu mencinta mereka-mereka yang beramal dalam kesendirian padahal mereka tidak mengetahuinya? Jawabannya adalah cinta itu dari langit; Allah lah yang menebarkan cinta kepada Jibril, penghuni langit dan juga penduduk bumi sehingga mereka semua mencintanya. Inilah yang diisyaratkan oleh Rasul mulia, Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dalam salah satu sabdanya,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيْلَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ فَيُنَادِيْ جِبْرِيْلُ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ )
Dinarasikan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia.” Kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari].
Makna, “ia pun diterima di bumi”, menurut DR. Mushthafa Dib al Bugha adalah “al mahabbatu fi qulûbi man ya’rifuhu minal mu’minîna wa yabqa lahu dzikrun shâlihun wa tsanâ’un hasanun, ia dicintai oleh orang-orang mukmin yang mengenalnya, dan disebut serta dipuji dengan sebutan dan pujian yang baik.”
Inilah salah satu kunci dan rahasia amalan-amalan dalam kesendirian; semakin ikhlas seorang hamba dalam beramal ketika sepi dan sendiri, maka semakin besar pula cinta Allah kepadanya. Maka renungkanlah wahai saudaraku, fokuskanlah dirimu untuk memperbaiki hubunganmu dengan Allah, niscaya Dia akan mendatangkan keajaiban-keajaiban tak berkesudahan.
Fakta dan realita menjadi bukti terkuatnya. Betapa banyak mata yang mengagungkannya dan lisan yang memujinya, padahal mereka tidak mengetahui penyebabnya dan tidak mampu melukiskannya karena sangat jauhnya mereka dari hakikat pengetahuannya.
Terkadang keharuman nama orang-orang yang seperti ini tetap terjaga hingga sesudah kematiannya. Sebagian dari mereka dibicarakan namanya dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian dilupakan. Sebagian disebut-sebut kebaikannya selama 100 tahun, lalu nama dan kuburannya tak lagi diingat orang. Sebagian mereka lagi ada yang menjadi tokoh hingga namanya diingat sepanjang masa, padahal sudah ribuan tahun ia di kuburkan.

Kegembiraan orang mukmin
Suatu ketika, sebagaimana dinarasikan oleh Abu Dzar Radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang lelaki yang melakukan sebuah amal kebaikan, lalu manusia memujinya?” beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang mukmin.” [HR. Muslim, bab Idzâ atsnâ ‘alash shâlihi fa hiya busyrâ, nomor 2642].
Maksud, “Itu adalah kabar gembira bagi orang mukmin yang disegerakan”, menurut para ulama sebagaimana dinukil oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, adalah bahwa ini merupakan bukti ridha dan cinta Allah Ta’ala kepadanya, sehingga Dia menjadikan manusia mencintainya. [Qâlal ‘ulamâ ma’nâhu hâdzal busyrâ al mu’ajjalah lahu bil khair, wa hiya dalilul busyra al muakhkharah ilal âkhirah bi qaulihi, ‘Busyrâkumul yauma jannâtun…..al âyah.” wa hâdzihil busyrâ al mu’ajjalah dalîlun ‘ala ridhallâhi Ta’âlâ ‘anhu wa mahabbatihi lahu fa yuhabbibuhu ilal khalqi].

Pujian ini, sekali lagi, bahkan lebih baik dari pada amal hamba tersebut. Terlalu sering kita mendapati pengakuan mereka, orang-orang yang ikhlash dalam beramal, bahwa pujian manusia terlalu berlebihan; karena amal yang mereka lakukan tidak sebaik yang diperkirakan pemujinya, keshalihan mereka pun tidak sehebat yang disangkakan pemujanya. Hingga mereka selalu berdoa dalam munajatnya, “Allahumma lâ tuâkhidnî bi mâ yaqûlûna wa-j’alnî khairan mimmâ yazhunnûn, Duh Allah, janganlah Engkau memberikan hukuman kepada hamba disebabkan apa yang mereka ucapkan dan jadikanlah hamba lebih baik dari apa yang mereka sangkakan.”
Itulah keunikan dan ciri khas orang-orang ikhlash; semakin dipuji semakin takut dan khawatir amalnya tidak diterima. Ini tentu karena tingginya pengetahuan mereka terhadap Allah Ta’ala; betapa maha dermawan dan pemurahnya Allah Ta’ala yang menutupi aib-aib hambanya, dan mengampuni sebagian besar kesalahan mereka.
Ah, alangkah bijaknya kekata Malik bin Dinar. Katanya, “Semenjak kenal manusia, aku tidak senang pujian mereka, dan juga tidak benci celaan mereka.” Ada yang bertanya, “Kenapa bisa demikian?” beliau menjawab, “Karena mereka yang memuji itu berlebih-lebihan dan mereka yang mencela itu terlalu meremehkan.” (Shifatus Shafwah : III/276 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 360, hlm. 220).

Keteladanan para salaf
Berbicara tentang gemar menyembunyikan amal dalam kesendirian, atau menjaga keikhlasan sebelum-saat-sesudah beramal, maka kita tidak bisa menafikan teladan para salaf yang mendahului kita. Mereka lah sebaik-baik teladan yang wajib kita ikuti.
Inilah Hassan bin Sinan. Istrinya pernah bercerita, “Hasan datang, dan masuk ke ranjangku ketika hendak tidur, lalu ia menipuku sebagaimana seorang ibu menipu anaknya. Jika ia sudah tahu bahwa aku tidur, ia bangkit kemudian shalat malam.”
Inlah Dawud bin Abu Hind. Ia berpuasa selam 40 tahun tetapi keluarga dan orang-orang pasar tidak mengetahuinya, padahal ia adalah seorang pedagang. Ia membawa makan paginya lalu disedekahkan, sehingga keluarganya mengira bahwa ia memakannya di pasar, sementara orang-orang pasar menyangka bahwa ia sudah makan bersama keluarganya.
Inilah Rabi’ bin Khutsaim, tabi’in agung yang pernah dipuji oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya Rasulullah melihatmu, beliau pasti mencintamu.” Dinarasikan oleh Bakar bin Ma’iz, sebagaimana diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifatus Shafwah, bahwa ia berkata, “Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunah di masjid masyarakat kampungnya kecuali hanya sekali seumur hidupnya.” Pengakuan lain tentang keikhlasan Rabi’ juga berasal dari budaknya. Katanya, “Sesungguhnya amal perbuatan Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang, sementara dia tengah membaca al Qur’an, dia segera menutupi mushafnya dengan bajunya.”
Kisah serupa juga dilakukan oleh Ibrahim an Nakha’i. al A’masy meriwayatkan, “Aku berada di sisi Ibrahim yang sedang membaca mushhaf, kemudian ada orang yang meminta izin untuk bertemu, lalu beliau menutup mushhafnya, dan berkata, “Agar dia tidak mengira bahwa saya membaca setiap saat.” (Shifatus Shafwah : III/87 dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 274, hlm. 169)
Yang lebih menakjubkan lagi, tentunya kisah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, keponakan shahabat Ali dan cicit Nabi Muhammad. Syaibah bin Na’amah berkata, “Ali bin Husain dulu dikenal pelit, tetapi ketika meninggal dunia, manusia mendapati beliau menghidupi 100 keluarga di Madinah.” (Shifatus Shafwah : II/96 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 116, hlm. 81).
Dalam ranah intelektualitas, Imam Asy-Syafi’I pernah berkata, “Wadidtu annal khalqa ta’allamû hâdzâ, ‘alâ an lâ yunsaba ilayya harfun minhu, aku ingin semua manusia belajar ini, hanya saja tidak ada satu huruf pun yang dinisbatkan kepadaku.”
Mereka jujur bersama Allah, sehingga ini membuat Allah mencintainya. Sebagai balasannya, Allah pun membuat Jibril, penghuni langit dan penduduk bumi mencintainya. Maka kaidah terpenting dalam masalah ini adalah fokuskanlah dirimu dalam memperbaiki hubungan dirimu dengan Allah, dan hadapkanlah hatimu hanya kepada-Nya semata, niscaya Dia akan menghadapkan hati segenap hamba-Nya kepadamu. Bahkan tidak hanya itu, Allah pun memberikan bonus lagi; Dia akan memperbaiki hatimu. Hudzaifah bin Qatadah al Mar’asyi berkata, “Jika kamu mentaati Allah dalam kesendirian, Dia akan memperbaiki hatimu, baik kamu berkehendak atau tidak.” (Shifatus Shafwah : IV/270 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 593, hlm. 347).

Hati-hati dengan maksiat ketika menyendiri
Sebagian orang kebalikan dari orang-orang di atas; mereka takut pada makhluk dan tidak memuliakan Allah kala menyendiri. Sedikit-banyaknya dosa mereka menjadi ukuran parah-tidaknya kebusukan bau mereka di mata manusia, dan parameter kebencian mereka kepadanya. Jika dosa yang dilakukannya tidak seberapa, lisan yang membicarakan kebaikannya juga tidak seberapa, dan yang tersisa cuma penghormatan kepadanya. Namun kalau dosa yang dikerjakannya terlalu banyak, yang sering terjadi adalah diamnya orang-orang dalam menghadapinya; mereka tidak memujinya namun tidak pula mencelanya.
Perbuatan yang dikerjakan di tempat sepi sangat sering menjerumuskan pelakunya ke jurang kehinaan, kerugian dan kesengsaraan, di dunia dan di akherat. Kehinaan karena ia akan melahirkan rasa malu, baik kepada orang shalih maupun kepada Allah, dan tentunya menjadikan dirinya dibenci oleh orang-orang mukmin, entah disadari atau tidak. Kerugian karena ia bisa melenyapkan pahala yang menggunung lantaran sia-sia dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Kesengsaraan karena ia mampu merubah pandangan manusia; dikiranya termasuk penghuni surga karena amalannya tetapi dia ternyata menjadi penghuni neraka. Adakah yang lebih berat dari ini semua? Maka, berhati-hatilah, jangan meremehkan kemaksiatan, sekecil apapun itu, karena timbangan Allah mampu menimbang amalan sebutir pasir, sekalipun.
Tentang kebencian dan efek negatif yang didapatkan oleh orang yang gemar bermaksiat dalam kesendiriannya, Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu pernah mengatakan, “Seorang hamba melakukan dosa di tempat sepi, lalu Allah menjadikannya dibenci oleh orang-orang yang beriman tanpa ia sadari.” [baca artikel terkait berjudul; mengeja balasan setiap perbuatan].
Lebih dari itu, kemaksiatan dalam kesendirian terkadang bisa melenyapkan pahala yang menggunung. Tentang orang yang shalih dalam keramaian tetapi berhati busuk dalam kesendirian, Rasulullah pernah mengingatkan,
“Sungguh aku tahu ada sekelompok dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan kebaikan-kebaikan semisal gegunungan Tihamah yang berwarna putih, tetapi Allah menjadikannya debu yang beterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya, “Ya Rasûlallah, sifatkanlah mereka untuk kami, agar kami tidak seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Mereka adalah saudara kalian, dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja mereka adalah orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah dalam kesendiriannya.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Pembahasan tentang hadits ini sudah pernah dipaparkan pada artikel sebelumnya; Tumpukan pahala yang sia-sia.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah kekhawatiran kita bila kemaksiatan yang dilakukan ketika menyendiri itu menyeret kita kepada su’ul khatimah, dan menempatkan kita ke seburuk-buruk tempat di akherat. Wal iyadzu billah. Rasulullah bersabda,
فَوَالَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Demi Dzat yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli surga hingga tiada jarak antara dia dengan surga kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahuluinya (bahwa ia termasuk penghuni neraka) lalu dia beramal dengan amalan penghuni neraka (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya. Dan salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli neraka hingga tiada jarak antara dia dengan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahulinya (bahwa ia termasuk penghuni surga) lalu dia beramal dengan amalan penghuni surga (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya.” (HR. Muslim, bab Kaifiyyatul Khalqi al Adami fi Bathni Ummihi, nomor 2643, Juz IV, hlm. 2036)
Sebagai kata penutup, kiranya kita harus belajar lebih peka lagi dalam mengeja dan membaca balasan atas amalan-amalan yang kita lakukan, kebaikan dan keburukannya, ketaatan dan kemaksiatannya, agar kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tiada secuil pun amalan kecuali pasti mendapatkan balasan. Wallahu A’lam bis Shawwab.
Ya Allah, selalu, berikanlah hidayah dan inayah-Mu kepada kami untuk senantiasa menambah ilmu, kemudian mengamalkannya agar kami tidak termasuk kaum yang Engkau murkai, dan tidak pula termasuk kaum yang tersesat. Amin.

sumber :  http://www.oaseimani.com

MUSLIMAH DAN TUKANG BESI

Ketika si tukang besi sedang duduk di rumahnya melepas lelah setelah seharian bekerja, tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Si tukang besi keluar untuk melihatnya, pandangannya menubruk pada sesosok wanita cantik yang tak lain adalah tetangganya.
“Saudaraku, aku menderita kelaparan. Jika bukan karena tuntutan agamaku yang menyuruh untuk memelihara jiwa, aku tidak akan datang ke rumahmu. Maukah engkau memberikan makanan padaku karena Allah ?” tutur wanita itu.
Ketika itu, memang tengah datang musim paceklik. Sawah dan ladang mengering. Tanah pecah berbongkah-bongkah. Padang rumput menjadi tandus hingga hewan ternak menjadi kurus dan akhirnya mati. Makanan menjadi langka, maka tak pelak kelaparan melanda sebagian besar penduduk desa itu. Hanya sebagian kecil yang masih bisa bertahan.
“Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaimu ? Akan kuberi engkau makanan, tetapi engkau harus melayaniku semalam” kata tukang besi itu.
Si tukang besi memang jatuh hati kepada tetangganya itu. Dia merayunya dengan berbagai cara dan taktik, namun tak juga berhasil meluluhkan hati wanita itu.
“Lebih baik mati kelaparan daripada durhaka kepada Allah” ujar wanita itu sambil berlalu menuju rumahnya.
Setelah dua hari berlalu, wanita itu kembali mendatangi rumah si tukang besi dan mengatakan hal yang sama. Demikian pula jawaban si tukang besi itu. Ia akan memberi makanan asalkan wanita itu mau menyerahkan dirinya. Mendengar jawaban yang sama, wanita itupun kembali ke rumahnya.
Dua hari kemudian, wanita itu datang lagi ke rumah tukang besi itu dalam keadaan payah, suaranya parau, matanya sayu, dan punggungnya membungkuk karena menahan lapar yang tiada tara. Ia kembali mengatakan hal serupa. Begitu pula jawaban si tukang besi, sama dengan yang sudah-sudah. Wanita itu kembali ke rumahnya dengan tangan kosong untuk ketiga kalinya.
Ketika itulah Allah memberikan hidayah-Nya kepada si tukang besi “Sungguh celaka aku ini, seorang wanita mulia datang kepadaku, dan aku terus berlaku dzalim kepadanya, “tutur tukang besi dalam hatinya. “Ya Allah aku bertaubat kepada-Mu dari perbuatanku dan aku tidak akan mengganggu wanita itu lagi selamanya”.
Si tukang besi itu bergegas mengambil makanan dan pergi ke rumah wanita itu. Diketuknya pintu rumah wanita itu. Tak lama berselang terlihat pintu terbuka dan muncullah sesosok wanita yang nampak kuyu. Melihat si tukang besi berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu bertanya, “Apa keperluanmu datang ke rumahku ?”
“Aku bermaksud mengantarkan sedikit makanan yang aku punya. Jangan khawatir, aku memberinya karena Allah” jawab si tukang besi.
“Ya Allah jika benar apa yang dikatakannya, maka haramkanlah ia dari api di dunia dan di akhirat” tutur wanita itu seraya menengadahkan kedua telapak tangannya ke langit.
Si tukang besi itu pulang ke rumahnya. Ia memasak makanan yang tersisa buat dirinya. Tiba-tiba secara tak sengaja bara api mengenai kakinya, namun kaki si tukang besi itu tidak terbakar. Bergegas ia menemui wanitu itu lagi.
“Wanita yang mulia, Allah telah mengabulkan doamu” ujar si tukang besi.
Seketika itu, wanita itu sujud syukur kepada Allah.
“Ya Allah Engkau telah mewujudkan doaku, maka cabutlah nyawaku saat ini juga”. Terdengar suara lirih dari mulut wanita itu dalam sujudnya. Allah kembali mendengar doanya. Wanita itupun berpulang ke Rahmatullah dalam keadaan sujud.
Demikianlah kisah seorang wanita yang menjaga kehormatannya meskipun harus menahan rasa lapar yang tiada tara.
Setiap muslimah mestinya dapat mengambil pelajaran berharga dari berbagai kisah wanita shalihah. Merekalah yang harusnya dijadikan suri tauladan dalam kehidupan keseharian, bukan para artis yang menawarkan gaya hidup hedoisme dan materialisme.