Mukhlis Aminullah, pemerhati objek kebudayaan
Kabupaten Bireuen, khususnya di Kecamatan Juli, merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Salah satu contoh kekayaan budaya tersebut adalah kerajinan batu pahat di Gampong (Desa-red) Paseh, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat selama ratusan tahun.
Pengrajin batu pahat di Paseh tidak hanya sekedar membuat produk yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi penjaga nilai budaya yang tak tergantikan. Mereka melestarikan tradisi dan teknik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga kerajinan batu pahat menjadi salah satu identitas budaya Aceh yang sangat berharga.
Dalam era modernisasi dan globalisasi, pengrajin batu pahat di Paseh menjadi salah satu contoh nyata dari ketahanan budaya. Mereka tetap teguh dalam melestarikan tradisi dan teknik yang telah diwariskan, meskipun dihadapkan pada tantangan persaingan dengan produk modern yang lebih murah dan praktis.
Penulis berkesempatan mengunjungi lokasi kerajinan batu pahat di salah satu sentra di Gampong Paseh, Selasa (1/7/2025) dan melihat langsung proses kreativitas dan inovasi mereka. Tidak hanya membuat produk tradisional, tetapi juga mengembangkan desain dan motif yang sedikit lebih menarik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya tradisional dapat berkembang dan beradaptasi dengan zaman.
Jamal (55 tahun) salah seorang pengrajin kepada penulis mengisahkan ia sudah jadi pengrajin batu pahat selama lebih kurang 40 tahun, sejak ia menempuh pendidikan tingkat SLTP. Awalnya ia hanya membantu orangtuanya, namun kemudian seiring berjalan waktu, seni memahat batu ini ia teruskan jadi pekerjaan sehari-hari. Selain bertani, ia memang menggeluti pekerjaan "warisan" kakek neneknya, memahat batu. Saat ditanya, ia mengaku ada nilai seni tersendiri baginya memahat batu, selain motif ekonomi.
Jamal menuturkan, secara ekonomi hasil kerajinan batu pahat bisa membantu kehidupan keluarga, walaupun tidak bisa dikatakan cukup. Rata-rata penghasilan Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) per hari. Barang-barang kerajinan dijemput oleh agen penjual (makelar) ke gampong mereka. Para agen ini ini kemudian menjual kembali ke kota, tentu saja mendapatkan keuntungan.
Penulis juga bertemu Abdullah Husen (90 tahun) dan Sulaiman (85 tahun), satu generasi diatas Jamal. Keduanya memang sudah "pensiun" dari pekerjaan memahat dan memoles batu, karena faktor usia. Namun menurut mereka, sudah menjadi pengrajin batu pahat selama 60 s.d 65 tahun. Beberapa orang anak Sulaiman meneruskan usaha ini. Selebihnya memilih profesi lain.
Sulaiman masih dengan lugas bercerita. Ia menyebutkan, dari cerita ayahnya, kegiatan kerajinan batu pahat ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, bahkan akhir abad ke 19. Bahan baku diambil dari gunung dan sungai di Kecamatan Juli, bahkan untuk kebutuhan yang lebih besar, bahan baku didapatkan dari Kabupaten Bener Meriah.
Tanpa ditanya, Sulaiman juga bercerita, batu besar yang dijadikan ikon langgar (meunasah) Kulah Batee, Bandar Bireuen Kecamatan Kota Juang (depan Grand Cafe) itu merupakan karya dua warga Paseh yaitu Samsul dan Ismail. Masyarakat umum yang pernah shalat di meunasah itu, sangat tahu bentuk tempat wudhuk dari pahatan batu, karena unik dan bernilai seni, tapi jarang yang tahu siapa seniman pahat yang mengerjakannya, termasuk penulis.
Keuchik (Kepala Desa-red) Paseh, Muradik, kepada penulis menyampaikan pengrajin di gampongnya masih menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan akses pasar, kurangnya dukungan finansial (modal) hingga persaingan dengan produk modern yang lebih murah dan praktis.
Saat ditemui di lokasi, ia menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pengrajin batu pahat di Paseh mengalami penurunan yang signifikan. Sekarang hanya 18 orang pengrajin. Banyak dari mereka yang terpaksa meninggalkan profesinya karena tidak mampu bersaing dengan produk-produk modern yang lebih murah dan lebih mudah digunakan. Hal ini tentu saja berdampak pada keberlangsungan hidup mereka dan keluarga.
Jamaluddin, SP, tokoh muda Kecamatan Juli yang juga ikut berkunjung ke Paseh bersama penulis, bahkan menyoroti dari sisi budaya. Menurutnya, kalau sampai kerajinan batu pahat ini tidak ada lagi yang menekuni, salah satu warisan budaya Aceh seni pahat akan hilang. Untuk itu ia mengajak semua pihak untuk peduli menyelamatkan nilai-nilai budaya tradisional ini tetap eksis.
Mengingat argumen Muradik dan Jamaluddin, SP tersebut, sudah saatnya pengrajin batu pahat mendapatkan dukungan dan perhatian dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Salah satu bentuk dukungan yang sangat diharapkan adalah adanya "bapak angkat" yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas produk, serta meningkatkan akses pasar.
Dengan adanya bapak angkat, pengrajin batu pahat di Paseh dapat memperoleh bantuan teknis, finansial, dan pemasaran yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas produk mereka. Selain itu, bapak angkat juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kerajinan batu pahat, sehingga dapat meningkatkan permintaan dan harga jual produk.
Saran untuk masyarakat umum, mari kita dukung pengrajin batu pahat dengan cara membeli produk mereka dan melestarikan budaya tradisional yang sangat berharga ini.
Sebagai info penutup, bahwa penulis mampir ke kios kecil depan RS BMC Bireuen, lebih kurang 2 KM dari lokasi kerajinan. Harga jual batu giling (salah satu bentuk hasil kerajinan batu pahat) bervariasi, yang agak besar dihargai Rp 165.000,- (seratus enam puluh lima ribu rupiah) dan yang kecil dihargai Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
Tulisan ini sudah dimuat di media kabardaily.com
https://kabardaily.com/pengrajin-batu-pahat-di-paseh-kecamatan-juli-kabupaten-bireuen-penjaga-nilai-budaya-yang-tak-tergantikan/