Sabtu, 05 Juli 2025

Pengrajin Batu Pahat di Paseh Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, Penjaga Nilai Budaya yang Tak Tergantikan

Mukhlis Aminullah, pemerhati objek kebudayaan

Kabupaten Bireuen, khususnya di Kecamatan Juli, merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Salah satu contoh kekayaan budaya tersebut adalah kerajinan batu pahat di Gampong (Desa-red) Paseh, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat selama ratusan tahun.

Pengrajin batu pahat di Paseh tidak hanya sekedar membuat produk yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi penjaga nilai budaya yang tak tergantikan. Mereka melestarikan tradisi dan teknik yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga kerajinan batu pahat menjadi salah satu identitas budaya Aceh yang sangat berharga.

Dalam era modernisasi dan globalisasi, pengrajin batu pahat di Paseh menjadi salah satu contoh nyata dari ketahanan budaya. Mereka tetap teguh dalam melestarikan tradisi dan teknik yang telah diwariskan, meskipun dihadapkan pada tantangan persaingan dengan produk modern yang lebih murah dan praktis.

Penulis berkesempatan mengunjungi lokasi kerajinan batu pahat di salah satu sentra di Gampong Paseh, Selasa (1/7/2025) dan melihat langsung proses kreativitas dan inovasi mereka.  Tidak hanya membuat produk tradisional, tetapi juga mengembangkan desain dan motif yang sedikit lebih menarik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya tradisional dapat berkembang dan beradaptasi dengan zaman.

Jamal (55 tahun) salah seorang pengrajin kepada penulis mengisahkan ia sudah jadi pengrajin batu pahat selama lebih kurang 40 tahun, sejak ia menempuh pendidikan tingkat SLTP. Awalnya ia hanya membantu orangtuanya, namun kemudian seiring berjalan waktu, seni memahat batu ini ia teruskan jadi pekerjaan sehari-hari. Selain bertani, ia  memang menggeluti pekerjaan "warisan" kakek neneknya, memahat batu. Saat ditanya, ia mengaku ada nilai seni tersendiri baginya memahat batu, selain motif ekonomi.

Jamal menuturkan, secara ekonomi hasil kerajinan batu pahat bisa membantu kehidupan keluarga, walaupun tidak bisa dikatakan cukup. Rata-rata penghasilan Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) per hari. Barang-barang kerajinan dijemput oleh agen penjual (makelar) ke gampong mereka. Para agen ini ini kemudian menjual kembali ke kota, tentu saja mendapatkan keuntungan.

Penulis juga bertemu Abdullah Husen (90 tahun) dan Sulaiman (85 tahun), satu generasi diatas Jamal. Keduanya memang sudah "pensiun" dari pekerjaan memahat dan memoles batu, karena faktor usia. Namun menurut mereka, sudah menjadi pengrajin batu pahat selama  60 s.d 65 tahun. Beberapa orang anak Sulaiman meneruskan usaha ini. Selebihnya memilih profesi lain.

Sulaiman masih dengan lugas bercerita. Ia menyebutkan, dari cerita ayahnya, kegiatan kerajinan batu pahat ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, bahkan akhir abad ke 19. Bahan baku diambil dari gunung dan sungai di Kecamatan Juli, bahkan untuk kebutuhan yang lebih besar, bahan baku didapatkan dari Kabupaten Bener Meriah.

Tanpa ditanya, Sulaiman juga bercerita, batu besar yang dijadikan ikon langgar (meunasah) Kulah Batee, Bandar Bireuen Kecamatan Kota Juang (depan Grand Cafe) itu merupakan karya dua warga Paseh yaitu Samsul dan Ismail. Masyarakat umum yang pernah shalat di meunasah itu, sangat tahu bentuk tempat wudhuk dari pahatan batu, karena unik dan bernilai seni, tapi jarang yang tahu siapa seniman pahat yang mengerjakannya, termasuk penulis.

Keuchik (Kepala Desa-red) Paseh, Muradik, kepada penulis menyampaikan pengrajin di gampongnya masih menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari keterbatasan akses pasar, kurangnya dukungan finansial (modal) hingga persaingan dengan produk modern yang lebih murah dan praktis.

Saat ditemui di lokasi, ia menyebutkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pengrajin batu pahat di Paseh mengalami penurunan yang signifikan. Sekarang hanya 18 orang pengrajin. Banyak dari mereka yang terpaksa meninggalkan profesinya karena tidak mampu bersaing dengan produk-produk modern yang lebih murah dan lebih mudah digunakan. Hal ini tentu saja berdampak pada keberlangsungan hidup mereka dan keluarga.

Jamaluddin, SP, tokoh muda Kecamatan Juli yang juga ikut berkunjung ke Paseh bersama penulis, bahkan menyoroti dari sisi budaya. Menurutnya, kalau sampai kerajinan batu pahat ini tidak ada lagi yang menekuni, salah satu warisan budaya Aceh seni pahat akan hilang. Untuk itu ia mengajak semua pihak untuk peduli menyelamatkan nilai-nilai budaya tradisional ini tetap eksis.

Mengingat argumen Muradik dan Jamaluddin, SP tersebut, sudah saatnya pengrajin batu pahat mendapatkan dukungan dan perhatian dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Salah satu bentuk dukungan yang sangat diharapkan adalah adanya "bapak angkat" yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas produk, serta meningkatkan akses pasar.

Dengan adanya bapak angkat, pengrajin batu pahat di Paseh dapat memperoleh bantuan teknis, finansial, dan pemasaran yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas produk mereka. Selain itu, bapak angkat juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kerajinan batu pahat, sehingga dapat meningkatkan permintaan dan harga jual produk.

Saran untuk masyarakat umum, mari kita dukung pengrajin batu pahat dengan cara membeli produk mereka dan melestarikan budaya tradisional yang sangat berharga ini.

Sebagai info penutup, bahwa penulis mampir ke kios kecil depan RS BMC Bireuen, lebih kurang 2 KM dari lokasi kerajinan. Harga jual batu giling (salah satu bentuk hasil kerajinan batu pahat) bervariasi, yang agak besar dihargai Rp 165.000,- (seratus enam puluh lima ribu rupiah) dan yang kecil dihargai Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).

Tulisan ini sudah dimuat di media kabardaily.com

https://kabardaily.com/pengrajin-batu-pahat-di-paseh-kecamatan-juli-kabupaten-bireuen-penjaga-nilai-budaya-yang-tak-tergantikan/

Meunasah Tua di Gampong Kubu Peusangan Siblah Krueng, Ikon Desa Yang Tetap Dipelihara

Mukhlis Aminullah, pemerhati objek kebudayaan

Sebuah bangunan langgar (di Aceh disebut meunasah) berusia tua di Desa Kubu, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, sampai saat ini masih terpelihara dengan baik. Bangunan langgar tua (selanjutnya disebut meunasah tua) ini memiliki arsitektur yang unik dan khas, dengan perpaduan antara gaya Aceh dan Islam, lazimnya arsitektur bangunan kuno lainnya di Aceh.

Menurut info salah seorang tokoh masyarakat setempat, Fadhil, S.Pd, MM kepada penulis, meunasah tua di Kubu  tersebut diperkirakan dibangun pada akhir tahun 60-an, semasa Kubu masih menjadi wilayah Kecamatan Peusangan Kabupaten Aceh Utara. Dirancang dan dibangun oleh beberapa tokoh lokal seperti Tgk Ali Basyah, Tgk Abdullah (Nek Lah Peureulak) dan Tgk M Yusuf Hanafiah serta dibantu masyarakat lainnya secara gotong royong.

Bangunan ini telah menjadi saksi bisu sejarah dan kebudayaan Aceh, dan masih digunakan sebagai tempat belajar agama dan kegiatan perpustakaan bagi masyarakat setempat.

Meunasah tua ini memiliki arsitektur yang unik dan khas, dengan ukiran-ukiran kayu yang indah. Bangunan ini juga memiliki ruang yang luas yang bisa digunakan untuk kegiatan keagamaan lainnya, seperti peringatan hari besar Islam. Sayangnya, karena atap dan penyangganya sudah lapuk dimakan usia, beberapa tahun lalu terpaksa diganti dengan kayu penyangga yang baru dan atap seng, tidak lagi pakai atap tradisional.

Walaupun masyarakat Kubu telah membangun meunasah yang baru, namun meunasah tua tetap difungsikan. Selain menjadi pusat kegiatan keagamaan (pengajian) dan sosial, meunasah ini juga digunakan sebagai perpustakaan desa. Hampir setiap hari anak-anak usia sekolah melakukan banyak kegiatan di lokasi ini.

Penulis berkesempatan mengunjungi meunasah tua di Desa Kubu, Minggu sore (29/6/2025)  melihat ada potensi besar meunasah tua ini dijadikan sebagai destinasi wisata religi dan budaya. Dengan keunikan arsitektur dan nilai-nilai historis yang tinggi, meunasah tua ini dapat menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Kabupaten Bireuen.

Razali, Keuchik (Kepala Desa-red) Kubu, dalam sebuah bincang dengan penulis, menyebutkan meunasah tua ini juga menghadapi tantangan dalam pelestariannya. Bangunan ini memerlukan perawatan dan pemugaran yang tepat untuk menjaga keaslian dan keutuhannya. Sementara untuk menggunakan Dana Desa tidak cukup, karena beberapa tahun terakhir Dana Desa lebih difokuskan untuk program Ketahanan Pangan, Stunting dan beberapa program nasional lainnya.

Hal itu diamini oleh Helmi, SE Keurani (Sekretaris Desa-red). Ia berharap peran Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk merawat dan melestarikan meunasah tua ini. Dipugar menjadi solusi agar "cagar budaya" seperti ini tidak terabaikan.

Tulisan ini sudah dimuat di media kabardaily.com 

https://kabardaily.com/meunasah-tua-di-gampong-kubu-peusangan-siblah-krueng-ikon-desa-yang-tetap-dipelihara/

Pliek U Makin Langka di Pasaran, Produksi Terbatas Ancam Kelestarian Bumbu Masakan Tradisional Khas Aceh

Oleh: Mukhlis Aminullah, Pemerhati Objek Kebudayaan

Aroma khas Gulee Pliek, masakan tradisional Aceh yang menggugah selera, mulai jarang tercium di dapur perantauan maupun rumah-rumah di kampung halaman. Salah satu penyebabnya adalah kian langkanya Pliek U atau Patarana, bumbu fermentasi khas Aceh, yang kini nyaris tak lagi mudah ditemukan di pasaran.

Safriana (52), perempuan asal Aceh Utara yang telah menetap di Malaysia selama 32 tahun, mengeluh tidak lagi mendapatkan kiriman Pliek U dari keluarganya di kampung. Melalui pesan WhatsApp, ia bercerita bahwa meski telah menikah dengan warga asing dan hidup di luar negeri, Gulee Pliek tetap menjadi hidangan favorit keluarganya.

"Beberapa bulan terakhir, aroma khas Pliek U hampir tak lagi hadir di dapur kami. Kiriman dari kampung tak datang, dan di Malaysia tidak ada yang menjualnya," ungkapnya.

Menelusuri Jejak Pliek U di Jangka

Tergerak oleh kisah tersebut, penulis mencoba menelusuri sumber produksi Pliek U di kawasan Jangka, Kabupaten Bireuen — salah satu sentra pembuatan bumbu khas ini. Bersama Amiruddin, warga lokal, dan atas arahan tokoh masyarakat Johan Marzuki, ST, penulis mendatangi beberapa yang masih bertahan memproduksi Pliek U, Sabtu sore (5/7/2025).

Di salah satu sudut kampung, penulis bertemu Nenek Maimunah (74), sosok yang telah mengolah kelapa tua menjadi Pliek U sejak remaja. Baginya, memproduksi Pliek U bukan hanya mata pencaharian, tapi juga amanah budaya.

“Butuh waktu 11 sampai 12 hari untuk satu produksi. Semakin lama fermentasi, semakin sedap hasilnya. Tak bisa asal cepat, karena rasanya akan hambar atau malah gagal,” jelasnya dengan bahasa Aceh khas.

Untuk menghasilkan 1 hingga 2 kilogram Pliek U, prosesnya cukup panjang: mulai dari memilih kelapa tua terbaik, memarut dan menjemur ampasnya berhari-hari, hingga proses fermentasi dalam kendi tanah selama lebih dari seminggu.

“Kalau salah proses, bisa busuk. Harus sabar dan telaten,” tambahnya.

Namun, ketika penulis hendak membeli 2 kilogram Pliek U, Maimunah mengaku stoknya telah habis. Saat ini, ia hanya melayani pesanan terbatas karena bahan baku dan tenaga mulai sulit didapatkan.

“Harga kelapa sekarang tinggi, kami kekurangan modal untuk produksi besar. Lagipula, tenaga kerja tidak ada lagi. Anak-anak muda tak tertarik,” keluhnya.

Produksi Rumah Tangga Kian Berkurang

Penulis juga sempat mampir ke rumah Nazar (68), tokoh masyarakat Jangka. Ia mengisahkan masa kecilnya saat hampir setiap rumah tangga memproduksi Pliek U. Kini, hanya segelintir yang masih bertahan.

“Dulu kampung ini kaya aroma Pliek U. Sekarang berkurang,” katanya mengenang.

Rasa penasaran membawa penulis ke Pasar Induk Cureh, Kota Juang, sekitar 18 km dari Jangka. Sebagai pusat distribusi bahan pokok Bireuen, pasar ini semestinya menjadi tempat mudah untuk menemukan Pliek U. Namun, realitanya berkata lain.

“Kami sangat sulit mendapatkan pasokan Pliek U sekarang. Kalau pun ada, cepat habis. Hanya satu dua pengrajin yang masih mau membuatnya,” ujar Kak Ani, salah satu pedagang bumbu di pasar tersebut.

Menurutnya, permintaan tetap ada, terutama dari pelanggan yang setia memasak dengan resep turun-temurun. Namun, ketersediaan sangat terbatas karena minimnya produksi.

Kekhawatiran Masyarakat

Kondisi ini tidak hanya dikeluhkan oleh warga perantauan seperti Safriana di Malaysia, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat lokal.

Fadhilah Adam (49), guru MAN 2 Bireuen yang juga pecinta kuliner tradisional, menyebut Pliek U sebagai warisan budaya yang terancam punah. Ia menilai perlu ada langkah konkret untuk menyelamatkan keberadaan bumbu khas Aceh ini.

“Pliek U bukan hanya memanjakan lidah. Ia simbol kekayaan budaya dan kearifan lokal. Kalau kita berhenti merawatnya, kita kehilangan bagian penting dari identitas Aceh,” ungkapnya.

Fadhilah mengusulkan agar pihak terkait, termasuk Kementerian Kebudayaan, turut turun tangan melalui program pembinaan, pelatihan, dan dokumentasi.

Pentingnya Dokumentasi dan Regenerasi

Sebagai pemerhati kebudayaan, penulis mendorong adanya upaya pelestarian secara sistematis — mulai dari pendataan pengrajin aktif, pelatihan pembuatan untuk generasi muda, hingga penerbitan buku dokumenter tentang Pliek U. Buku ini nantinya dapat menjadi media edukasi, promosi, dan inspirasi untuk menumbuhkan kembali kecintaan terhadap kuliner tradisional Aceh.

Saat ini, Pliek U bukan sekadar bumbu dapur. Ia adalah simbol dari kegelisahan kolektif terhadap lunturnya jejak-jejak budaya dalam arus zaman yang terus bergerak. Jika tidak diselamatkan, bisa jadi Pliek U hanya akan dikenang sebagai cerita masa lalu — atau lebih buruk, menjadi lelucon generasi mendatang.

Tulisan ini sudah dimuat di media kabardaily.com

https://kabardaily.com/pliek-u-makin-langka-di-pasaran-produksi-terbatas-ancam-kelestarian-bumbu-masakan-tradisional-khas-aceh/#google_vignette