Berita
sebagai produk jurnalistik hanya bisa lahir dari fakta-fakta yang ada
di masyarakat. Dan di balik fakta-fakta itu tentu ada aktornya. Untuk
kelahiran sebuah produk jurnalistik yang sehat, jurnalis harus mampu
membuat si aktor bicara. Cara efektif untuk itu, tidak ada lain, kecuali
dengan jalan melakukan wawancara.
Dalam aktifitas jurnalistik, sebuah wawancara sudah barang tentu memerlukan berbagai sentuhan teknik dalam aplikasinya. Dan berbicara ikhwal teknik wawancara, tentu saja kita akan berhadapan dengan sesuatu yang dinamis bahkan progresif dan juga fleksibel. Artinya, teknik wawancara itu bukan merupakan sesuatu yang musti baku, kaku, apalagi sakral. Teknik itu berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, para jurnalis juga dituntuk untuk senantiasa memberdayakan diri sesuai tuntutan jaman.
Terpenuhinya prinsip-prinsip keberimbangan bagi sebuah berita, hanya bisa ditempuh dengan wawancara. Dan
sekali lagi, hanya dengan wawancara, maka berita sebagai hasil karya
jurnalistik akan memiliki daya hidup sekaligus bisa
dipertanggungjawabkan. Sebab, dengan wawancara, fakta-fakta dari
masyarakat yang dihimpun wartawan akan terekonstruksi dengan baik.
Namun, Wartawan tidak boleh mengabaikan anatomi persoalan yang terkait dengan temuan fakta-fakta tersebut di lapangan. Dan untuk persoalan-persoalan tertentu, Wartawan wajib memetakannya. Penyiapan anatomi persoalan
itu bahkan merupakan langkah awal sebelum berlangsungnya sebuah
wawancara. Bermutu tidaknya sebuah wawancara, biasanya justru lebih
banyak ditentukan oleh hal tersebut. Misalnya, seorang Wartawan ingin mengetahui secara detail tentang posisi, peran dan sumbangan intelektual dalam mendorong demokrasi di Indonesia, maka Wartawan harus mampu menggambarkan bagaimana kaum intelektual Indonesia mengembangkan wacana yang beragam atas wacana resmi Orde Baru di sekitar tema-tema pokok “Pembangunan”, “Dwi fungsi”, “Demokrasi Pancasila”,”Persatuan dan kesatuan” serta “Sara”. Itu yang penting !.
Dari sana akan bisa dibuat kategori-kategori intelektual Indonesia. Dan mungkin saja akan segera terpetakan adanya intelektual ortodoks,
revisionis dan mungkin oposisionis. Secara demikian, setidaknya telah
tercipta sarana pemahaman baru yang lebih memadai tentang intelektual
Indonesia.
Untuk
sampai pada pemahaman itu, seorang Wartawan harus memiliki referensi
cukup tentang berbagai bidang yang diminati.
Jadi, wawancara seorang
jurnalis hanya akan sukses dan bermutu, manakala ia telah memiliki
kesiapan seperti dimaksud. Namun, yang justru tampak rumit, adalah aktifitas di balik teknik wawancara itu.
Adapun teknik wawancara bisa dikelompokkan menjadi dua (2) bagian.
1. Teknik verbal yang betul-betul memerlukan alat bantu hard ware yang diperlukan.
2. Teknik
substansial – teknik yang terkait dengan kemampuan jurnalis dari segi
ketajaman nuraninya dalam menentukan pilihan tema, tempat dan saat yang
tepat bagi berlangsungnya sebuah wawancara. Disini perlu adanya
ketajaman analisis sosial.
Itulah
pentingnya seorang Wartawan menguasai materi yang hendak
diwawancarakannya terhadap narasumber. Hanya dengan cara seperti itu, ia
mampu memperoleh informasi banyak dan akurat serta signifikan.
Konkritnya, beberapa hal dibawah ini bolehlah dianggap sebagai tip untuk menunjang suksesnya sebuah wawancara.
1. Wartawan harus memakai kalimat tanya yang bisa membuahkan jawaban obyektif.
2. Pertanyaan harus selalu diusahakan dengan menggunakan kalimat pendek dan mudah dimengerti.
3. Tidak boleh segan-segan mengajukan pertanyaan ulang atas hal-hal yang belum jelas untuk dimengerti.
4. Tahu momentum yang tepat. Juga tahu apa yang layak dan tidak layak untuk ditanyakan, sekaligus cara bertanya yang pas.
5. Jauhi pertanyaan yang bernada menggurui.
6. Hindari gaya interogasi.
7. Hindari pertanyaan yang sifatnya mencari legitimasi dari frame pemikiran yang sebetulnya sudah dimiliki.
8. Hindari pertanyaan yang bersifat menguji nara sumber.
9. Tumbuhkan sifat empaty dalam wawancara.
10. Untuk
hal-hal yang spesifik, wartawan perlu terlebih dahulu memaparkan
persoalan yang hendak dimintakan pendapat dari nara sumber.
11. Hindari kalimat tanya yang bersifat mengadu domba.
12. Buat pertanyaan yang mampu menggugah daya nalar, ingatan serta perspektif nara sumber.
Ke
dua belas tips itu, mungkin akan menjadi jaminan suksesnya sebuah
wawancara. Tetapi, mungkin juga takkan berguna apa-apa, jika tidak
diimbangi dengan kemampuan jurnalistik individu yang mengoperasikannya.
Karena itu pula, seorang jurnalis ”haram” mendatangi nara sumber dengan
kepala kosong.
Persiapan Wawancara
Ada beberapa persiapan yang harus anda lakukan sebelum melakukan wawancara, diantaranya:
- Penentuan tema. Mengapa suatu tema harus diangkat? Kenapa harus sekarang? Pertama-tama tanyakan pada diri anda sendiri – mengapa kasus dibawakan sekarang? Dari awal harus sudah jelas peran apa yang akan anda bawakan – informasi apa yang anda mau dari narasumber, apakah perspektifnya, dimana mereka akan anda posisikan.
- menentukan Angle. Angle atau sudut pandang sebuah berita ini dibikin untuk membantu tulisan supaya terfokus. Kita tidak mungkin menulis seluruh laporan tentang apa yang kita lihat, atau menulis seluruh uraian yang disampaikan oleh narasumber. Tulisan yang tidak terfokus hanyalah akan membingungkan pembaca. Untk mebentukan angle salah satu cara yang termudah adalah membuat sebuah [pertanyaan tunggal tentang apa yang mau kita tulis. Jawaban pertanyaan tidak boleh melebar kemana-mana. Hal-hal yang tidak relevan dengan angle sebaiknya tidak ditanyakan. Jika ada informasi lain yang disampaikan maka bisa dibuat judul lain. Atau informasi yang sangat penting tersebut tidak cukup untuk dibuat dalam berita tersendiri, maka bikinlah sub judul.
- Susunlah outline.
Agar memudahkan dalam wawancara maka sebaiknya anda menyusun
kerangka berita (outline) atau istilah yang lebih lazim flowchart. Outline berisi antara lain:
- Tema berita
- Angle
- Latar belakang masalah
- Narasumber
- Daftar pertanyaan
Mengumpulkan Informasi dengan Tepat
Ketidak
akuratan (kesalahan) dalam pemberitaan kebanyakan disebabkan oleh
kelalaian (kesembronoan) yang tidak disengaja. Seorang reporter mungkin
tidak menggunakan waktu secukupnya untuk mengecek informasinya sebelum
menulis berita. Kemudian ia salah menuliskan nara sumber berita.
Seorang wartawan kawakan akan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kesalahan fakta:
- Bila anda mewawancarai seseorang, tanyakan nama, umur, alamat, dan nomor teleponnya. Setelah mengumpulkan informasi, ejalah namanya dan bacakan informasi yang anda peroleh (tangkap) sehingga sumber berita bisa mengoreksinya. Nomor telepon tidak ditulis dalam berita, namun reporter harus mengetahuinya untuk mengadakan kontak dengan sumber berita tersebut.
- Bila informasi nara sumber anda peroleh dari tangan kedua, harap dicek pada sumber berita untuk membetulkannya.
- Jangan sekali-kali beranggapan bahwa bahwa anda mengetahui semuanya. Anda selalu harus mengecek ulang setiap informasi yang penting.
- Bila tulisan anda menyangkut materi yang rumit, pastikanlah dulu bahwa anda mengetahui hal itu.
Umumnya
seorang wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan,
dan megajukan pertanyaan sesuai dengan posisi itu.
- Bila menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus mengecek angka-angkanya dan menghitung. Banyak wartawan yang berdalih bermacam-macam bila seorag pembaca yang kritis mengirim surat ke redaksi dan menunjukkan perhitungan yang keliru dalam tulisan wartawan.
Statistik
harus dicermati benar dengan penuh kecurigaan. Anda bisa membuktikan
apa saja dengan statistik, tergantung bagaimana cara anda menyajikannya
dan apa saja yang anda masukkan atau tinggalkan. Tanyakanlah kepada
sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran angka-angka tersebut.
Seorang
reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu
masyarakat. Kekritisan dan pengecekan yang teliti sering bisa
menghindarkan hal it terjadi.