Minggu, 22 November 2009

BERHENTI MEROKOK


Pada kesempatan kali ini saya ingin menulis tentang Rokok. Atau tepatnya adalah merokok. Mudah-mudahan bukan bermaksud menyinggung perasaan kawan-kawan saya yang perokok, namun lebih kepada berbagi pengalaman.

Ya, benar..,pengalaman saya tentang rokok. Saya dulunya adalah seorang perokok. Walau belum termasuk katagori perokok berat, namun menghabiskan sebungkus rokok putih sehari adalah kebiasaan saya, dulu! Rokok mulai saya kenal sejak saya masih di Sekolah Dasar, namun merokok baru saya lakoni ketika menjadi Mahasiswa di Banda Aceh. Sampai saya selesai kuliah kemudian bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan swasta di Jambi, kebiasaan saya masih sulit dihilangkan. Selalu ada saja alasan ketika Ibu saya maupun isteri (ketika sudah berkeluarga) menasehati agar saya menjauhi sekumpulan gulungan tembakau tersebut. Tidak juga ketika isteri saya mengandung anak pertama maupun kedua, walaupun saya menyadari benar-benar bahwa merokok ataupun efek dari asap rokok berbahaya bagi ibu hamil. Saya kebal dengan berbagai nasehat tersebut, dulu!
Sekarang saya tidak merokok lagi alias bukan perokok...! Sejak tahun 2007 saya mulai menyadari bahwa rokok tidak baik bagi kesehatan. Saya mulai tersadarkan, sehingga mulai bulan Ramadhan 1428 H kebiasaan itu pelan-pelan mulai bisa saya hilangkan, walau tidak sepenuhnya. Tentu saja malam hari, karena kalau siang memang kita berpuasa. Selanjutnya setelah Idul Fitri 1428 H, saya mengikuti kajian demi kajian agama, dan ternyata merokok lebih banyak akibatnya daripada manfaatnya.

Adalah Dewa Abdullah, seorang teman akrab saya di Kota Juang, yang kebetulan ianya adalah seorang kader PKS di Bireuen, yang "memarahi" saya untuk berhenti merokok. Berhenti selamanya. Pada suatu kesempatan di akhir tahun 2007, kami terlibat obrolan panjang tentang berbagai hal, terutama soal politik. Seperti biasa, obrolan dengannya selalu "panas" karena ybs memang tipe-nya sangat serius. Tanpa sengaja, obrolan berlanjut soal rokok. Ketika dilihatnya saya masih membakar rokok kretek (bukan rokok putih) dengan spontan ianya "memarahi" saya atau katakanlah menceramahi saya. Mulai alasan kesehatan sampai alasan agama. Sampai-sampai ybs mencontohkan dirinya, masa lalunya. Dia punya tekad, sehingga bisa berhenti dan bebas asap seperti sekarang.

Tekad...! Ya, tekad-lah yang bisa menghantarkannya berubah. Kalau kita memiliki tekad, semua bisa kita jangkau, seizin Allah SWT. Kalau kita punya tekad naik haji, Insya Allah dengan keseriusan, kita akan bisa naik haji suatu saat, walaupun pekerjaan kita serabutan. Apalagi hanya tekad berhenti merokok. Kalau sudah bertekad berhenti, pasti bisa berhenti. Dan itulah yang saya lakukan, mulai tanggal 1 Januari 2008, beberapa hari setelah bertekak urat leher dengan seorang Dewa Abdullah, yang juga Ketua Dewan Kesenian Bireuen, Aceh.
Pada beberapa kesempatan berikutnya, beberapa teman saya suka mencandai saya dengan menghadiahkan rokok sampai satu lusin (12 bungkus) untuk melihat kekokohan tekad saya. Dan, Alhamdulillah, sampai saat ini, hampir dua tahun saya tidak lagi membakar tembakau.

Saya tidak ingin "memaksa" teman-teman berhenti. Namun sebagai teman, saya harus mengingatkan bahwa merokok sangat berbahaya dari sisi kesehatan. Konon lagi, Majelis Ulama Pusat telah memfatwakan bahwa merokok haram hukumnya. Terlepas masih ada perbedaan pendapat, dan dapat dibuktikan dengan banyaknya ulama yang lain masih merokok, namun pikirkanlah untung rugi-nya dengan penuh kesadaran. Tidak perlu berhenti mendadak, kalau itu susah. Namun cobalah dengan tekad, bahwa Anda harus berhenti merokok, pelan-pelan sampai suatu saat benar-benar bebas rokok.
Saya yakin dengan tidak merokok, Anda tetap maskulin..., malah Anda akan tetap maskulin di depan isteri Anda (umumnya isteri yang "normal" tidak suka suaminya merokok). Anda juga dapat menghemat uang belasan ribu sehari, dan uang itu bisa Anda gunakan untuk hal-hal positif, misalnya membeli buku agama. Ataupun untuk tabungan sekolah anak-anak. Alangkah lebih bagus, bila uang tersebut Anda infaqkan sebagai bekal di akhirat nanti.

Timbul pertanyaan, apakah saya sudah kaya dan mempunya tabungan yang banyak sejak berhenti merokok...? Tidak juga. Namun, pengalaman saya, setelah tidak merokok, jiwa dan fisik saya sudah lebih baik. Dan memang uang jatah rokok, saya gunakan untuk hal-hal positif juga, seperti memperbanyak buku di rumah (kebetulan saya & keluarga termasuk suka membaca).

Dalam kesempatan ini, saya tidak mengkaji secara ilmiah tentang bahaya merokok dari sisi kesehatan. Begitu juga dari sisi agama. Toh kalau Anda sudah bertekad, referensi soal rokok dengan sangat mudah akan Anda dapatkan di internet. Banyak situs anti-rokok, tinggal Anda cari di google, Anda akan dengan mudah mendapatkannya. Saya hanya mengutarakan pengalaman, dan mudah-mudahan pengalaman ini jadi hal positif bagi Anda; perokok yang ingin berhenti merokok.

Salam hormat saya, mari berhenti merokok.... Mulai sekarang!!!!

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan

Minggu, 15 November 2009

"SURAT SAYANG DARI ALLAH"


Terus terang saja, dalam sebulan terakhir saya sibuk dengan pekerjaan. Ada saja tugas yang harus saya selesaikan, sepulang Pelatihan Slicing 2 akhir bulan lalu. Mulai dari membuat laporan, Rakoor bulanan, Pelatihan UPK, mengunjungi gampong dan persiapan pencairan dana gampong, sehingga kadang-kadang untuk shalat berjama'ah saya terabaikan. Astaghfirullah....!

Sampai kemarin saya menemukan sebuah "peringatan" di laptop saya. Alhamdulillah, bukan peringatan dengan bencana dari Allah ataupun dicabut kenikmatan yang selama ini saya dapatkan, namun dengan sebuah surat yang pernah saya download dari internet, yang entah kapan... Judulnya adalah "Surat Sayang dari Allah" yang berasal dari Tarbawi Comunity. Kalimat demi kalimat dari surat itu saya hayati sampai saya tersadar bahwa dalam beberapa waktu terakhir ada yang "hilang" pada diri saya. Dan saya tentu saja harus segera "mengembalikannya". Terima kasih pada Tarbawi Comunity, dan izinkan saya menulis kembali surat tersebut, dengan harapan menjadi bacaan yang bermanfaat bagi orang lain.

SURAT SAYANG DARI ALLAH

Dari : Tarbawi Community

Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu
Berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun
hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur
kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin .......

Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk
mempersiapkan diri untuk pergi bekerja
AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU
tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti
dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk .........

Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama
lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian AKU
Melihat engkau menggerakkan kakimu. AKU berfikir
engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari
ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk
mendengarkan kabar terbaru

AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU
menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua
kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk
mengucapkan sesuatu kepadaKU

Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang
sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk
berbicara kepadaKU
itulah sebabnya mengapa engkau
tidak menundukkan kepalamu
Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan
melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut
namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU
berikan, tetapi engkau tidak melakukannya ........
masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap
engkau akan berbicara kepadaKU, meskipun
saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan
banyak hal yang harus kau kerjakan

Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV
engkau menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya
tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yg ditampilkan
Kembali AKU menanti dengan sabar saat engkau menonton TV
menikmati makananmu
tetapi
kembali kau tidak berbicara kepadaKU ...

Saat tidur, KU pikir kau merasa terlalu lelah.
Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu
kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa
sepatahpun namaKU, kau sebut.
Engkau menyadari bahwa
AKU selalu hadir untukmu.
AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari.
AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar
terhadap orang lain. AKU sangat menyayangimu
setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do'a, pikiran atau syukur dari hatimu.

Keesokan harinya ...... engkau bangun kembali dan
kembali AKU menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku
sedikit waktu untuk menyapaKU ...
Tapi yang KU tunggu ...
tak kunjung tiba ...
tak juga kau menyapaKU.

Subuh ...
Dzuhur ...
Ashyar ...
Magrib ...
Isya dan
Subuh kembali
kau masih mengacuhkan AKU ...
tak ada sepatah kata
tak ada seucap do'a, dan
tak ada rasa
tak ada harapan dan keinginan untuk bersujud kepadaKU ...
Apa salahKU padamu ...
wahai hamba-KU?????
Rizki yang KU limpahkan,
kesehatan yang KU berikan,
harta yang KU relakan, makanan yang KU hidangkan
anak-anak yang KUrahmatkan
apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepadaKU !

Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan
AKU tetap berharap suatu saat
engkau akan menyapa KU,
memohon perlindungan KU,
bersujud menghadap KU ...
Yang selalu menyertaimu setiap saat ...

Mudah-mudahan dengan surat tersebut di atas akan menjadi salah satu bahan renungan untuk kita semua, dan terutama bagi saya sendiri sebagai hamba Allah yang sangat banyak kekurangan. Mari kita do'akan agar kita selalu di jalan yang benar.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua.

TIDAK TRANSPARAN


Apa kabar kawan-kawan ? Saya sudah lama tidak menulis. Kesibukan pekerjaan membuat saya kurang mood untuk menulis. Bukan tidak mencoba, bahkan saya sering lama-lama duduk di depan layar laptop, namun selalu tidak tuntas...

Dalam minggu ini saya punya pengalaman baru yang ingin saya angkat. Minggu ini, saya mengunjungi gampong-gampong di Samadua dan menemukan beberapa persoalan di sana. Bukan soal kunjungan yang ingin saya tulis, karena saya memang sudah sering ke gampong-gampong, sesuai dengan tugas saya, namun lebih kepada beberapa persoalan yang terjadi.

Di beberapa gampong yang saya kunjungi, banyak pertanyaan dari tokoh masyarakat maupun dari perangkat gampong tentang program BKPG dan ADG, yang seharusnya tidak perlu ditanyakan. Namun karena tidak terbangun "komunikasi yang baik" antara beberapa masyarakat dengan para pengambil kebijakan di gampong, maka timbul pertanyaan, yang kalau tidak segera ditangani akan menjadi sebuah "persoalan"...

Hal-hal yang ditanyakan umumnya tentang keuangan gampong (desa), tentang program BKPG, tentang ADG, dll sebagainya. Seandainya di gampong semua informasi disampaikan dengan baik melalui "papan informasi" tentu saja tidak timbul "pertanyaan" yang menjurus pada pembentukan opini bahwa ada yang kurang diketahui masyarakat terkait berbagai kebijakan. Nah tugas kami sebagai Fasilitator adalah menfasilisitasi berbagai masalah tersebut agar segala sesuatu berjalan dengan baik sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kesimpulan yang bisa dipetik dan menjadi pelajaran adalah dengan tidak transparannya segala kebijakan yang kita ambil, akan membawa ketidaknyamanan bagi pihak lain. Dan tentu saja selanjutnya akan berkembang menjadi beragam "persoalan" yang akan menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu akan meledak. Dan pengalaman seperti yang saya sebutkan di atas, menjadi semacam peringatan dan selanjutnya saya menyampaikan pada gampong-gampong lain yang belum saya kunjungi. Bahwa; agar timbul rasa saling percaya, baik antara perangkat gampong dengan masyarakat mupun antara pemimpin gampong dengan perangkat gampong lainnya, segala kebijakan yang diambil haruslah berdasarkan musyawarah dan mufakat. Dan hasilnya haruslah disampaikan pada khalayak ramai dengan menjunjung tinggi azas transparansi....!

Mudah-mudahan pengalaman ini menjadi pelajaran juga bagi kami.

Mukhlis Aminullah

Rabu, 11 November 2009

KEBERKAHAN HARTA


Kaya…! Saya pikir tidak ada orang yang tidak ingin kaya. Semua orang menginginkan kaya, dan itu adalah wajar, sehingga orang berlomba-lomba mencari kekayaan. Bekerja siang dan malam, tanpa mengenal waktu istirahat. Ada orang yang mencari kekayaan dengan cara yang halal dan diridhai oleh Allah SWT, namun tidak sedikit yang mendapatkannya dengan cara-cara yang tidak halal. Segala macam cara ditempuh agar menjadi kaya, tidak peduli cara-cara tersebut telah merugikan pihak lain. Yang penting kaya. Dan dalam masyarakat kita yang sudah mulai pudar nilai-nilai luhuriah, orang kaya akan lebih dihormati daripada orang alim atau ulama ataupun cendekiawan ataupun seorang pemimpin. Sehingga kalau orang sudah kaya, seakan sudah memiliki semuanya, baik itu harta maupun “kehormatan” semu.

Padahal sesungguhnya, kekayaan yang Allah SWT berikan kepada manusia merupakan titipan sementara. Sebagian manusia mendapatkan titipan itu dengan jumlah yang besar dan sebagian yang lain mendapatkannya dengan jumlah kecil. Namun, menurut ajaran Islam, keberkahan harta benda itu tidak ditentukan oleh besaran jumlahnya, melainkan bagaimana harta itu bernilai bagi manusia. Untuk mendapatkan keberkahan terhadap harta kita, haruslah dibarengi dengan amalan-amalan yang sesuai dengan tuntunan Islam yaitu antara lain.

Pertama, syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang dikaruniakan kepadanya.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim ayat 7).

Kedua, silaturahim. Amalan ini merupakan upaya menyambung tali persaudaraan antar sesama manusia: merajut dan memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim) dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Praktik ini dapat melapangkan rezeki dari Allah.
Abu Hurairah RA menyampaikan sebuah hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan hal ini, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali kekerabatan (silaturahim).” (HR Bukhari).

Ketiga, menafkahkannya di jalan Allah. Berkembangnya harta dipengaruhi juga oleh faktor di mana ia dibelanjakan.
Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 261).

Keempat, senantiasa melakukan kebaikan. Segala kebaikan akan kembali kepada pelakunya. Kebaikan itu akan membuahkan keberkahan dan kebahagiaan. Dalam Alquran, dijelaskan, “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu.” (QS Al-Isra’ ayat 7).

Kelima, berzakat dan bersedekah. Zakat dan sedekah akan membersihkari harta seseorang karena di dalamnya terdapat hak orang lain.
Allah berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya, doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah ayat 103).

Itulah lima amalan yang akan mendatangkan keberkahan harta kekayaan. Semoga Allah menurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi melalui harta kekayaan yang kita miliki.

Seliain kelima hal tersebut di atas, ada hal lain yang harus menjadi catatan kita yaitu harta kekayaan seseorang akan berkah jika pemiliknya mendapatkannya dengan jalan yang benar. Kalau harta didapatkan dengan cara yang tidak halal, bukan hanya akan membawa manusia ke neraka, namun juga akan mendapat malapetaka di dunia.. Betapa banyak kita melihat contoh di sekeliling kita, kejadian-kejadian yang dialami saudara-saudara kita. Ketika anak orang miskin sakit, Insya Allah hanya dengan obat yang dijual di kaki lima seharga Rp 5.000,- sudah cukup membuat si anak sembuh dari sakitnya. Ketika anak seorang pengusaha sakit, baru sembuh setelah diobati pada dokter terkenal dengan harga tebusan obat yang mahal. Contoh lainnya adalah betapa banyak anggota keluarga dari para pejabat kita, yang digerogoti bermacam penyakit (yang aneh-aneh) dan harus diobati pula ke Penang. Setelah menguras isi kantong sendiri (maupun uang rakyat---garansi sebagai Pejabat publik), ternyata penyakitnya tidak sembuh. Sementara rakyat jelata, yang hidup miskin (tidak punya kesempatan korupsi), tidak mengalami sakit yang aneh-aneh. Memang, kita tidak boleh mengalogikan demikian, karena setiap penyakit datangnya dari Allah dan setiap kesembuhan juga datangnya dari Allah. Namun sebagai peringatan bagi kita, agar selalu mencari harta yang halal, mengingat cintoh-contoh yang saya sbutkan di atas, tentu tidak salah.

Mudah-mudahan tulisan di atas menjadi bahan renungan bagi saya sendiri maupun bagi orang lain. Terima kasih.
Wallahu’alam.....

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua.

Selasa, 20 Oktober 2009

SEKILAS "HAFALAN SHALAT DELISA"


Adalah Rara. Panggilan singkat nama anak sulung sahabat lama saya, Tari, nun jauh di kota Jambi, yang membuat saya terinspirasi untuk menyelesaikan bacaan Novel religius ‘’Hafalan Shalat Delisa’’ beberapa hari yang lalu.
Suatu hari Tari, melalui telefon, mengisahkan tentang anak sulungnya, Rara, yang hobbi sekali membaca dan menulis. Suka menulis puisi, juga suka menulis cerita disamping suka membaca kisah-kisah Islami. Salah satu bacaannya adalah Novel karya Tere Liye yaitu ‘’Hafalan Shalat Delisa’’. Lebih istimewa lagi, buku novel tersebut dibeli memakai uang Rara pribadi, hadiah sebagai Juara III Lomba Baca Puisi tingkat pelajar se Kota Jambi, beberapa waktu yang lalu. Sebagai seorang sahabat, yang kebetulan juga suka membaca karya sastra, saya sangat mengapresiasi kisah anak sahabat saya ini. Saya berpikir, bahwa anak ini pasti punya bakat dibidang sastra. Apakah itu sebagai penulis puisi ataupun menulis apa saja, yang berhubungan dengan dunia sastra. Nah, dalam beberapa kesempatan saya mendorong sahabat saya, Tari, agar memberi keleluasaan pada puterinya untuk mengembangkan bakatnya tersebut, dengan cara yang tepat. Karena tugas kita sebagai orang tua, hanya mengarahkannya dengan benar. Seperti kata Kahlil Gibran, ‘’anakmu adalah anak panah, sementara kamu adalah busurnya. Tugasmu adalah membidik dengan tepat agar anak panah melesat sesuai dengan jalurnya’’......

Kembali ke soal Rara. Sejak minggu lalu kami mulai berkomunikasi via email dan sms. Dekat dan karib. Hubungan kami seperti seorang paman dengan keponakan. Padahal saya sesungguhnya tidak akrab dengannya, kecuali beberapa kali ketemu saat dia masih berumur 6 atau 7 tahun, saat saya masih berdomisili di Jambi, dulu. Namun dari cerita bundanya, saya tentu bisa membayangkan sosoknya sekarang. Tidak terlalu sulit, karena saya juga punya beberapa keponakan cewek yang seumur dengannya. Namun terlepas dari alasan di atas, yang pasti, karena terinspirasi gadis 13 tahun inilah, saya kemudian menghabiskan bacaan‘’Hafalan Shalat Delisa’’ dua hari kemudian. Padahal saya sudah meninggalkan bacaan Novel tersebut sejak dua bulan lalu, setelah membaca seperempat –nya saja. Karena Rara, tiba-tiba saja ada keinginan kuat dari diri saya untuk meneruskan tiga perempatnya lagi. Terima kasih, Rara.

Di atas sudah saya kisahkan sedikit tentang Rara, mari kita lanjutkan tentang Novel ‘’Hafalan Shalat Delisa’’..... Menurut saya, ini merupakan novel yang hebat! Bukan hanya menceritakan sosok gadis kecil Delisa ataupun keluarga Abi Usman secara sempit, namun juga cukup untuk menggambarkan kondisi Aceh, sebelum dan pasca bencana gempa dan tsunami, khususnya di Lhoknga, sebuah kawasan di pinggiran kota Banda Aceh. Dan membaca novel ini, saya meyakininya sebagai kisah sejati (true story), walaupun nama-nama tokohnya adalah hasil imajinasi Tere Liye.

Sebagai orang Aceh yang tinggal di Aceh, saya tidak heran lagi dengan kisah seperti yang dialami keluarga Delisa. Bukan bermaksud meremehkan, kisah Abi Usman dan keluarganya tidaklah istimewa. Karena ratusan keluarga lainnya juga mengalami nasib yang sama seperti yang keluarga Abi Usman alami, yaitu digulung tsunami kemudian dengan kebesaran Allah SWT, diantara anggota keluarga ada yang selamat. Tidak tau bagaiamana jalan bisa selamat. Yang sangat istimewa dari novel ini adalah gaya penulisan dan tata bahasa serta penggambaran (latar) tempat kejadian disusun dengan baik oleh Tere Liye, sehingga mebuat para pembaca menjadi haru biru, mengenang sosok Delisa, gadis kecil yang pintar dan cantik dari Lhoknga. Apalagi bagi saya, sebagai orang Aceh yang beberapa anggota keluarga (famili jauh) dan sahabat dekat, juga menjadi korban tsunami. Membaca novel ini membuat saya terbayang pada saat saya ke Banda Aceh mencari keluarga yang hilang, mulai hari kedua setelah bencana, yaitu tanggal 27 Desember 2004 lalu. Dan membuat saya menerawang jauh, membuka memori lama, bagaimana suasana Banda Aceh dan juga Lhoknga, setelah tsunami. Dan tentu saja bisa memperkokoh iman, dengan mengingat betapa Maha Besar Allah SWT, bisa melakukan apa saja, termasuk bila ingin memberi peringatan pada ummat manusia dengan menghancurkan bumi dalam hitungan menit saja.

Apakah anda sudah membaca novel ini ? Kalau belum, saya sarankan agar anda meluangkan sedikit waktu untuk membaca kisah Delisa tersebut. Saya bukan bermaksud mempromosikan agar buku ini laku atau menyampaikan pesan sponsor. Adalah layak bagi kita untuk membaca dan memberi penghargaan pada Tere Liye sekaligus mengambil hikmah dari cerita/kisah keluarga Abi Usman dengan Delisa kecilnya. Namun pada kesempatan ini saya ingin sedikit menggambarkan secara ringkas saja.

Adalah Abi Usman, seorang lelaki Aceh yang bekerja sebagai pelaut pada kapal tanker asing. Sesuai dengan pekerjaannya, tentu saja hari-harinya dihabiskan di laut, dan mendapat cuti, tiga bulan sekali untuk menemani kelaurganya di Lhoknga, pinggiran Kota Banda Aceh. Untuk menjaga dan mendidik beberapa buah hatinya, dia mempunyai seorang isteri bernama Salamah, perempuan shalihah yang mendedikasikan hidup sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.

Abi Usman mempunyai 4 orang anak, semuanya perempuan. Yang sulung adalah Fatimah, 16 tahun, kelas I MAN Lhoknga. Selanjutnya anak kembar, Zahra dan Aisyah yang berumur 12 tahun, kelas I MTsN Lhoknga, dan si bungsu, Delisa yang berumur 6 tahun. Fatimah merupakan remaja puteri yang rajin mengaji, suka membaca, pintar dan bisa mengayomi adik-adiknya. Sering terlibat diskusi dengan ayah maupun umminya, tidak hanya terkait dengan pelajaran sekolah, tapi juga berbagai persoalan lainnya. Dia juga bisa menjadi mitra umminya dalam mendidik adik-adik. Zahra adalah tipikal gadis tanggung yang pendiam, namun pintar dan penuh perhitungan. Sementara Aisyah, wataknya kebalikan dari Zahra, bagai siang dengan malam. Dia merupakan gadis yang periang, agak sedikit jahil, selalu suka mengganggu dana mencandai berlebihan adiknya, Delisa. Namun Aisyah tetaplah seorang yang rajin mengaji dan pintar di sekolah. Delisa, yang merupakan tokoh sentral dalam cerita novel ini, adalah si bungsu yang menjadi kesayangan keluarga. Dia adalah gadis kecil yang cantik, kulitnya putih bersih agak sedikit kemerah-merahan, matanya hijau, rambutnya ikal agak sedikit pirang, layaknya perpaduan Timur dengan Barat. Sifatnya agak sedikit cerewet dan suka bertanya, serta suka bergaul dengan anak lelaki sebayanya daripada bergaul dengan sesama perempuan. Main bola adalah kesukaannya. Dia juga cerdas seperti kakak-kakaknya.

Suatu hari, Ummi (mereka memanggil ummi untuk ibunya, Salamah), berjanji akan memberikan sebuah kalung kepada Delisa apabila dia bisa menyelesaikan dengan benar hafalan shalatnya. Janji ummi itu membuat semangat nya luar biasa, sehingga dia menghafal siang malam. Tapi entah kenapa hafalan shalatnya sangat susah dilakukan padahal dia adalah anak yang sangat pintar. Namun walaupun agak susah, dia tidak berhenti menghafal. Tentu saja motivasinya adalah kalung yang dijanjikan ummi-nya. Sampai beberapa waktu kemudian, hafalan shalat Delisa hampir sempurna.

Tanggal 26 Desember 2004. Siapapun orang Aceh pasti tidak akan melupakannya. Minggu pagi yang cerah tiba-tiba bumi bergoyang, gempa dahsyat, kemudian air laut di pantai surut sampai 500 meter, membuat pantai semakin luas, ikan-ikan nampak seperti di kolam yang sedang panen. Ratusan orang yang sedang menikmati indahnya pantai, berlarian ke laut yang landai untuk mengutip ikan-ikan yang menggelepar karena ditinggalkan air laut yang surut. Pada saat yang sama, di sebuah sekolah, tepatnya MIN Lhoknga, Ibu Guru Nur sedang mengajarkan praktek shalat sekaligus ujian bagi anak asuhannya, termasuk Delisa. Sengaja dibuat hari Minggu, agar suasana lebih rileks. Namun tak satupun dari mereka yang tau bahwa pada saat mereka melaksanakan praktek shalat itu, Allah SWT sudah punya rencana lain yaitu bencana gempa dan tsunami. Tepat ketika giliran Delisa, bumi goncang, air laut naik ke darat bergulung-gulung menghanyutkan semuanya, bangunan sekolah, rumah-rumah kokoh serta penghuninya. Ibu Guru Nur dan anak-anak asuhannya tercerai berai entah kemana, di bawa tsunami.

Dari korban yang selamat, ternyata Delisa salah seorang diantaranya. Tubuhnya terseret sejauh 4 kilometer dan terdampar di kaki bukit Lhoknga. Beberapa saat kemudian dia ditemukan oleh salah seorang US Army yang menjadi relawan tsunami, bernama Smith. Pada saat bersamaan ayah Delisa, Abi Usman, hatinya sangat resah di tengah laut lepas, bersama armada tankernya. Dia akhirnya mengetahui bencana tsunami di Aceh dan segera diizinkan pulang.

Dia pulang dengan harapan menemukan keluarganya tidak ada yang menjadi korban tsunami. Tapi apa mau dikata, melihat Banda Aceh termasuk kampung halamannya Lhoknga sudah rata dengan tanah. Dia tidak menemukan apa-apa, kecuali jejak rumahnya yang tinggal lantainya saja. Dalam kesedihan yang panjang, dia tidak putus asa dan masih terus berusaha mencari anggota keluarganya. Sementara Delisa sudah dirawat di Rumah Sakit Kapal Induk Amerika di lepas pantai Aceh, kakinya terpaksa diamputasi.
Tibalah saatnya Abi Usman menuai berita baik. Daftar nama-nama korban yang dirawat di kapal induk dikirim ke barak Marinir di Lhoknga, dan Abi Usman menemukan nama Delisa disana. Dia tak sabar menanti untuk segera bertemu anak bungsunya. Smith, yang telah berganti nama menjadi Salam, karena mengucapkan dua kalimah syahadat 3 hari setelah menemukan Delisa, menjadi perantara yang mempertemukan Abi dengan Delisa. Walaupun isterinya dan anak-anaknya yang lain belum ditemukan (akhirnya memang tidak ditemukan), dengan mendapati Delisa masih hidup sudah cukup menghibur perasaannya sebagai seorang ayah dan seorang seorang suami yang kehilangan keluarga. Alhamdulillah..........

Episode selanjutnya adalah ketika Delisa sudah sembuh dan diizinkan pulang, Abi mulai merajut kembali kehidupan di Lhoknga. Dia memutuskan tidak lagi bekerja di kapal. Dia ingin menjadi ayah sekaligus Ibu bagi anak satu-satunya yang tertinggal. Perlahan dia mulai lagi kehidupan. Pada bekas rumahnya, yang tinggal lantainya saja, dia bangun kembali rumah sangat sederhana, dibantu tentara Amerika yang sudah akrab dengannya. Sebagian diantaranya beragama Islam, termasuk Salam. Abi Usman sangat berterima kasih, dan jasa mereka tidak sanggup dibalas.

Delisa, dengan kakinya sebelah yang sudah diamputasi, tetap dengan keceriaannya. Ia tetap anak yang periang dan cerdas. Tidak ada yang berubah pada sifatnya, kecuali sekarang ia nampak lebih dewasa daripada sebelumnya. Ia sudah bisa membantu Abi-nya dalam hal-hal pekerjaan rumah yang ringan. Nampak sekali, ia bukan Delisa anak bungsu ummi Salamah maupun adik bungsu kakak-kakaknya. Bersama dengan beberapa rekannya yang selamat, ia melanjutkan sekolah kembali di Lhoknga. Pada kesempatan yang lain, ia meneruskan hafalan shalatnya yang terputus saat tsunami. Walaupun kadang-kadang masih memimpikan kedatangan ummi dan kakak-kakaknya, namun Delisa telah menjadi anak yang sabar, giat belajar dan menjadi contoh teladan orang sekelilingnya.

Begitulah, ringkas cerita tentang Delisa. Saya berharap dengan membaca novel ini, membawa kita kembali mengingat kebesaran Allah SWT dan menjadi salah satu langkah menuju perbaikan iman ke arah yang lebih baik. Terima kasih Rara, semoga juga cerita di atas berguna untukmu, dan semoga saja suatu saat kamu adalah Tere Liye yang lain.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan

Sabtu, 19 September 2009

IRONI MEMAKNAI IDUL FITRI

Insya Allah beberapa jam lagi, kita, ummat Islam yang melaksanakan puasa, akan menyelesaikan ibadah puasa kita hari terakhir Ramadhan 1430 H. Dan kita akan menyongsong 1 Syawal sebagai hari kemenangan. Subhanallah, karena Allah telah memberi umur panjang untuk kita sehingga kita akan bisa menyelesaikan puasa tahun ini.

Sebagai insan hamba Allah SWT, saya yakin, semua kita telah berusaha untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan memperbanyak amalan, baik yang wajib maupun yang sunat. Kita telah melakukannya, dan hanya Allah Yang Maha Kuasa yang tau, apakah ibadah kita sudah baik dan benar, sehingga akan mendatangkan pahala. Atau kah, kita hanya termasuk golongan yang merugi...? Yang hanya menahan lapar dan dahaga saja. Wallahu'alam....

Insya Allah, nanti malam sudah masuk pada tanggal 1 Syawal. Tentu saja kita sangat merasa kehilangan. Saya tidak bisa membayangkan, apakah pada tahun 1431 H masih diberi umur panjang sehingga dapat bertemu lagi dengan Ramadhan. Hanya yang Allah yang Maha mengetahui.
Pengalaman kita pada tahun-tahun sebelumnya, malam Lebaran di berbagai kota selalu meriah, tak terkecuali Bireuen. Biasanya semua orang akan tumpah ruah turun ke jalan untuk melakukan Takbiran. Suasananya sangat ramai, dipenuhi dengan berbagai macam model manusia yang sibuk dengan eforia takbiran. Kenderaan dipastikan akan memenuhi jalanan Kota Juang.... Sebagian orang sudah berduyun-duyun memenuhi toko pakaian dan malam ini barangkali adalah puncaknya. Ibu-ibu tak ketinggalan memenuhi toko yang menjual berbagai macam kue. Selusin kaleng kue di rumah, rasanya belum cukup, masih ditambah dengan berbagai penganan lainnya.
Nah... apakah semua perilaku yang sudah saya sebutkan di atas merupakan perilaku yang benar dan dianjurkan Rasulullah...? Sebagian memang benar. Kita dianjurkan untuk memperkuat tali silaturrahim, saling kunjung-mengunjungi. Kita dianjurkan memuliakan tamu. Kita dianjurkan membeli baju baru, dan lain sebagainya.
Namun melihat fenomena sekarang ini, rasanya apa yang sudah dilakukan oleh sebahagian orang, sudah menjurus pada salah kaprah.
Betapa tidak! Semua orang rame-rame takbiran, namun hampir dapat dipastikan mereka akan melanggar aturan berlalu lintas di jalan raya. Menggunakan truk bak terbuka, yang disesaki puluhan orang, bercampur laki-laki dengan perempuan. Menggunakan sepeda motor juga dengan kecepatan kayak pembalap MotoGP, namun tidak menggunakan helm pengaman maupun pengaman lainnya. Silahkan rekan-rekan perhatikan. Semua yang saya ungkapkan adalah pengalaman beberapa tahun belakangan. Mudah-mudah saja perilaku seperti ini, tidak merenggut nyawa, seperti tahun-tahun lalu.

Saya juga ingin menggarisbawahi perilaku Ibu-ibu. Meja ruang tamu-nya sudah dipenuhi dengan bermacam ragam kue, tapi pada menit-menit terakhir Ramadhan, malah menambah belanjaan sehingga dapat dipastikan setelah hari ke lima belas Syawal, kue-kue tersebut masih tersisa alias tidak habis dikonsumsi oleh para tamu. Ironisnya, padahal tetangganya yang anak yatim masih kekurangan. Jangankan keluarga mereka membeli berbagai penganan yang mahal itu, untuk sekedar membeli baju baru sepasang saja, mereka tidak punya uang. Untuk membeli setengah kilogram daging meugang saja mereka tidak bisa. Ketika kita membeli baju baru untuk anak-anak berpasang-pasang, tetangga kita yang fakir miskin, membeli baju dari tukang loak saja tidak bisa.
Apakah ini yang namanya makna Lebaran....? Na'uzubillah, semoga saja Allah SWT tidak melaknat kita, kaum muslimin, yang sudah menjauhi makna Idul Fitri sesungguhnya.

Bagaimana juga kita merayakan Lebaran atau Idul Fitri..? Sebagaimana sudah sering disampaikan oleh para Ustadz, bahwa hakikat puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia menjadi orang yang bertaqwa. Kalau sebelum Ramadhan masih ringan melakukan dosa, maka setelah berpuasa Ramadhan, mudah-mudahan tidak lagi. Kalau dulu, terasa sangat berat untuk bersedekah, setelah Idul Fitri kali ini, mudah-mudahan kita akan menjadi manusia yang suka menolong. Idul Fitri dapat dimaknai dengan kemenangan bagi kita setelah sebulan penuh berpuasa. Nah, kemenangan dapat dikatakan benar, bila kita menjadi orang yang makin bertaqwa pada Allah SWT. Diharapkan setelah Lebaran, perilaku baik yang sudah terpelihara selama Ramadhan dapat terus berlanjut. Kehidupan Islami harus terus kita pelihara. Namun bagaimana bisa Islami kalau pada saat menjelang Lebaran saja, kita lalai dengan makna Idul Fitri sesungguhnya.

Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam beberapa contoh yang ironis, seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Mari kita rayakan Idul Fitri dengan meningkatkan amalan, merayakan dengan perilaku sederhana, membuang jauh-jauh eforia duniawi, yang tidak diajarkan oleh syari'at Islam.

Wallahu'alam....

SELAMAT HARI RAYA, MOHON MAAF ATAS SEGALA KESALAHAN & KEKHILAFAN, MUDAH-MUDAHAN KITA JADI INSAN YANG FITRAH.

Mukhlis Aminullah

Kamis, 17 September 2009

MENJAGA KELUARGA DARI API NERAKA

Jamaah shalat tarawih Mesjid Al Ikhlas Gelanggang tadi malam disuguhi ceramah Ramadhan tentang teladan orang tua & pentingnya menjaga keluarga oleh Ustadz Samsul. Pemaparannya sangat menarik, dimana sang Ustadz mencoba menggugah perasaan para jamaah dengan penyampaian dengan bahasa yang lugas. Dengan menggunakan bahasa Aceh, makin jelaslah tujuan dari materi yang ingin disampaikan.

Terus terang saja, bagi saya topik ini sangat menarik. Pertama; bisa menjadi pelajaran bagi saya pribadi sebagai pemimpin keluarga. Kedua; masalah ini sudah beberapa kali saya singgung pada tulisan-tulisan sebelumnya, disamping juga saya sudah pernah menulis di Serambi Indonesia, sekitar 2 (dua) tahun yang lalu. Saat itu malah saya sempat menggambarkan kondisi keluarga di Aceh seperti keluarga di Amerika saja.
Betapa tidak, kita bisa melihat dengan mata kepala sendiri, banyak orangtua yang tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. Anaknya disuruh shalat, sang Bapak malah asyik dengan shabu-shabu. Sang anak diantar ke TK Islam (dengan tujuan mendapat bimbingan agama dari guru/pengasuh), sang Bapak malah tidak pernah shalat. Atau sang Ibu, yang masih berpenampilan menor (tabarruj) dengan celana ketat/baju ketat, seperti orang tidak berpakaian. Na'uzubillah......

Saat ini cukup banyak pasangan muda yang mampu untuk menikah, namun sangat sedikit yang bisa membina sebuah keluarga menjadi sebuah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Kita bisa melihat atau memperhatikan di lingkungan kita sendiri, berapa banyak seorang suami "dapat" dikatagorikan sebagai pemimpin keluarga. Dari segi materi barangakali, bukan persoalan, namun dari sisi spritual sangat memprihatinkan. Begitu juga seorang perempuan, sangat sedikit yang bisa dikatakan Wanita sholihah.
Mari kita asumsikan dengan contoh. Beberapa suami, dengan gampang dan tanpa merasa berdosa meninggalkan shalat. Ada yang dengan mudah diajak bermain judi, seperti taruhan bola, judi buntut, dsb. Dan berapa banyak suami membiarkan isterinya tanpa menutup aurat ataupun membiarkan isterinya bergaul dengan lelaki lain, yang bukan muhrimnya.

Bukan hanya suami, isteri sebagai bagian dari sebuah keluarga yang berada dibawah pimpinan suami, juga banyak yang tidak bisa menjadi teladan. Selain masalah aurat, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, masalah lain adalah suka menggunjingkan tetangga, iri dengki pada orang lain, tidak mengajarkan anak-anaknya dengan pendidikan agama dan tidak menghargai suami, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para wanita sholihah.

Dalam kontek yang lebih luas, bukan hanya pasangan muda saja, malah banyak pasangan yang sudah setengah baya, anaknya sudah gadis atau perjaka, tidak bisa menjaga keluarganya dari jajahan budaya Barat. Ustadz Samsul dalam ceramahnya tersebut, menggaris bawahi bahwa alangkah sia-sianya kita melangkah ke mesjid untuk menempati shaf pertama setiap waktu shalat, namun kita membiarkan anak kita berpakaian tidak sopan dan menjadikan rumah kita menjadi kandang kerbau, yang penuh maksiat. Maksudnya begini, banyak orang tanpa sadar telah membiarkan pergaulan anak remajanya menjadi liar. Membiarkan tamu laki-laki berduaan dengan anak gadisnya di rumah, dengan alasan "dari pada mereka pacaran di jalanan..". Ada juga orangtua yang membiarkan anaknya keluar rumah berduaan dengan pasangan yang bukan muhrim. Kita tidak bisa memungkiri atau membantah.... Silahkan, rekan-rekan pembaca, memperhatikan jalanan Bireuen sepanjang sore atau malam hari, berapa banyak pasangan yang pacaran berboncengan kenderaan, seperti pasangan suami isteri. Di depan khalayak ramai saja sudah berboncengan berpelukan, bagaimana bila ditempat lain...? Di Cafe remang-remang, di tempat wisata yang sepi.
Na'uzubillah...

Saya sangat merasa heran dengan sikap orang tua mereka. Padahal, seperti yang sudah disampaikan, Bapaknya adalah pengisi shaf pertama shalat lima waktu di Mesjid. Tetapi mengapa juga membiarkan anaknya berlaku kayak remaja Amerika....? Banyak orang yang sibuk mencari ternaknya (yang memelihara kerbau atau sapi di gampong-gampong) bila sudah sore tidak pulang juga ke kandangnya, tetapi betapa sedikit orangtua yang mencari anaknya, baik remaja laki-laki maupun perempuan, yang belum pulang ke rumah jam 22.00 malam.....

Dengan kondisi seperti ini, tidak usah heran kalau banyak orang yang tertangkap basah sedang berbuat mesum (berzina) di daerah kita. Itu hanya yang tertangkap saja, belum yang tidak terangkap. Nah, ketika ada yang digerebek warga, hampir semua orang menyalahkan WH, kenapa tidak mengadakan razia atau sweeping, misalnya. Semua orang hanya memikirkan eksekusinya saja, tanpa mencari sebab asal muasal kejadian sampai ada pasangan yang digerebek warga.... Beberapa waktu yang seorang teman saya, orangtua dari 2 remaja, mengatakan hal yang sama pada saya.
"apa saja kerja WH ya......, kok banyak yang tertangkap, namun kita tidak tau proses selanjutnya...?"
atau pada kesempatan lain yang bersangkutan mengatakan "Wah, para anggota WH makan gaji buta nih, kenapa tidak menangkap itu para remaja yang berpakaian ketat?"
Saya yang mendengarnya hanya tertawa, karena membayangkan bahwa orang ini berbicara dibawah ambang sadar, karena ybs tidak melihat anaknya sendiri bergaul bebas. Yang tau hanya menyalahkan WH saja...., padahal sebagai orangtua, sudah kewajiban untuk menjaga anak-anak kita masing-masing, baik di rumah maupun di luar rumah. Untuk itu memang bukan perkara gampang, kalau kita sendiri tidak bisa menjadi teladan di rumah bagi keluarga kita. Saya yakin, akan mudah seandainya, kita berperan dalam keluarga. Silahkan tanamkan nilai-nilai agama yang kuat sejak dini kepada anak kita. Bukan hanya itu, jangan berikan dia rezeki yang tidak halal. Dan juga, jangan ciptakan jarak antara orangtua dengan anak. Usahakan kita tau setiap persoalan yang dihadapi si anak. Insya Allah, mudah-mudahan kita bisa menjadi Pemimpin keluarga dan pada akhirnya bisa menjaga keluarga kita dari api neraka.

Wallahu'alam....

Mukhlis Aminullah, orangtua dari dua orang anak.

Senin, 07 September 2009

SAHABAT LAMA

Sahabat...! Itulah tema yang yang ingin saya tulis kali ini. Saya ingin menyampaikan pada rekan-rekan pengunjung, betapa pentingnya keberadaan sahabat bagi kita. Dan saya ingin berbagi kebahagiaan, hari ini komunikasi dengan dua sahabat lama, telah terjalin kembali. Mereka jauh disana, berada di bagian Selatan pulau Sumatera.

Betapa berartinya seorang sahabat dalam hidup kita. Saya sendiri sangat merasakan keberadaan seorang atau beberapa orang sahabat selama beberapa fase hidup saya. Selama 8 (delapan) tahun di Banda Aceh, saya mempunyai sahabat setia yang sampai sekarang hubungan kami masih terjalin. Beberapa diantaranya telah berpulang, pergi menghadap Ilahi saat bencana tsunami. Pada fase berikutnya selama lebih kurang 5 (lima) tahun di Kota Jambi, saya juga mempunyai beberapa sahabat, yang keberadaannya disekeliling saya, turut "mempengaruhi" perjalanan hidup saya. Begitupun selama bergaul di Bireuen, tentu ada beberapa orang yang tidak pernah putus silaturrahmi dengan kami sekeluarga.

Namun kali ini saya ingin lebih menekankan tentang keberadaan sahabat yang jauh dari kota tempat kami tinggali. Di Malaysia, beberapa diantaranya malah sudah seperti keluarga sendiri. Sedangkan di Jambi dengan sebagian teman masih terjalin silaturrahmi, setidaknya via telfon atau saling mengirimi kabar via email. Alhamdulillah.... kemajuan teknologi sangat membantu!
Disisi lain, saya yang kehilangan kontak dengan beberapa sahabat. Saya sudah berusaha "melacak" keberadaan mereka, tapi selalu tidak pernah dapat informasi. Saya ingat, ada Agus (teman diskusi yang mengasyikkan, semua topik dikuasai), ada Hirlistuti, ada Dewi Lestari, Sabar, Joko dan Iskandar. Tentu saja saya tidak melupakan mereka yang sama-sama terlibat dalam wadah SPSI. Karena keberadaan mereka semua telah membantu saya dalam menemukan makna hidup yang sesungguhnya. Dengan mereka, saya bukan hanya mengalami perkembangan secara psikologis, tapi juga spritual.

Sekitar awal tahun 2008 saya sempat dua kali mengirim "surat pembaca" ke koran Jambi Independent dan Jambi Ekpress, dengan harapan surat saya dimuat dan terbaca oleh sahabat-sahabat saya. Pada awal tahun 2009 saya juga menempuh cara yang sama, yaitu mengirim surat ke koran-koran terbitan Jambi. Selain itu saya coba juga mencari keberadaannya via teman yang ada kontak dengan saya. Semua nihil... tidak berhasil.
Saya juga menulis tentang mereka di blog ini, dengan harapan keberadaan saya terlacak oleh mereka. Gagal juga....!

Nah, tadi pagi-pagi sekali, setelah Subuh tentunya, saya coba-coba berselancar di dunia maya, saya cari nama-nama mereka di Google. Bermacam cara, saya tambahkan alamat terakhir mereka, tempat kerja terakhir mereka dan apapun info yang saya ingat, saya ketik.... Saya cari Dewi Lestari, yang muncul malah si Dee yang penyanyi dan pengarang itu, penulis Supernova. Akhirnya muncul nama Hirlistuti dengan alamat Palembang, tepatnya sebagai Koordinator Operasional Klinik Anak Autis TESTE. Saya bertambah yakin, inilah teman saya, karena sekitar tahun 2004 dianya bekerja di Klinik yang sama di Lebak Bandung, Kota Jambi. Kemudian saya hubungi sebuah nomor telfon, ternyata salah sambung. Saya tidak putus asa, kemudian saya coba hubungi Pusat layanan informasi Telkom Palembang, dengan maksud menanyakan nomor telfon sesuai dengan alamat yang sudah saya catat. Seterusnya saya coba hubungi dan..... tersambung!!! Karena ybs belum masuk kerja, saya titip pesan pada anak buahnya (barangkali, karena dari nada di telfon, penerima telfon amat menghormati ybs).

Akhirnya sekitar jam 10 pagi, Tuti telfon saya... dia kaget, sudah lima atau enam tahun tidak mendapati kabar dari saya, akhirnya bisa berkomunikasi kembali......
Suhanallah...! saya juga sangat gembira, untuk kemudian terlibat obrolan panjang sampai satu jam. Yang menggembirakan, dia sudah married dan punya seorang anak. Lagi, dia sekarang juga jadi kader PKS di sana. Akhwat. Juga dia sedang menyelesaikan program Master Psikologi. Saya tidak bisa menggambarkan suasana hati saya, selain bersyukur bisa bertemu kembali, walau hanya via telfon. Mengalirlah semua cerita tentang "perjalanan" selama lima atau enam tahun, baik tentang karir maupun soal keluarga serta juga sekilas cerita tentang teman-teman lain di Jambi.
Juga tentang kekhawatiran sahabat-sahabat di Jambi terhadap keberadaan kami sekeluarga di Aceh. Mereka sempat menganggap kami sudah ikut jadi korban tsunami. Walaupun tidak berharap demikian...

Sore itu juga saya coba hubungi Tari di Jambi, yang kata Tuti sekarang juga jadi kader PKS di Kota Jambi. Subhanallah.... akhirnya tersambung juga komunikasi dengannya. Bagaimana perasaan saya? Tidak sanggup saya gambarkan, betapa senangnya. Tari juga udah ada yang pimpin dan sekarang sudah bertambah momongan, jadi empat anak. Khusus mereka berdua (Tuti dan Tari), ada catatan tersendiri. Saya mencatat, mereka adalah dua orang yang sangat haus akan ilmu agama. Dulu mereka seringkali terlibat diskusi soal agama dengan saya di waktu senggang, baik di tempat kerja maupun di luar. Saya sebenarnya bukan ahlinya, namun berdiskusi dengan mereka, saya rasakan membawa pengaruh positif untuk untuk saya pribadi. Mudah-mudahan juga ada pengaruhnya kepada mereka berdua...

Dan ketika saya harus pulang kampung untuk mengabdi di Aceh, dulu, saya sangat merasa kehilangan. Bukan hanya kehilangan mereka saja, tapi kehilangan sahabat-sahabat yang lain, kehilangan Jambi..., kehilangan sungai Batanghari...
Tuti dan Tari memberi saya jam dinding, buku puisi dan lagu Katon Bagaskara serta buku Antologi puisi Kahlil Gibran, Sang Nabi. Sampai sekarang masih saya simpan dengan baik, sebagai kenang-kenangan yang sangat berarti.
Bukan pemberian sahabat lain tidak saya kenang, namun kumpulan buku Kahlil Gibran punya nilai lebih karena saya adalah pengagum Sang Penyair Lebanon tersebut.

Sahabat...! Begitu berartinya mereka bagi kita. Mudah-mudahan hubungan ukhuwah yang mulai terjalin kembali kali ini tidak terputuskan lagi. Dan saya berharap, bisa bersua kembali dengan beberapa sahabat yang lain. Kami bermimpi, suatu saat akan berkunjung ke Jambi. Saya sangat merindukan duduk di tepian sungai Batanghari pada waktu sore-sore menjelang matahari tenggelam. Saya rindu juga pada empek-empek, walau tidak doyan sekali...

Sahabat... Saya berdo'a semoga mereka menjadi teladan bagi anak-anaknya, menjadi isteri sholihah dan dapat membina keluarga sakinah. Selain itu, kebaradaan mereka bermanfaat bagi orang lain melalui jalan dakwah. Insya Allah.

Mukhlis Aminullah

Sabtu, 05 September 2009

TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL FATIHAH

Tidak ada surat dalam Al-Quran yang lebih terkenal daripada Surat Al-Fatihah. Hampir tidak ada Muslim yang tidak hafal surat ini, karena ia merupakan bacaan wajib dalam shalat. Surat ini dinamakan Ummul-Quran (induk Al-Quran), Sab'ul-Matsani (tujuh yang diulang-ulang), Fatihatul-Kitab (Pembukaan Kitab Al-Quran) dan Al-Hamdu (Pujian).

Sayangnya kepopuleran surat itu tidak dibarengi oleh pemahaman yang mendalam terhadap pesan hakiki yang terdapat dalam surat itu. Padahal sebagai intisari Al-Quran, Al-Fatihah mengandung makna dan keutamaan yang luar biasa. Ini terbukti dari adanya nash-nash yang secara khusus membicarakan tentang surat ini.

Imam Muslim dan Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika pintu langit terbuka. Kemudian turun malaikat yang menemui Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, "Gembirakanlah ummatmu dengan dua cahaya. Sungguh, keduanya hanya diberikan kepadamu dan tidak diberikan kepada Nabi sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab dan beberapa ayat terakhir Surat Al-Baqarah."

Demikian besarnya keutamaan Surat Al-Fatihan sehingga sejumlah mufassir (ulama ahli tafsir) sampai harus menafsirkan surat pendek itu dalam berjilid-jilid kitab. Ibnul Qoyyim Al-Jauzy misalnya, tafsirannya terhadap ayat ke-5 Al-Fatihah begitu panjang hingga menjadi satu buku tebal bernama "Madarijus-Salikin".

Tiga Golongan

Di antara sekian banyak keutamaan Surat Al-Fatihah adalah petunjuk tentang penggolongan manusia. Pada dua ayat terakhir surat Al-Fatihah, sebagaimana tertera pada bagian atas tulisan ini membagi manusia dalam tiga kelompok, yakni: pertama, orang-orang yang diberi nikmat (alladzina an'amta 'alaihim). Kedua, orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub). Dan ketiga, orang yang sesat (adh-dhallin).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, yang dimaksud dengan golongan pertama atau orang-orang yang diberi nikmat adalah para malaikat, nabi-nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar dan tidak menyimpang dari jalan Allah), para syuhada (orang yang mati syahid) dan orang-orang shalih. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan Islam dan syariatnya secara integral (kaffah) dan konsisten (istiqomah), yang karena itu mereka merasakan kebahagian sejati di dunia dan akhirat..

Mereka memiliki ciri-ciri pokok. Yakni, aqidah mereka kokoh dan bersih dari syirik. Karena itu kecintaan mereka kepada Allah begitu dahsyat. Indikasinya terlihat dari komitmen mereka yang tinggi untuk berpegang teguh pada syariat Allah dan berjihad dengan mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka (harta, nyawa, waktu dan lain-lain) untuk menegakkan syariat itu.

Dari sisi ibadah, mereka adalah orang-orang yang rajin, tekun dan khusyu'. Mereka sangat lahap menyantap berbagai ibadah wajib maupun sunnah. Meski begitu, praktek ibadah mereka bersih dari bid'ah (ibadah yang tidak diajarkan Nabi).

Sebagai konsekuensi aqidah yang bersih dan dan ibadah yang baik itu, akhlak mereka senantiasa terpuji dan mulia. Setiap kiprah dan tindak-tanduk mereka pekat dengan nuansa rahmatan lil 'alamin (menebarkan rahmat bagi alam semesta) dan bermanfaat bagi setiap orang. Mereka inilah yang pada bagian awal surat Al-Baqarah digolongkan sebagai orang mukmin, yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Sementara golongan kedua, golongan yang dimurkai (al-maghdhub), berdasarkan kajian dalam Al-Quran dan Sunnah adalah mereka yang jelas-jelas berada di luar tuntunan Islam. Mereka mengikat diri dengan selain Allah. Keyakinan-keyakinan lebih banyak didominasi logika hawa nafsu dan seluruh aktivitas hidup mereka hanya ditujukan semata-mata untuk mengejar kepentingan duniawi.

Wajar kalau perilaku hidup mereka rusak dan merusakkan orang lain serta lingkungan. Kalaupun ada yang tampak bermoral, itu bukan didasarkan atas tuntunan syariat Allah, tapi sekedar memenuhi kelaziman sosial. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut kafir, menolak kebenaran Islam.

Adapun golongan ketiga, golongan sesat (adh-dhallin) adalah orang-orang yang mengaku Muslim, tapi akidah mereka rusak. Misalnya, mereka menjalankan ajaran Islam tapi mereka juga masih percaya kepada berbagai tahkayul dan dukun/ paranormal serta bersekutu dengan jin. Ibadah mereka juga tidak sempurna, kurang tekun dan rajin serta kering dari kekhusyu'an. Ada yang rajin, tapi dipenuhi bid'ah.

Akhlak mereka jauh dari nilai-nilai mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah. Sebaliknya, gaya hidup mereka jahiliyyah (bodoh, rusak), mengikuti selera nafsu dan pola hidup orang kafir. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut munafiq.

Yahudi-Nasrani

Ibnu Katsir juga menyebutkan sejumlah riwayat yang menerangkan bahwa golongan kedua adalah ummat Yahudi, sedangkan golongan ketiga adalah ummat Nasrani. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari 'Ady bin Hatim, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah orang Yahudi dan mereka yang sesat adalah orang Nasrani."

Kemurkaan memang diberikan kepada orang Yahudi sebagaimana dipertegas oleh Allah dalam Al-Quran: "Katakanlah: Apakah akan aku beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah…" (Surat Al-Maidah: 60)

Sedangkan kesesatan disematkan kepada orang Nasrani sebagaimana firman Allah: "Yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Surat Al-Maidah: 77)

Karena Hidayah

Apa yang membuat manusia terbagi ke dalam tiga golongan? Secara tersirat Allah menyebutkan jawabannya pada ayat keenam, "Ihdinash-shirathal mustaqim, tunjukilah kami jalan yang lurus." Ayat inilah yang dijabarkan pada ayat ketujuh di atas, dimana jalan yang lurus (Ash-shirath al-Mustaqim) adalah jalan golongan pertama dan bukan golongan kedua dan ketiga. Dengan demikian, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, jalan kedua golongan terakhir ini adalah jalan yang tidak lurus (Ash-shirath ghairul Mustaqim).

Pertanyaan berikutnya, apa yang menyebabkan terjadinya kedua jalan tersebut? Lagi-lagi secara tersirat dalam ayat yang sama (keenam) Allah memberi jawabannya. Yakni petunjuk (hidayah), yang diambil dari kata kerja ihdi-naa (tunjukilah kami). Hidayahlah yang menyebabkan sesorang menempuh jalan yang lurus atau jalan yang menyimpang. Hal ini telah dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan." (Surat Al-Balad: 10)
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya (manusia) jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Surat Al-Insan: 3)

Seseorang yang mendapat petunjuk dan mengikutinya berarti mendapatkan bimbingan dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai fitrahnya. Kesesuaian antara petunjuk sebagai faktor eksternal dan nilai-nilai fitrah sebagai faktor internal akan menjadikan kehidupan sesorang berjalan dalam keseimbangan menuju tujuan yang sebenarnya, yakni akhirat. Nilai keseimbangan itulah yang diumpamakan dengan Ash-shirath al-Mustaqim karena jalan itu bisa mengantarkan seseorang kepada tujuan hidupnya yang hakiki.

Sebaliknya orang yang menyimpang berarti tidak mendapatkan petunjuk yang membimbingnya kepada kehidupan yang semestinya dijalani sebagai ciptaan Allah. Orang jenis ini dalam Al-Fatihah dibagi dalam dua kategori yakni orang yang dimurkai dan orang yang sesat.

Lagi-lagi, pertanyaannya kemudian adalah, apa yang membuat seseorang itu bisa mendapat hidayah dan mengikutinya atau tidak memperoleh dan tersesat dari jalannya? Inilah yang dijelaskan dalam ayat kelima: "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (hanya kepada Engkaulah kami menyembah/mengabdi/beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Ibadah (na'budu) dan sikap ketergantungan (nasta'in) mutlak yang ditujukan hanya kepada Allah semata adalah rahasia turunnya hidayah Allah kepada seseorang. Ibadah di sini baik dalam arti luas yakni menundukan seluruh dimensi dan perilaku hidup dibawah kendali Allah maupun dalam arti sempit yakni ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Adapun ketergantungan bermakna penyerahan segala urusan dan hajat kehidupan kepada Allah Yang Maha Kaya, Maha Kuat dan Maha Kuasa.

sumber: Hidayatullah Edisi 01/XVI 2003 - Mutiara Qur`an

Rabu, 02 September 2009

AYAH


Ayah...! Insya Allah semua orang di dunia ini punya Ayah. Barangkali yang tidak punya Ayah hanyalah Nabi Isa AS, yang mana keberadaan beliau berasal dari suatu dzat Allah yang ditiupkan ke dalam rahim Ibunya, Maryam.

Saya tiba-tiba ingin menulis tentang Ayah... Inspirasi utama adalah membayangkan anak saya, Zhafira Mazaya, yang selalu menangis bila dia mendengar alunan MP3 "Ayah" milik Seuriues Band di hp ibunya. Dia terlalu menghayati lagu tersebut, sehingga bisa tiba-tiba menangis teringat saya. Ya, memang sudah 3 (tiga) bulan kami berpisah, sejak saya ditugaskan di Samadua, Aceh Selatan. Walaupun pada waktu tertentu saya menyempatkan diri untuk pulang, tentu saja tidak cukup untuk membuat dia tidak menangis bila teringat saya. Apalagi mendengar suara serak-serak basah Candil menyanyikan lagu itu.....

Selain faktor saya pribadi, yang juga telah menjadi seorang Ayah, tentu faktor lain adalah karena saya punya seorang Ayah yang sangat luar biasa yang telah menjadi panutan kami selama ini. Saya sendiri tidak memanggilnya Ayah, namun sejak kecil sudah biasa memanggil Bapak.....

Bapak saya, Tgk Aminullah Amin, adalah asli putera kelahiran Leubu Me, Kacamatan Makmur, Kabupaten Bireuen, 60 tahun yang lalu. Ayahnya adalah Tgk.M.Amin Yusuf, konon berasal dari Pante Gajah, Peusangan dan Ibunya, Aminah Luwi merupakan wanita asli dari Leubu yang merupakan anak dari Tgk Luwi (seorang Peutuha---Keuchik pada masa kolonial). Dari cerita almarhum nenek, saat saya masih SMP, dikisahkan bahwa diantara beberapa puteranya, hanya Bapak sayalah yang lancar menempuh pendidikan umum maupun pendidikan agama. Bukan berarti mengesampingkan paman-paman saya, bukan...! Mereka para paman saya juga punya kisah tersendiri, yang berbeda dengan Bapak saya.
Bapak saya sejak kecil sudah dibiasakan disiplin oleh nenek, baik dalam hal pendidikan maupun pengajian. Jadilah Aminullah kecil seorang yang patuh pada orangtuanya, pagi sekolah, malam hari mengaji pada Tgk Hasan di Leubu Me. Karena sejak kecil sudah lurus-lurus saja, jadilah ia sebagai santri kesayangan Tgk Hasan. Kemudian saat remaja, Bapak sekolah di PGA Geurugok, juga menjadi kesayangan Tgk Usman Maqam, salah seorang ulama kharismatik. Semua cerita ini saya dapatkan dari nenek, saat beliau masih hidup.

Kemudian pada saat berumur 23 tahun Bapak menikahi Ibu, yang saat itu merupakan adik kelasnya di PGA. Lebih kurang 2 tahun kemudian, lahirlah saya ke dunia, sebagai anak lelaki pertama dalam keluarga. Kehidupan keluarga muda Aminullah-Aisyah serba kekurangan. Pada saat itu Bapak hanyalah seorang Pegawai Honorer di Kantor Camat Makmur, dengan gaji tidak cukup untuk beli beras, apalagi membeli kebutuhan lainnya. Disamping itu juga Bapak sempat mengajar pada MTsaIN Geurugok (sekarang MTsN), juga sebagai guru bakti, yang tidak punya penghasilan yang jelas. Namun hidup harus terus berjalan. Pada waktu senggang, Bapak tidak malu untuk membawa hasil kebun ke pasar, untuk menunjang kebutuhan pokok, yang rasanya juga tidak pernah cukup. Beliau seorang yang gigih, dan saya rasa itu salah satu yang membuat Ibu saya tertarik untuk menjadi isteri Bapak.

Waktu terus berlalu, untuk membantu Bapak, Ibu saya juga mengajar sebagai Guru Honorer di SD Negeri Leubu. Juga menerima jahitan, serta menerima upahan dari menganyam tikar pandan dari orang-orang kampung. Tahun 1976, lahirlah adik perempuan saya, Tuti Liana. Kehidupan kami masih juga prihatin. Namun dengan semangat tinggi, Bapak dan Ibu terus berjuang menghidupi anak-anaknya.

Sebagai seorang Ayah, saya sangat merasakan bimbingannya. Kami sejak kecil sudah dibiasakan disiplin. Dalam hal mendidik kami, Bapak adalah seorang yang tegas, namun sangat sayang pada anak-anaknya. Saya masih ingat, saat saya kecil, karena saya melanggar aturannya, membolos pengajian, pernah menghukum saya dengan mengurung di kamar. Pada saat yang lain, saya juga dihukum dalam bentuk yang lain. Terus terang saja, karena itulah, saya harus berterima kasih. Kalau saja kami dulu dididik dengan manja, entah apa jadinya kami, sekarang.

Selanjutnya adalah soal karir beliau. Tahun 1979, adalah tahun dimulainya era baru dalam perkembangan karir Bapak selanjutnya. Beliau diangkat jadi PNS, golongan rendah, bukan sebagai Guru, namun sebagai Tenaga Administrasi pada Kantor Camat. Sudah cukup untuk memulai langkah membangun masa depan keluarga. Saat itu, si Tuti adalah adik saya satu-satunya. Baru beberapa tahun kemudian, tiga adik yang lain melengkapi keluarga besar kami.

Pada tahun 1986, Bapak dipindah tugaskan ke Kantor Camat Gandapura. Beliau masih pegawai golongan rendah. Namun waktu dan kesempatan selalu dimanfaatkan oleh Bapak untuk belajar dan belajar. Karena ketekunannya, beberapa Camat yang bertugas disana, terus mempercayai Bapak untuk terus berkembang. Sampai pada akhirnya, Bupati Bireuen mempercayai-nya sebagai Camat Gandapura pada tahun 2004, setelah sebelumnya sempat menjadi Sekcam selama tiga tahun. Menjadi Camat adalah jenjang tertinggi pengabdiannya sebagai aparat birokarsi. Kepercayaan itu tidak pernah diimpikan, sehingga Bapak memaknai-nya sebagai sebuah tanggung jawab. Namun seiiring dengan karir-nya, kehidupan kami mengalami peningkatan, walau bukan jadi orang kaya, setidaknya sudah dalam katagori sederhana. Alhamdulillah, Bapak, dengan dibantu Ibu, sanggup mendidik saya beserta adik-adik menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Pada tahun 2007, kesempatan Bapak berkarir telah habis. Pensiun sebagai PNS. Dengan berbagai pengalamannya sebagai abdi masyarakat, ditunjang oleh sifatnya yang tidak bisa diam, beliau tetap aktif dalam kemasyarakatan. Pada bidang agama, Bapak masih dipercayakan sebagai Imuem Chiek Mesjid AL-IKHLAS Leubu Me, Kecamatan Makmur, dari 1996 sampai sekarang.

Pada tahun 2007, setelah pensiun, Bapak memulai babak baru dengan terjun ke politik. Walaupun belum sepenuhnya, namun sudah aktif menjadi anggota Tim Kampanye Calon Bupati/Wakil Bupati Bireuen, Drs.Anwar Idris/Syahrizal H.Saifuddin, yang diusung oleh PPP. Pada saat itu juga beliau tercatat sebagai anggota PPP. Setelah Pilkada Bupati Bireuen selesai, aktifitas di partai mulai menurun, namun Bapak masih meluangkan waktu untuk belajar. Disamping mengsisi waktu senggang, juga sebagai persiapan, seandainya menjadi Caleg pada Pemilu 2009. Tahun 2008, saat tahapan Pemilu baru dimulai, Bapak sudah mulai menghitung peluang. Seringkali terlibat diskusi dengan saya. Pengalaman saya sebagai Anggota KPU Bireuen selama lima tahun, membawa pencerahan tersendiri. Setidaknya beberapa pengalaman saya, berguna sebagai referensi bagi Bapak.
Nah, saat itu, walaupun Bapak mengantongi KTA sebagai kader PPP, beberapa Partai lain terus saja menawarkan posisi Caleg pada beliau. Hal yang wajar, karena beliau adalah seorang tokoh masyarakat. Namun beliau selalu menolak. Akhirnya Bapak benar-benar menolak dan memutuskan, tidak mau menjadi Caleg dari partai manapun. Pada kesempatan itu juga beliau mengundurkan diri sebagai kader PPP.

Pencalonan Caleg sudah pada hari-hari terakhir, ketika sebuah tawaran dari Partai Demokrat, menghentak lamunan saya. Melalui perantaraan saya-lah, pengurus Partai tsb mengajak Bapak untuk membantu mewujudkan visi dan misi SBY, dengan menjadi Caleg untuk DPRK Bireuen. Pada awalnya Bapak menolak, sampai akhirnya saya berhasil meyakinkannya. Jadilah beliau sebagai Caleg Partai Demokrat untuk DP Bireuen 4.


Mengingat kondisi keuangan kurang memungkinkan, kampanye yang dilakukan hanya dari mulut ke mulut saja. Namun para simpatisan Bapak terus berdatanganke rumah, sebagai wujud dukungan kepada beliau.  Kalaupun ada atribut kampanye dalam bentuk baliho, itu merupakan sumbangan dari Partai dan atau Caleg DPR RI yang berharap suara dari Caleg DPRK, ikut mendukung mereka juga. Tentu ini tidak bisa dipungkiri. Dan Bapak harus mengucapkan terima kasih.

Akhirnya setelah penghitungan suara selesai, Partai Demokrat Bireuen mendapatkan empat kursi DPRK, dengan Bapak salah seorang yang memperoleh kursi. Mungkin, karena berbagai pertimbangan, keberadaan Bapak di Partai sudah diperhitungkan. Walaupun tidak menjadi pengurus, namun pada Pilpres 2009, malah beliau dipercayakan sebagai Ketua Tim Kampanye SBY-Boediono Kabupaten Bireuen. Alhamdulillah, Pilpres berlangsung sukses.

Dan saat ini, Tgk Aminullah Amin, sudah dilantik sebagai Anggota DPRK Bireuen, dan dipercayakan oleh partainya sebagai salah seorang Pimpinan Dewan (Wakil Ketua DPRK Bireuen). Bagi kami sekeluarga, jabatan ini bukanlah suatu kebanggaan yang luar biasa. Namun, bagi kami, bagaimana jabatan tersebut sebagai amanah dapat dijaga dengan baik oleh pengembannya, dalam hal ini adalah Bapak. Dalam do'a, saya selalu berharap, agar Allah SWT menjaga sikap Bapak sebagai wakil rakyat. Mudah-mudahan akan menjadi catatan baik sebagai amalan di hari akhirat, bukan malah sebagai penghalang untuk mendapat perlindungan Allah di hari akhir.

Mukhlis Aminullah.
Bekerja di Samadua, Aceh Selatan

TUJUH GOLONGAN YANG MENDAPAT PERLINDUNGAN HARI AKHIR

Berkata Abu Hurairah r.a : bahwa Nabi saw telah bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجَلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنَّى أخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأخفَاهَا حتَّى لاَ تَعْلَمُ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَلِيْلً فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

“Ada tujuh kelompok yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Mereka adalah pemimpin yang adil, anak muda yang senantiasa beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh seorang wanita bangsawan lagi rupawan lalu ia menjawab: “Sungguh aku takut kepada Allah”, seseorang yang mengeluarkan shadaqah lantas di-sembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian ia mencucurkan air mata”. (H.R.Bukhary - Muslim)

Hadist di atas menjelaskan bahwa ada 7 (tujuh) golongan manusia yang mendapat perlindungan dari Allah SWT di hari akhirat kelak. Untuk lebih jelasnya mari kita urutkan satu per satu.

Pemimpin yang adil (Imaamun Adil)

Menjadi pemimpin yang adil itu tidaklah mudah, butuh pengorbanan pikiran, perasaan, harta, bahkan jiwa. Dalam ajaran Islam, kepemimpinan bukanlah fasilitas namun amanah. Kalau kita menganggap kepemimpinan atau jabatan itu sebagai fasilitas, kemungkinan besar kita akan memanfaatkan kepemimpinan itu sebagai sarana memperkaya diri tanpa menghiraukan aspek halal atau haram. Sebaliknya, kalau kita menganggap kepemimpinan atau jabatan itu sebagai amanah, kita akan melaksanakan kepemimpinan itu dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab. Nah, untuk melaksanakan kepemimpinan dengan cara yang amanah itu tidaklah mudah,. Karena itu logis kalau kita menjadi pemimpin yang adil, Allah akan memberi perlindungan di akhirat kelak.

Anak muda yang selalu beribadah kepada Allah SWT. (Syaabbun nasyaa fii ibadatillah)

Masa muda adalah masa keemasan karena kondisi fisik masih prima. Namun diakui bahwa ujian pada masa muda itu sangat beragam dan dahsyat. Oleh sebab itu, apabila ada anak muda yang mampu melewati masa keemasannya dengan taqarrub (mendekatkan) diri kepada-Nya, menjauhkan diri dari berbagai kemaksiatan, serta mampu mengendalikan nafsu syahwatnya, Allah akan memberikan perlindungan-Nya pada hari kiamat. Ini merupakan imbalan dan penghargaan yang Allah berikan kepada anak-anak muda yang saleh.
Hal tentang Pemuda sudah disampaikan Allah SWT dalam firmanNya dalam surat Al Kahfi:

إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.
(Al-Kahfi 18:13)
Dan setelah kita memahami akan hakekat ini maka sangat tepatlah sekiranya kegiatan-kegiatan kepemudaan lebih mengarah kepada pembentukan muda-mudi yang bertaqwa kepada Allah. Mereka bukan hanya mahir dalam bidang sains dan teknologi tetapi juga patuh dan taat kepada undang-undang Allah.

Orang yang hatinya terikat pada mesjid (Rajulun qalbuhu muallaqun fil masaajid)

Kalimat “seseorang yang hatinya senantiasa dipertautkan dengan mesjid” seperti yang disebutkan hadits di atas, paling tidak menunjukkan dua pengertian. Pengertian pertama, orang-orang yang kapan dan di manapun berada selalu ingin memakmurkan tempat ibadah (mesjid). Orang yang selalu shalat berjama’ah, walaupun dalam keadaan sakit pun akan merangkak ke mesjid untuk berjama’ah. Pengertian kedua, orang-orang yang tidak pernah melalaikan ibadah di tengah kesibukan apapun yang dijalaninya.

Bersahabat karena Allah (Rajulaani tahaabbah fillah. Ijtama'a 'alaih wa tafarraqa ilaih)

Poin ini terambil dari kalimat “dua orang yang saling mencintai karena Allah, yakni keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah”. Bersahabat karena Allah SWT, maksudnya kita mencintai seseorang atau membencinya bukan karena faktor harta, kedudukan, atau hal-hal lain yang bersifat material, namun murni semata-mata karena Allah swt. Kalau sahabat kita berbuat baik, kita mendukungnya, dan kalau berbuat salah kita mengingatkannya, bahkan kita berani meninggalkannya kalau sekiranya sahabat tersebut akan menjerumuskan kita pada gelimang dosa dan maksiat.
Sikap saling kasih-mengasihi antara dua sahabat karena Allah, hendaklah dibuktikan dengan menghidupkan semangat amar ma’ruf nahi munkar terhadap sesama kita. Sifat saling nasehat-menasehati dan saling tegur-menegur kepada kebenaran mestilah diwujudkan untuk bersama-sama mentaati ajaran Allah. Inilah yang dimaksud dengan persahabatan karena Allah SWT.

Orang yang mampu menahan diri dari godaan lawan jenis (Rajulun daathum raatun dzaatu man syibin wa jamaalin, faqaala Inni akhaafullah.)


“Seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh seorang wanita bangsawan lagi rupawan lalu ia menjawab: “Sungguh aku takut kepada Allah.”
Kalimat ini menggambarkan bahwa kalau kita mampu menghadapi godaan syahwat dari lawan jenis, maka kita akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat.
Di sini digambarkan seorang laki-laki yang digoda wanita bangsawan nan rupawan tapi dia menolak ajakannya bukan karena tidak selera kepada wanita itu, namun karena takut kepada Allah. Jadi, rasa takut kepada Allahlah yang menjadi benteng laki-laki tersebut, sehingga tidak terjerembab pada perbuatan maksiat. Karena itu Allah memberikan penghargaan pada hari kiamat dengan memberikan pertolongan-Nya. Di sini diumpamakan laki-laki yang digoda wanita, namun sangat mungkin wanita pun digoda laki-laki.

Orang yang ikhlas dalam beramal, seseorang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui yang dilakukan tangan kanannya.
(Rajulun tasaddaqa bi sadaqatin fa akhfaaha hatta laa ta'lama syimaaluhu ma tunfiqu yamiinuhu)


“Seseorang yang mengeluarkan sedekah lantas disembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.” Ini gambaran keihlasan dalam beramal. Saking ihklasnya dalam beramal sampai-sampai tangan kiri pun tidak tahu apa yang diinfakkan atau disumbangkan oleh tangan kanannya. Pertanyaannya, bolehkah kita bersedekah sambil diketahui orang lain, bahkan nama kita dipampang di koran?
Boleh saja, asalkan benar-benar kita niatkan karena Allah swt., bukan karena cari popularitas. Perhatikan ayat berikut, “ Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah 2: 271)

Orang yang berzikir kepada Allah dengan khusyu, seseorang yang mengingat Allah dalam kesunyian kemudian dia menangis (Rajulun dzakarallahu khaaliyan faqaabat ainaahu)

“Seseorang berzikir kepada Allah di tempat yang sunyi, kemudian ia mencucurkan air mata.”. Zikir artinya mengingat Allah. Kalau seseorang berdo’a dengan khusyu hingga tak terasa air mata menetes karena sangat nikmat berzikir dan munajat kepada-Nya, maka Allah akan memberikan pertolongan kepadanya pada hari kiamat kelak. Seorang yang menangis karena takut pada Allah di malam-malam yang sunyi dalam sholat tahajjudnya, dalam dzikirnya.
Juga dikatakan, ada dua jenis mata yang akan terlindung dari api neraka, yaitu mata yang terjaga di malam gelap dalam keadaan berjihad (perang) dengan musuh, dan mata yang meneteskan air mata dalam sholat karena takut kepada Allah.
Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan agar kita bisa menjadi orang-orang yang mendapat pertolongan dan perlindungan-Nya.

Demikianlah sedikit penjelasan, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Momentum bulan Ramadhan adalah kesempatan yang langka, yang belum tentu kita temui lagi tahun depan, yang harus kita gunakan untuk terus bertaubat atas dosa-dosa kita yang telah lalu. Semoga kita termasuk dari salah satu golongan yang mendapat perlindungan Allah hari akhirat.

Wallahu’alam bissawab…

Mukhlis Aminullah, dari berbagai sumber

Minggu, 30 Agustus 2009

MENJAGA LISAN

Apa yang paling susah kita jaga dari anggota tubuh kita agar tidak melakukan dosa….? Coba Anda ingat dan renungkan. Saya sendiri sudah punya jawaba untuk itu. Bagi saya, menjaga mulut (lisan) adalah salah satu yang paling terasa berat. Kadangkala kita tidak sengaja mengeluarkan kalimat yang membuat tidak nyaman didengar orang lain, padahal kita tidak bermaksud untuk menyakiti orang tersebut. Adakalanya kita bermaksud bergurau dan menurut kita hal itu tidak lah menyakiti, tapi bagi orang lain, hal itu sudah menyakiti. Memang begitulah hidup di dunia…… Pemahaman manusia masing-masing berbeda.

Bagaimana kita jaga lisan dengan Allah SWT, agar apa saja yang kita ucapkan tidak “menyinggung” Allah SWT…? Ini lebih susah lagi, kalau pemahaman kita terhadap ajaran agama sangat kurang. Seharusnya kita harus menjaga benar-benar lisan kita, karena salah ucapa akan membawa malapetaka. Seringkali seseorang bicara sekenanya saja, tidak memikirkan akibatnya.

Saya teringat dengan pengalaman di kampung-kampung dahulu. Ketika kita melihat seorang suami yang ganteng berjalan dengan isterinya yang tidak seberapa cantik (fisik), begitu gampang beberepa orang mengatakan “wah… kasian juga Bapak itu, ganteng-ganteng, isterinya jelek….” Atau kejadian sebaliknya si isteri yang cantik, suami yang agak pas-pasan… “Bapak itu beruntung! Isterinya cantik, dan sangat tidak cocok sama dia…”

Atau ada juga seseorang melihat temannya yang sudah married (menikah) tapi hidupnya masih belum meningkat dari sisi ekonomi, dengan gampang mengatakan “siapa suruh elo kawin, rasain jadi susah… mending kayak gue…” Nah, hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Maunya sekedar bicara, tetapi tanpa sadar telah mengingkari hokum Allah SWT. Bukankah jodoh dan pasangan sudah ditentukan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ruum 21. Begitu juga rezeki, sudah diatur olehNya.

Menjaga lisan adalah pekerjaan yang sangat berat. Namun kalau kita bertekad untuk menjaganya, Insya Allah pasti bisa. Konon lagi sekarang bulan puasa, adalah kesempatan bagi kita mencapai ridha Allah, agar setelah itu kita menjadi hamba yang bertaqwa. Selain sebagai moment memperbaiki diri, menjaga lisan bulan puasa juga penting agar puasa kita selamat sampai kita berbuka.

Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah telah berfirman: Semua amal kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali puasa, maka itu hanya untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Dan puasa itu perisai, maka jika kamu sedang berpuasa, maka janganlah berkata keji, dan jangan ribut (marah-marah), dan jika ada orang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya diberitahu: Saya berpuasa. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, bau mulut orang yang puasa bagi Allah lebih harum daripada bau kasturi, Dan untuk orang puasa, akan ada dua kali masa gembira, yaitu gembira ketika berbuka puasa, dan ketika ia bisa bertemu Rabb-nya karena pahala puasanya (Muttafaqun alaih).

Seperti juga ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, zakat, haji dsb., di dalam puasa terdapat hikmah sebagai pendidikan akhlaq bagi kaum muslimin. Hal ini sejalan dengan ungkapan Rasulullah: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Jadi, semua ajaran-ajaran dalam Islam, intinya sebagai sarana membersihkan jiwa dan memelihara kehidupannya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, yang dipantulkan melalui akhlaq luhur dan mulia. Termasuk puasa, yang tujuan akhirnya agar la’allakum tattaqun (Q.S. 2:183).

Olehkarenanya, makna shaum di bulan Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi lebih dari itu. Bulan Ramadhan adalah syahrut tarbiyah (bulan pendidikan) yang mengandung unsur pendidikan akhlaq di dalamnya. Maka, agar puasa benar-benar berpahala dan menjadi sarana pendidikan bagi kita semua, sudah dipantasnya agar dilakukannya secara sempurna, jangan sampai ada kerusakan di dalamnya. Apalagi puasa ini sangat spesial, karena Allah sendiri yang menentukan besar pahala, seperti dituliskan dalam hadits di atas.

Hadits muttafaqun alaih di atas menegaskan agar kita jangan merusak puasa kita sendiri. Yang menarik ialah ternyata puasa kita bisa rusak hanya dengan perkataan kita saja. Hanya karena lisan yang tidak terkendali, usaha kita menggapai pahala besar di bulan Ramadhan menjadi sia-sia.

Hadits di bawah ini menegaskan lagi bahaya lisan yang suka berdusta, sampai-sampai membuat puasa kita tidak dilihat oleh Allah SWT.

Abu Hurairah r.a berkata: Bersabda Nabi SAW: Siapa yang tidak suka meninggalkan kata-kata dusta, dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkan daripadanya puasa yang meninggalkan makan dan minumnya. (Riwayat Bukhari)

Dalam puasa terdapat pendidikan yang lebih berat daripada sekedar meninggalkan makan minum, yaitu untuk menjaga mulut kita dari perkataan keji dan dusta. Lebih berat, karena apabila sudah menjadi kebiasaan, hal ini kadang agak sukar untuk dihindari. Olehkarenanya, Islam menganjurkan bahkan menekankan agar segi-segi dan unsur-unsur kejujuran ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil, agar mereka terbiasa melakukan kejujuran di manapun berada.

Dalam suatu riwayat: Abdullah bin Amir berkata: Pada suatu hari saya dipanggil ibu dan saat itu Rasulullah ada di rumah kami. Ibu berkata: Abdullah, mari ke sini. Aku akan memberikan sesuatu kepadamu. Rasulullah bertanya kepada ibu: Apa yang ibu akan berikan? Ibu berkata; Saya akan memberinya kurma. Rasulullah berkata kepada ibuku:Kalau ibu tidak memberinya sesuatu, maka ibu akan dicatat melakukan satu kali dusta. (H. R. Abu Dawud)

Rasulullah SAW, menerangkan juga tentang buruknya orang berdusta, sekalipun dalam senda gurau. Tapi kenyataannya manusia masih banyak yang senang berimajinasi untuk menjadi bahan tertawaan atau mereka merasa senang mengobrol dengan bahan omongan yang dibuat-buat tentang teman-teman mereka untuk mentertawakan, mencaci dan menghinanya, tanpa sadar bahwa agama mengharamkan senda gurau yang bercampur dengan dusta tersebut. Padahal sikap ini yang seringkali bisa berakibat pada kekecewaan dan permusuhan.
Sabda Rasullah SAW: Tidak sempurna iman seorang hamba, sehingga ia meninggalkan dusta di dalam kelakar, dan meninggalkan riya sekalipun ia benar. (H. R Ahmad).

Kalau kelakuan dusta seperti itu tetap dilakukan di bulan suci ini, bisa jadi pahala puasa kita akan hilang tanpa bekas, kecuali perut yang lapar atautenggorokan yang haus saja yang diperoleh.

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari bahaya lisan di hari-hari bulan yang penuh berkah ini.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

MAKNA BULAN RAMADHAN

Bulan Ramadhan selain bulan yang penuh berkah sebenarnya mempunyai beberapa nama julukan. Nama-nama itu merefleksikan makna keberkahan Ramadhan yang dapat diraih bagi yang menjalaninya dengan benar. Tulisan ini sebenarnya ulasan dari suatu artikel yang saya baca setahun yang lalu di beberapa situs Internet yang menjelaskan nama-nama lain bulan Ramadhan. Tapi, meskipun informasinya sudah beredar lama di masyarakat, tidak ada salahnya juga kan kalau kita mengingat kembali makna dan hikmah nama-nama bulan Ramadhan yang dikenal Umat Islam.

Bagi Umat Islam, pengidentifikasian nama-nama bulan Ramadhan dengan berbagai sinonimnya sebenarnya mengandung maksud. Nama-nama itu diungkapkan dengan singkat dan tepat sebagai “pengingat cepat atau penggugah” dan “keywords” tentang apa yang sebaiknya dilakukan di bulan tersebut. Selain itu, nama-nama bulan Ramadhan juga menyatakan berkah dan maghfirah yang dapat diraih pada kondisi dan suasana paling baik selama satu tahun ke belakang dan ke depan (Ramadhan tahun depan seandainya masih bisa diberi umur).

Demikian banyaknya keutamaan dan peluang untuk berubah di hadapan Allah SWT di bulan Ramadhan ini hingga bulan Ramadhan sering dikiaskan dengan perumpamaan Tamu Agung yang istimewa. Perumpamaan dan keistimewaan itu tidak saja menunjukkan kesakralannya dibandingkan dengan bulan lain. Namun, mengandung suatu pengertian yang lebih nyata pada aspek penting adanya peluang bagi pendidikan manusia secara lahir dan batin untuk meningkatkan kualitas ruhani maupun jasmaninya seoanjang hidupnya.
Karena itu, Bulan Ramadhan dapat disebut sebagai Syahrut Tarbiyah atau Bulan Pendidikan. Penekanan pada kata Pendidikan ini menjadi penting karena pada bulan ini kita dididik langsung oleh Allah SWT. Pendidikan itu meliputi aktivitas yang sebenarnya bersifat umum seperti makan pada waktunya sehingga kesehatan kita terjaga. Atau kita diajarkan oleh supaya bisa mengatur waktu dalam kehidupan kita. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah. Jadi, pendidikan itu berhubungan langsung dengan penataan kembali kehidupan kita di segala bidang.

Menata kehidupan sesungguhnya bagian dari proses mawas diri atau introspeksi. Jadi, bulan Ramadhan sesungguhnya bulan terbaik sebagai masa mawas diri yang intensif. Proses mawas diri melibatkan evaluasi diri ke wilayah kedalaman jiwa untuk dinyatakan kembali dalam keseharian sebagai akhlak dan perilaku mulai yang membumi. Tentunya evaluasi ini didasarkan atas pengalaman hidup sebelumnya yaitu pengalaman atas semua peristiwa dan perilaku sebelas bulan sebelumnya sebagai ladang maghfirah yang sudah disemai dan ditanami pohon benih-benih perbuatan. Selain itu, evaluasi juga mencakup taksiran untuk kehidupan di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Pada masa Rasulullah peperangan fisik banyak terjadi pada bulan Ramadhan dan itu semua dimenangkan kaum muslimin. Peperangan fisik di masa Rasulullah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditolak karena situasi dan kondisi yang dihadapi saat itu. Namun, seperti diungkapkan dalam hadis Nabi seusai Perang Badar, yang paling berat adalah peperangan kita untuk berjihad melawan hawa nafsu sendiri. Karena itu bulan Ramadhan sering disebut sebagai Syahrul Jihad dengan fokus pada pengendalian hawa nafsu diri sendiri (yaitu Wa Nafsi, simak QS 91:7).

Jihad melawan nafsu adalah ungkapan untuk menyucikan dan memurnikan nafsu kita untuk kembali semurni-murninya, yaitu dalam keadaan fitri. Ungkapan ini sebenarnya berasal dari firman Allah dalam QS 91:7-10 dan beberapa ayat lainnya yang berbunyi senada yaitu menyucikan jiwa. Menyucikan Jiwa adalah syarat yang mengiringi proses awal penerimaan wahyu yaitu IQRA (simak QS 96:1-5). Hal ini tentunya erat kaitannya dengan buah dari pendidikan jiwa secara intuitif maupun intelektual murni (atau intelek awal), dengan rasionalitas dan penyingkapan tabir-tabir gelap jiwa kita yang sejatinya “Ummi” dan “Fakir” di hadapan Allah, Rabbul ‘Aalamin (Pencipta, Pemelihara dan Pendidik semua makhlukNya).

Dari kedua pengertian nama bulan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan dan Bulan Jihad Melawan hawa nafsu tersebut, maka terungkaplah kemudian nama bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an. Al-Qur’an pertama sekali diturunkan di bulan Ramadhan dan pada bulan ini sebaiknya kita banyak membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur’an sehingga kita faham dan mengerti perintah Allah yang terkandung di dalamnya. Karenanya, penamaan Syahrul Tarbiyah dan Syahrul Jihad sebenarnya berhubungan dengan suatu prakondisi sebelum Nabi Muhammad SAW menerima al-Qur’an sebagai Wahyu yang diwahyukan. Dalam konteks ini maka bulan Ramadhan sebagai Syahrul Qur’an sebenarnya merupakan peluang bagi semua Umat Islam yang bersyahadat dengan Nama Muhammad untuk mengkaji dan menggali nilai-nilai spiritual al-Qur’an untuk dinyatakan menjadi akhlak mulia alias akhlak Muhammad alias akhlak Qur’ani.

Pendek kata, Bulan Ramadhan sebenarnya merupakan napak tilas bagi semua Umat Islam untuk memakrifati perjanjiannya dengan Allah SWT (syahadatnya) sebagai manusia yang dilahirkan dan berkembang untuk menjalani hidup dengan kesadaran kudus. Napak tilas ini dilakukan lebih intim di Bulan Ramadhan dimana Umat Islam diharapkan dapat mengalami keadaan jasmani dan ruhani yang mirip dengan yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Al Qur’an turun ke Bumi. Inilah rahasianya kenapa di bulan ini ada yang disebut penyendirian total dengan I’tikaf di masjid pada 10 terakhir bulan Ramadhan dan ada malam Lailatul Qadar atau malam 1000 bulan. Karena itu, menurut saya, Ramadhan dapat disebut juga sebagai bulan napak tilas Nuzulul Qur’an dan Pemurnian Pengetahuan Tauhid dengan Aslim dan Islam yang lurus seperti halnya moyang Nabi Muhammad SAW dulu yaitu Ibrahim a.s yang memenggal kepala berhala yang dipuja kaumnya. Dari sini makna jihad melawan hawa nafsu pun dapat diungkapkan kembali sebagai jihad untuk memenggal kepala berhala-berhala hawa nafsu yang masih bercokol di dalam hati Umat Islam.

Selain prosesi yang bersifat keruhanian dengan pendidikan dan penerapan praktisnya, di bulan Ramadhan kita merasakan sekali suasana ukhuwah diantara kaum muslimin terjalin sangat erat dengan selalu berinteraksi di Masjid/Mushollah untuk melakkukan sholat berjama’ah. Dan diantara tetangga juga saling mengantarkan perbukaan sehingga antara kaum muslimin terasa sekali kebersamaan dan kesatuan kita. Syahrrul Ukhuwah adalah dimensi praktek yang dinyatakan bersamaan dengan pendidikan jasmani dan ruhani di bulan Ramadhan.

Seiring dengan semua itu, maka semakin jelaslah bahwa Bulan Ramadhan disebut juga sebagai Bulan Ibadah karena pada bulan ini kita banyak sekali melakukan ibadah-ibadah sunnah disamping ibadah wajib seperti sholat sunnat dhuha, rawatib dan tarawih ataupun qiyamullai serta tadarusan al-Ar’an. Bahkan dalam pengertian yang lebih luas, dimana semua makhluk diciptakan Allah sebagai hambaNya, maka semua aktivitas jasmani dan ruhani kita di Bulan Ramadhan dilatih untuk selalu menyatakan kebiasaan-kebiasaan luhur bahwa semua aktivitas kehidupan kita sejatinya adalah ibadah kepadaNya. Inilah dimensi makrifat Ramadhan ketika Umat Islam memasuki ketakwaan sesungguhnya sebagai tujuan dari diwajibkannya puasa (QS 2:183).

Untuk menjadi manusia takwa, peningkatan kualitas kemanusiaan terjadi di wilayah lahir maupun batin. Artinya dengan pemaknaan, pemahaman, ilmu dan tindakan yang seimbang dengan Kehendak Allah. Dengan hati, akal, dan perbuatan seluruh bagian tubuh manusia. Puasa Umat Islam di Bulan Ramadhan, akhirnya memang bukan sekedar menahan lapar dan haus secara harfiah. Namun, meliputi seluruh kenyataan diri kita sebagai makhluk yang berjasad, berjiwa, dan diberi amanat Ilahi untuk mengungkapkan jati diri kekhalifahanNya (kemampuannya untuk menerima amanat Pengetahuan Tauhid).
Karenanya, tolok ukur keberhasilan seseorang menjalankan puasa Ramadhan sebagai manusia yang takwa justru akan terlihat bukan hanya saat puasa dilaksanakan semata. Hasil puasa Ramadhan yang optimal dengan kiasan 1000 bulan, justru harus lebih banyak mempengaruhi perilaku manusia di waktu sesudah puasa, yaitu 11 bulan ke depan sampai kematian tiba. Penekanan dengan sisipan “harus” ini untuk mengingatkan kita supaya jangan menjadi bodoh dan lalai kembali seolah-olah Umat Islam hanya menjadi umat yang baik di bulan Ramadhan dan menjelang Iedul Fitri saja. Suasana Ramadhan harus dapat disebarkan kedalam rentang waktu 11 bulan kedepan setelah Ramadhan dan Iedul Fitri. Itulah sebenarnya Ladang Maghfirah yang harus mulai kembali diolah terus menerus untuk ditanami dengan amaliah kehidupan untuk menghasilkan buah-buah kehidupan yang paripurna.

Ladang Maghfirah adalah modal sekaligus peluang bagi manusia untuk kembali sadar dan berjalan di jalan Shirathaal Mustaqiim dan sampai dengan selamat di hadirat Allah SWT. Peluang ini berlaku bagi semua umat Islam yang dewasa dan bertanggung jawab, yang jiwanya selama menjalani kehidupan telah terkontaminasi oleh berbagai perbuatan yang tidak patut dalam ukuran norma Iman dan Islam. Tidak ada batasan ketika peluang itu dinyatakan saat Ramadhan yaitu bagi semua perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Karena itu, di bulan Ramadhan yang diwajibkan untuk berpuasa dengan tujuan menjadi takwa, maka jiwa Umat Islam sesungguhnya “dapat” diperhalus kembali ke posisi fitri untuk melangkah kembali ke masa depan dan menjalani kehidupan dengan cerapan makna yang semakin meningkatkan kualitas kemanusiaannya (yaitu sebagai manusia takwa).

Ramadhan, kembali dan selalu akan kembali selama kita masih hidup. Dan selama kita hidup pula, Allah SWT selalu menyediakan waktu ampunan bagi semua manusia, khususnya Umat Islam, untuk berdekat-dekatan dengan keintiman khusus yang disebut Bulan Ramadhan. Jadi, luruskanlah niat untuk beribadah Ramadhan dengan totalitas kehambaan di hadapanNya, tertunduk dan berserah diri padaNya dengan jujur guna meraih ketakwaan sesungguhnya.

Mukhlis Aminullah, dari berbagai sumber.

Selasa, 18 Agustus 2009

PERSIAPAN MENYAMBUT RAMADHAN

Waktu berlalu begitu cepat. Perputaran jarum jam sesungguhnya normal-normal saja, namun manusia yang menjalani tanpa sadar tergilas oleh berlalunya waktu. Hanya manusia yang bertaqwa yang bisa memanfaatkan waktu demi beribadah kepada Allah SWT. Baru kemarin kita merayakan hari kemerdekaan sebagai bangsa, dan semangatnya pun belum pudar, kita sudah akan merayakan hari-hari penuh hikmah yang lain sebagai hamba Allah SWT.

Ya, lusa hari Sabtu tanggal 22 Agustus tahun Masehi, kita memasuki hari pertama bulan Ramadhan tahun 1430 H. Sebagai ummat Islam sudah sepatutnya kita bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, karena pada bulan yang mulia ini adalah kesempatan kita untuk berpuasa, bertarawih, melakukan shalat witir dan ibadah-ibadah lainnya yang pahalanya akan dilipat gandakan.

Apa persiapan kita menyambut Ramadhan…? Bukan persiapan dalam bentuk materi saja yang harus kita pikirkan, namun ada yang lebih urgen daripada itu yaitu persiapan mental (rohaniah) kita, untuk menyambut tamu yang sangat istimewa. Jangan Anda pikirkan hanya menyediakan kurma sebanyak-banyaknya, penganan berbuka yang memenuhi meja makan ataupun daging “meugang” yang memenuhi kulkas….! Sesungguhnya yang lebih penting adalah menyiapkan diri agar lebih bertaqwa dan mempertahankan ketaqwaan itu pada bulan-bulan selanjutnya setelah Ramadhan.

Kalau kita mengkaji lagi ke belakang, bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah menyiapkan diri menyambut Ramadhan sejak jauh-jauh hari. Mereka bahkan telah menyambut Ramadhan sejak bulan Ra’jab. Diantara doa yang populer mereka panjatkan adalah:

اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan (HR. At-Thabrani, Al-Baihaqi, dan Ibnu Asakir)

Ada empat persiapan yang kita perlukan dalam menyambut bulan Ramadhan 1430 H / 2009 M ini:

Persiapan Ruhiyah

Persiapan ruhiyah yang kita perlukan adalah dengan cara membersihkan hati dari penyakit aqidah sehingga melahirkan niat yang ikhlas.

Allah SWT menegaskan pentingnya membersihkan hati (tazkiyatun nafs) dalam firman-Nya:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا [الشمس/9]
Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya (QS. Asy-Syams : 9)

Maka dalam waktu sepuluh hari ke depan kita perlu melakukan evaluasi diri (muhasabah) apakah penyakit-penyakit aqidah masih menjangkiti diri kita. Selanjutnya kita bermujahadah untuk menghilangkan penyakit-penyakit itu. Alangkah indahnya saat Ramadhan tiba dan kita benar-benar dalam kondisi ikhlas menapaki hari-hari istimewa yang dibawa oleh tamu mulia itu.

Saat-saat keikhlasan bersenyawa dalam diri kita sepanjang Ramadhan merupakan saat-saat terbaik yang akan menjamin kita memperoleh ampunan Allah SWT.
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq 'Alaih)

Persiapan Fikriyah

Agar Ramadhan kita benar-benar efektif, kita perlu membekali diri dengan persiapan fikriyah. Sebelum Ramadhan tiba sebaiknya kita telah membekali diri dengan ilmu agama terutama yang terkait secara langsung dengan amaliyah di bulan Ramadhan. Tentang kewajiban puasa, keutamaan puasa, hikmah puasa, syarat dan rukun puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, serta sunnah-sunnah puasa. Juga tarawih, I'tikaf, zakat, dan sebagainya.

Untuk itu kita bisa mengkaji Fiqih Sunnah-nya Sayyid Sabiq, Fiqih Puasa-nya Dr. Yusuf Qardahawi, dan lain-lain. Insya Allah blog ini juga akan menampilkan seri Ramadhan yang berisi hal-hal tersebut.

Inilah rahasia mengapa Imam Bukhari membuat bab khusus dalam Shahih-nya dengan judul Al-Ilmu Qabla Al-Qaul wa Al-Amal (Ilmu sebelum Ucapan dan Amal). Tanpa ilmu bagaimana kita bisa beramal selama bulan Ramadhan dengan benar?

Pemahaman ilmu syar'i ini juga merupakan tanda kebaikan yang dikehendaki Allah terhadap seseorang. Karenanya Rasulullah SAW bersabda :
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan kebaikan maka ia difahamkan tentang (ilmu) agama (Muttafaq 'Alaih)

Persiapan Jasadiyah

Ramadhan membutuhkan persiapan jasadiyah yang baik. Tanpa persiapan memadai kita bisa terkaget-kaget bahkan ibadah kita tidak bisa berjalan normal. Ini karena Ramadhan menciptakan siklus keseharian yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Kita diharapkan tetap produktif dengan pekerjaan kita masing-masing meskipun dalam kondisi berpuasa. Kita juga akan melakukan ibadah dalam porsi yang lebih lama dari sebelumnya. Shalat tarawih, misalnya.

Karenanya kita perlu mempersiapkan jasadiyah kita dengan berolah raga secara teratur, menjaga kesehatan badan, dan kebersihan lingkungan. Di sini, logika akal bertemu dengan keutamaan syar'i dalam hadits Nabi:
المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dll)

Persiapan Maliyah

Persiapan maliyah yang diperlukan dalam menyambut bulan Ramdhan bukanlah untuk membeli baju baru, menyediakan kue-kue lezat untuk Idul Fitri, dan lain-lain. Kita justru memerlukan sejumlah dana untuk memperbanyak infaq, memberi ifthar (buka puasa) orang lain dan membantu orang yang membutuhkan. Tentu saja bagi yang memiliki harta yang mencapai nishab dan haul wajib mempersiapkan zakatnya. Bahkan, jika kita mampu berumrah di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang bernilai luar biasa; seperti nilai haji bersama Rasulullah SAW
Dari uraian di atas mudah-mudahan bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama bagi saya sendiri. Pada kesempatan kita saya mengajak, marilah kita manfaatkan kesempatan Ramadhan ini sebagai langkah awal memperbaiki diri serta menambah keta’atan kita kepada Allah SWT. Selamat menunaikan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya.

Mukhlis Aminullah, dirangkum dari berbagai sumber.