Minggu, 30 Agustus 2009

MENJAGA LISAN

Apa yang paling susah kita jaga dari anggota tubuh kita agar tidak melakukan dosa….? Coba Anda ingat dan renungkan. Saya sendiri sudah punya jawaba untuk itu. Bagi saya, menjaga mulut (lisan) adalah salah satu yang paling terasa berat. Kadangkala kita tidak sengaja mengeluarkan kalimat yang membuat tidak nyaman didengar orang lain, padahal kita tidak bermaksud untuk menyakiti orang tersebut. Adakalanya kita bermaksud bergurau dan menurut kita hal itu tidak lah menyakiti, tapi bagi orang lain, hal itu sudah menyakiti. Memang begitulah hidup di dunia…… Pemahaman manusia masing-masing berbeda.

Bagaimana kita jaga lisan dengan Allah SWT, agar apa saja yang kita ucapkan tidak “menyinggung” Allah SWT…? Ini lebih susah lagi, kalau pemahaman kita terhadap ajaran agama sangat kurang. Seharusnya kita harus menjaga benar-benar lisan kita, karena salah ucapa akan membawa malapetaka. Seringkali seseorang bicara sekenanya saja, tidak memikirkan akibatnya.

Saya teringat dengan pengalaman di kampung-kampung dahulu. Ketika kita melihat seorang suami yang ganteng berjalan dengan isterinya yang tidak seberapa cantik (fisik), begitu gampang beberepa orang mengatakan “wah… kasian juga Bapak itu, ganteng-ganteng, isterinya jelek….” Atau kejadian sebaliknya si isteri yang cantik, suami yang agak pas-pasan… “Bapak itu beruntung! Isterinya cantik, dan sangat tidak cocok sama dia…”

Atau ada juga seseorang melihat temannya yang sudah married (menikah) tapi hidupnya masih belum meningkat dari sisi ekonomi, dengan gampang mengatakan “siapa suruh elo kawin, rasain jadi susah… mending kayak gue…” Nah, hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Maunya sekedar bicara, tetapi tanpa sadar telah mengingkari hokum Allah SWT. Bukankah jodoh dan pasangan sudah ditentukan Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-Ruum 21. Begitu juga rezeki, sudah diatur olehNya.

Menjaga lisan adalah pekerjaan yang sangat berat. Namun kalau kita bertekad untuk menjaganya, Insya Allah pasti bisa. Konon lagi sekarang bulan puasa, adalah kesempatan bagi kita mencapai ridha Allah, agar setelah itu kita menjadi hamba yang bertaqwa. Selain sebagai moment memperbaiki diri, menjaga lisan bulan puasa juga penting agar puasa kita selamat sampai kita berbuka.

Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah telah berfirman: Semua amal kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali puasa, maka itu hanya untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Dan puasa itu perisai, maka jika kamu sedang berpuasa, maka janganlah berkata keji, dan jangan ribut (marah-marah), dan jika ada orang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya diberitahu: Saya berpuasa. Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, bau mulut orang yang puasa bagi Allah lebih harum daripada bau kasturi, Dan untuk orang puasa, akan ada dua kali masa gembira, yaitu gembira ketika berbuka puasa, dan ketika ia bisa bertemu Rabb-nya karena pahala puasanya (Muttafaqun alaih).

Seperti juga ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, zakat, haji dsb., di dalam puasa terdapat hikmah sebagai pendidikan akhlaq bagi kaum muslimin. Hal ini sejalan dengan ungkapan Rasulullah: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia. Jadi, semua ajaran-ajaran dalam Islam, intinya sebagai sarana membersihkan jiwa dan memelihara kehidupannya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, yang dipantulkan melalui akhlaq luhur dan mulia. Termasuk puasa, yang tujuan akhirnya agar la’allakum tattaqun (Q.S. 2:183).

Olehkarenanya, makna shaum di bulan Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi lebih dari itu. Bulan Ramadhan adalah syahrut tarbiyah (bulan pendidikan) yang mengandung unsur pendidikan akhlaq di dalamnya. Maka, agar puasa benar-benar berpahala dan menjadi sarana pendidikan bagi kita semua, sudah dipantasnya agar dilakukannya secara sempurna, jangan sampai ada kerusakan di dalamnya. Apalagi puasa ini sangat spesial, karena Allah sendiri yang menentukan besar pahala, seperti dituliskan dalam hadits di atas.

Hadits muttafaqun alaih di atas menegaskan agar kita jangan merusak puasa kita sendiri. Yang menarik ialah ternyata puasa kita bisa rusak hanya dengan perkataan kita saja. Hanya karena lisan yang tidak terkendali, usaha kita menggapai pahala besar di bulan Ramadhan menjadi sia-sia.

Hadits di bawah ini menegaskan lagi bahaya lisan yang suka berdusta, sampai-sampai membuat puasa kita tidak dilihat oleh Allah SWT.

Abu Hurairah r.a berkata: Bersabda Nabi SAW: Siapa yang tidak suka meninggalkan kata-kata dusta, dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkan daripadanya puasa yang meninggalkan makan dan minumnya. (Riwayat Bukhari)

Dalam puasa terdapat pendidikan yang lebih berat daripada sekedar meninggalkan makan minum, yaitu untuk menjaga mulut kita dari perkataan keji dan dusta. Lebih berat, karena apabila sudah menjadi kebiasaan, hal ini kadang agak sukar untuk dihindari. Olehkarenanya, Islam menganjurkan bahkan menekankan agar segi-segi dan unsur-unsur kejujuran ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil, agar mereka terbiasa melakukan kejujuran di manapun berada.

Dalam suatu riwayat: Abdullah bin Amir berkata: Pada suatu hari saya dipanggil ibu dan saat itu Rasulullah ada di rumah kami. Ibu berkata: Abdullah, mari ke sini. Aku akan memberikan sesuatu kepadamu. Rasulullah bertanya kepada ibu: Apa yang ibu akan berikan? Ibu berkata; Saya akan memberinya kurma. Rasulullah berkata kepada ibuku:Kalau ibu tidak memberinya sesuatu, maka ibu akan dicatat melakukan satu kali dusta. (H. R. Abu Dawud)

Rasulullah SAW, menerangkan juga tentang buruknya orang berdusta, sekalipun dalam senda gurau. Tapi kenyataannya manusia masih banyak yang senang berimajinasi untuk menjadi bahan tertawaan atau mereka merasa senang mengobrol dengan bahan omongan yang dibuat-buat tentang teman-teman mereka untuk mentertawakan, mencaci dan menghinanya, tanpa sadar bahwa agama mengharamkan senda gurau yang bercampur dengan dusta tersebut. Padahal sikap ini yang seringkali bisa berakibat pada kekecewaan dan permusuhan.
Sabda Rasullah SAW: Tidak sempurna iman seorang hamba, sehingga ia meninggalkan dusta di dalam kelakar, dan meninggalkan riya sekalipun ia benar. (H. R Ahmad).

Kalau kelakuan dusta seperti itu tetap dilakukan di bulan suci ini, bisa jadi pahala puasa kita akan hilang tanpa bekas, kecuali perut yang lapar atautenggorokan yang haus saja yang diperoleh.

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari bahaya lisan di hari-hari bulan yang penuh berkah ini.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar