Sabtu, 05 September 2009

TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL FATIHAH

Tidak ada surat dalam Al-Quran yang lebih terkenal daripada Surat Al-Fatihah. Hampir tidak ada Muslim yang tidak hafal surat ini, karena ia merupakan bacaan wajib dalam shalat. Surat ini dinamakan Ummul-Quran (induk Al-Quran), Sab'ul-Matsani (tujuh yang diulang-ulang), Fatihatul-Kitab (Pembukaan Kitab Al-Quran) dan Al-Hamdu (Pujian).

Sayangnya kepopuleran surat itu tidak dibarengi oleh pemahaman yang mendalam terhadap pesan hakiki yang terdapat dalam surat itu. Padahal sebagai intisari Al-Quran, Al-Fatihah mengandung makna dan keutamaan yang luar biasa. Ini terbukti dari adanya nash-nash yang secara khusus membicarakan tentang surat ini.

Imam Muslim dan Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika pintu langit terbuka. Kemudian turun malaikat yang menemui Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, "Gembirakanlah ummatmu dengan dua cahaya. Sungguh, keduanya hanya diberikan kepadamu dan tidak diberikan kepada Nabi sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab dan beberapa ayat terakhir Surat Al-Baqarah."

Demikian besarnya keutamaan Surat Al-Fatihan sehingga sejumlah mufassir (ulama ahli tafsir) sampai harus menafsirkan surat pendek itu dalam berjilid-jilid kitab. Ibnul Qoyyim Al-Jauzy misalnya, tafsirannya terhadap ayat ke-5 Al-Fatihah begitu panjang hingga menjadi satu buku tebal bernama "Madarijus-Salikin".

Tiga Golongan

Di antara sekian banyak keutamaan Surat Al-Fatihah adalah petunjuk tentang penggolongan manusia. Pada dua ayat terakhir surat Al-Fatihah, sebagaimana tertera pada bagian atas tulisan ini membagi manusia dalam tiga kelompok, yakni: pertama, orang-orang yang diberi nikmat (alladzina an'amta 'alaihim). Kedua, orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub). Dan ketiga, orang yang sesat (adh-dhallin).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, yang dimaksud dengan golongan pertama atau orang-orang yang diberi nikmat adalah para malaikat, nabi-nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar dan tidak menyimpang dari jalan Allah), para syuhada (orang yang mati syahid) dan orang-orang shalih. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan Islam dan syariatnya secara integral (kaffah) dan konsisten (istiqomah), yang karena itu mereka merasakan kebahagian sejati di dunia dan akhirat..

Mereka memiliki ciri-ciri pokok. Yakni, aqidah mereka kokoh dan bersih dari syirik. Karena itu kecintaan mereka kepada Allah begitu dahsyat. Indikasinya terlihat dari komitmen mereka yang tinggi untuk berpegang teguh pada syariat Allah dan berjihad dengan mengorbankan segala apa yang ada pada diri mereka (harta, nyawa, waktu dan lain-lain) untuk menegakkan syariat itu.

Dari sisi ibadah, mereka adalah orang-orang yang rajin, tekun dan khusyu'. Mereka sangat lahap menyantap berbagai ibadah wajib maupun sunnah. Meski begitu, praktek ibadah mereka bersih dari bid'ah (ibadah yang tidak diajarkan Nabi).

Sebagai konsekuensi aqidah yang bersih dan dan ibadah yang baik itu, akhlak mereka senantiasa terpuji dan mulia. Setiap kiprah dan tindak-tanduk mereka pekat dengan nuansa rahmatan lil 'alamin (menebarkan rahmat bagi alam semesta) dan bermanfaat bagi setiap orang. Mereka inilah yang pada bagian awal surat Al-Baqarah digolongkan sebagai orang mukmin, yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Sementara golongan kedua, golongan yang dimurkai (al-maghdhub), berdasarkan kajian dalam Al-Quran dan Sunnah adalah mereka yang jelas-jelas berada di luar tuntunan Islam. Mereka mengikat diri dengan selain Allah. Keyakinan-keyakinan lebih banyak didominasi logika hawa nafsu dan seluruh aktivitas hidup mereka hanya ditujukan semata-mata untuk mengejar kepentingan duniawi.

Wajar kalau perilaku hidup mereka rusak dan merusakkan orang lain serta lingkungan. Kalaupun ada yang tampak bermoral, itu bukan didasarkan atas tuntunan syariat Allah, tapi sekedar memenuhi kelaziman sosial. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut kafir, menolak kebenaran Islam.

Adapun golongan ketiga, golongan sesat (adh-dhallin) adalah orang-orang yang mengaku Muslim, tapi akidah mereka rusak. Misalnya, mereka menjalankan ajaran Islam tapi mereka juga masih percaya kepada berbagai tahkayul dan dukun/ paranormal serta bersekutu dengan jin. Ibadah mereka juga tidak sempurna, kurang tekun dan rajin serta kering dari kekhusyu'an. Ada yang rajin, tapi dipenuhi bid'ah.

Akhlak mereka jauh dari nilai-nilai mulia seperti yang dicontohkan Rasulullah. Sebaliknya, gaya hidup mereka jahiliyyah (bodoh, rusak), mengikuti selera nafsu dan pola hidup orang kafir. Mereka inilah yang dalam Al-Baqarah disebut munafiq.

Yahudi-Nasrani

Ibnu Katsir juga menyebutkan sejumlah riwayat yang menerangkan bahwa golongan kedua adalah ummat Yahudi, sedangkan golongan ketiga adalah ummat Nasrani. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari 'Ady bin Hatim, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah orang Yahudi dan mereka yang sesat adalah orang Nasrani."

Kemurkaan memang diberikan kepada orang Yahudi sebagaimana dipertegas oleh Allah dalam Al-Quran: "Katakanlah: Apakah akan aku beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah…" (Surat Al-Maidah: 60)

Sedangkan kesesatan disematkan kepada orang Nasrani sebagaimana firman Allah: "Yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (Surat Al-Maidah: 77)

Karena Hidayah

Apa yang membuat manusia terbagi ke dalam tiga golongan? Secara tersirat Allah menyebutkan jawabannya pada ayat keenam, "Ihdinash-shirathal mustaqim, tunjukilah kami jalan yang lurus." Ayat inilah yang dijabarkan pada ayat ketujuh di atas, dimana jalan yang lurus (Ash-shirath al-Mustaqim) adalah jalan golongan pertama dan bukan golongan kedua dan ketiga. Dengan demikian, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, jalan kedua golongan terakhir ini adalah jalan yang tidak lurus (Ash-shirath ghairul Mustaqim).

Pertanyaan berikutnya, apa yang menyebabkan terjadinya kedua jalan tersebut? Lagi-lagi secara tersirat dalam ayat yang sama (keenam) Allah memberi jawabannya. Yakni petunjuk (hidayah), yang diambil dari kata kerja ihdi-naa (tunjukilah kami). Hidayahlah yang menyebabkan sesorang menempuh jalan yang lurus atau jalan yang menyimpang. Hal ini telah dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (manusia) dua jalan." (Surat Al-Balad: 10)
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya (manusia) jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Surat Al-Insan: 3)

Seseorang yang mendapat petunjuk dan mengikutinya berarti mendapatkan bimbingan dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai fitrahnya. Kesesuaian antara petunjuk sebagai faktor eksternal dan nilai-nilai fitrah sebagai faktor internal akan menjadikan kehidupan sesorang berjalan dalam keseimbangan menuju tujuan yang sebenarnya, yakni akhirat. Nilai keseimbangan itulah yang diumpamakan dengan Ash-shirath al-Mustaqim karena jalan itu bisa mengantarkan seseorang kepada tujuan hidupnya yang hakiki.

Sebaliknya orang yang menyimpang berarti tidak mendapatkan petunjuk yang membimbingnya kepada kehidupan yang semestinya dijalani sebagai ciptaan Allah. Orang jenis ini dalam Al-Fatihah dibagi dalam dua kategori yakni orang yang dimurkai dan orang yang sesat.

Lagi-lagi, pertanyaannya kemudian adalah, apa yang membuat seseorang itu bisa mendapat hidayah dan mengikutinya atau tidak memperoleh dan tersesat dari jalannya? Inilah yang dijelaskan dalam ayat kelima: "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" (hanya kepada Engkaulah kami menyembah/mengabdi/beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).

Ibadah (na'budu) dan sikap ketergantungan (nasta'in) mutlak yang ditujukan hanya kepada Allah semata adalah rahasia turunnya hidayah Allah kepada seseorang. Ibadah di sini baik dalam arti luas yakni menundukan seluruh dimensi dan perilaku hidup dibawah kendali Allah maupun dalam arti sempit yakni ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Adapun ketergantungan bermakna penyerahan segala urusan dan hajat kehidupan kepada Allah Yang Maha Kaya, Maha Kuat dan Maha Kuasa.

sumber: Hidayatullah Edisi 01/XVI 2003 - Mutiara Qur`an

1 komentar: