Desa memiliki hak membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes atau BUM 
Desa). Sesunguhnya sinyal itu mulai muncul pada Undang-undang Nomor 22 
Tahun 2009. Namun, BUM Desa mulai menjamur setelah secara eksplisit 
tertera dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 
Daerah. Dukungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten cukup 
besar. Kementerian/Lembaga juga sudah mulai meresponnya dengan 
melibatkan BUM Desa dalam program/kegiatan pengembangan ekonomi 
masyarakat desa. Kendati demikian upaya Pemerintah Daerah dan Pemerintah
 ini dinilai belum optimal.   Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 
tentang Desa diharapkan dapat menjadi sumber spirit baru BUM Desa.
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 menegaskan kembali bahwa Desa dapat 
mendirikan Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa adalah badan usaha yang 
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui 
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang 
dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk 
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. 
Ketentuan 
tentang Badan Usaha Milik Desa dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 
diatur dalam Bab X, dengan 4 buah pasal, yaitu Pasal 87 sampai dengan 
Pasal 90. Dalam Bab X UU Desa ini disebutkan bahwa Desa dapat mendirikan
 Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa yang dikelola dengan 
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Usaha yang dapat dijalankan 
BUM Desa yaitu usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai 
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa. 
BUM Desa dirancang dengan mengedepankan peran Pemerintah Desa dan 
masyarakatnya secara lebih proporsional. Bila bercermin kepada peran 
Pemerintah Desa dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat selama
 ini, maka melalui model BUM Desa ini diharapkan terjadi revitalisasi 
peran Pemerintah Desa dalam pengembangan ekonomi lokal/pemberdayaan 
masyarakat. 
Secara teknis BUM Desa yang ada sekarang masih 
mengacu kepada  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 
tentang Badan Usaha Milik Desa. Dengan hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 
serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan 
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka kedepan 
Desa mendapat peluang yang lebih besar untuk meningkatkan perannya dalam
 pengembangan ekonomi masyarakat perdesaan.  Dalam hal ini BUM Desa 
dapat menjadi instrumen dan dioptimalkan perannya sebagai lembaga 
ekonomi lokal yang legal yang berada ditingkat desa untuk meningkatkan 
kesejahteraan masyarakat dan pendapatan desa.
Saat ini BUM Desa 
diberi peluang untuk mengembangkan berbagai jenis usaha sesusai dengan 
kebutuhan dan potensi desa. Adapun jenis-jenis usaha tersebut meliputi: 
1) jasa 2) penyaluran sembilan bahan pokok, 3) perdagangan hasil 
pertanian; dan/atau 4) industri kecil dan rumah tangga.
Contoh 
dari usaha jasa adalah jasa keuangan mikro, jasa transportasi, jasa 
komunikasi, jasa konstruksi, dan jasa energi. Usaha penyaluran sembilan 
bahan pokok, antara lain beras, gula, garam, minyak goreng, kacang 
kedelai, dan bahan pangan lainnya yang dikelola melalui warung desa atau
 lumbung desa. Usaha perdagangan hasil pertanian meliputi jagung, 
buah-buahan, dan sayuran. Terakhir usaha industri kecil dan rumah 
tangga, seperti makanan, minuman, kerajinan rakyat, bahan bakar 
alternatif, dan bahan bangunan.
Jenis usaha yang banyak 
diusahakan oleh BUM Desa yang sudah ada sekarang baru jenis usaha jasa, 
itupun baru sebatas jasa keuangan mikro. Dari ketentuan yang ada, BUM 
Desa dapat mengembangkan berbagai jenis usaha sesuai dengan kebutuhan 
dan potensi desa. Sebagai rintisan, unit usaha keuangan mikro sangat 
potensial dijadikan cikal bakal pembentukan BUM Desa. Strategi inilah 
yang tampaknya dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, 
Provinsi Riau. Dalam hal ini, keberadaan UED-SP (Usaha Ekonomi 
Desa–Simpan Pinjam) yang sehat menjadi syarat pembentukan BUM Desa di 
Kabupaten Rokan Hulu. 
Di Pusat salah satunya Kementerian 
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang memiliki komitmen untuk 
mengembangkan lembaga perekonomian desa, termasuk BUM Desa.  Sejak tahun
 2009 KPDT  telah memberikan kepercayaan kepada BUM Desa untuk mengelola
 Moda Transportasi yang diadakan melalui Dana Alokasi Khusus Bidang 
Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal (DAK SPDT). Hal ini ditegaskan 
dalam Petunjuk Teknis DAK SPDT yang dikeluarkan oleh KPDT. 
Salah
 satu target yang ingin dicapai dari keberadaan sarana dan prasarana 
perdesaan yang didanai oleh DAK SPDT adalah meningkatnya pergerakan 
barang/penumpang dari pusat-pusat produksi menuju pusat-pusat pemasaran,
 dan meningkatnya akses masyarakat di perdesaan daerah tertinggal 
terhadap pelayanan publik. 
Inisiatif  KPDT untuk memberikan 
kepercayaan kepada BUM Desa dalam pengelolaan Moda Transportasi bantuan 
DAK SPDT tampaknya tidak serta merta disambut oleh Pemerintah Kabupaten 
Tertinggal. Salah satu kendalanya karena sebagian besar dari kabupaten 
tertinggal tersebut belum memiliki BUM Desa. 
Beberapa kabupaten 
tertinggal yang memberanikan diri memberikan mandat kepada BUM Desa 
ternyata juga belum mendapatkan hasil yang menggembirakan. Faktor 
kesiapan BUM Desa dalam mengelola usaha masih menjadi kendala.  
Kondisi ini menjadi pertanda bahwa masih dibutuhkan upaya panjang untuk 
menjadikan BUM Desa sebagai pelaksana pembangunan perekomian perdesaan. 
Dibutuhkan sinergi dan dukungan yang sepadan dari pemerintah dan 
pemerintah daerah. 
Ada 4 (empat) agenda pokok yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan peran BUM Desa, yaitu :
Kesatu
Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan. Tahapan ini meliputi: perumusan
 regulasi/pengaturan, dan penataan organisasi. Pemerintah harus merivisi
 Peraturan Menteri dan 
menyesuaikan dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2014, serta Peraturan 
Pemerintah Nomor 43 tahun 2014. 
Kedua
Menyusun Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan
 BUM Desa yang minimal memuat tentang: bentuk organisasi, kepengurusan, 
hak dan kewajiban, permodalan, bagi hasil, keuntungan dan kepailitan, 
kerja sama dengan pihak ketiga, mekanisme pertanggungjawaban, pembinaan,
 dan pengawasan masyarakat;
Ketiga
Mengoptimalkan peran 
Satuan Kerja Perangkat Daerah (seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
 Pemerintahan Desa) dalam pembinaan terhadap BUM Desa; Penguatan 
kapasitas (capacity building). Mencakup pemberdayaan, pelatihan, dan 
fasilitasi secara berjenjang. Pemerintah melakukannya kepada Pemerintah 
Daerah, dan Pemerintah Daerah melakukannya kepada Pemerintah Desa dan 
BUM Desa;
Keempat
Penguatan Pasar. Setelah BUM Desa berdiri 
diharapkan melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, perluasan pasar, 
dan mendapatkan fasilitasi akses terhadap berbagai sumber daya;
Keberlanjutan. Mencakup pengorganisasian, forum advokasi, dan promosi 
sehingga mendapatkan wujud BUM Desa yang ideal serta semakin mendapatkan
 dukungan dari berbagai kalangan terutama  masyarakat dan dunia usaha. 
Masalah terbesar yang dihadapi Pemerintah Desa dalam mendukung 
kehadiran dan mengoptimalkan peran BUM Desa adalah cengkraman 
Kementerian/Lembaga yang sudah kecanduaan mengelola kegiatan yang 
langsung ke tingkat desa. 
Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 
2014 tentang Desa diharapkan mampu memaksa seluruh pihak terkait untuk 
konsisten memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Desa 
didalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
 Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa 
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa. 
Termasuk dalam memberikan peran yang maksimal kepada BUM Desa dalam 
mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan.
Kesemrawutan 
kelembagaan ekonomi masyarakat desa yang muncul akibat ego sektoral dan 
tidak berdayanya Pemerintah Desa dalam memutus mata rantai ini 
diharapkan dapat terjawab dengan hadirnya BUM Desa dan paradigma baru 
pengelolan desa sesuai spirit UU Desa. 
Oleh : Aris Ahmad Risadi
Tulisan diadaptasi dari Makalah yang  disampaikan untuk acara “Kongres 
Gerakan Desa 2014” di Hotel Grand Cempaka - Jakarta, 5-6 September 2014.
Penulis adalah Ketua Perkumpulan Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI), anggota Relawan Desa.
Senin, 29 Juni 2015
YANG LUPUT DARI PERHATIAN AMERIKA PASCA 11 SEPTEMBER
Mungkin betul bahwa 11 September 2001 adalah wajah pedih rakyat Amerika.
Mereka merasa luluh-lantak dihantam “teroris”—walau entah siapa dalang pemboman
menara kembar WTC, namun umat Islam di dunia sudah kadung kena getah dari
konspirasi ini.
P
asca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah garang. Sejak saat itu, data menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Sekadar perbandingan misalnya saja CAIR (Council on American-Islamic Relations), setiap tahun hanya menerima pengaduan 300-400 saja, maka setelah 9/11, ada 14 sampai 15 ribu kasus yang datang. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena getah serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian.
Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedy tersebut. Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.
11 September diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University. Menurut master lulusan Yordania ini, reaksi masyarakat Amerika tersebut terhitung normal mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang normal. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.
Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan komunitas warga Arab yang terbesar; sekitar 250 ribu orang di AS. “Kami amat takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar Alawie (16 tahun), perempuan. “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi.”
Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun, ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.
Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit mengakui bahwa umat Islam mengalami fase takut memberikan dana apa pun pada kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang.
Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah. “Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya.
Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya tidak tahu,” kata seorang pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam adalah agamanya orang Israel!”
Banyak yang mengakui bahwa sebelumnya Islam diakui sebagai agama yang masih asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. Buku-buku tentang Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini.
Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui pula oleh Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad. “Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam, namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media,” kata Awad.
Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah mengenai apa itu Islam, misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang perbandingan agama.
Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat bulan terakhir pertama. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak, bahkan jika dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam.
Fenomena menarik lainnya adalah peningkatan jumlah orang yang memeluk agama Islam sejak 11 September 2001. Sebelum 11 September, biasanya ada enam ribu orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja. Sebagian besar yang tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul keturunan Spanyol, dan warga kulit putih.
Setelah 9/11, ada yang tidak diketahui oleh Amerika. Tiba-tiba saja, Islam menjadi satu-satunya agama yang mengalami perkembangan paling pesat di negeri itu. Bahkan menurut Washington Times, pada 2010, umat Islam diperkirakan melampaui jumlah kaum Yahudi. Sementara pemerintah Amerika terus membom negeri-negeri Muslim untuk mencari teroris 9/11, di rumahnya sendiri Islam tumbuh bagai jamur di musim penghujan.
Sumber: skp.unair/moeflich
P
asca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah garang. Sejak saat itu, data menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Sekadar perbandingan misalnya saja CAIR (Council on American-Islamic Relations), setiap tahun hanya menerima pengaduan 300-400 saja, maka setelah 9/11, ada 14 sampai 15 ribu kasus yang datang. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena getah serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian.
Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedy tersebut. Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.
11 September diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University. Menurut master lulusan Yordania ini, reaksi masyarakat Amerika tersebut terhitung normal mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang normal. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.
Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan komunitas warga Arab yang terbesar; sekitar 250 ribu orang di AS. “Kami amat takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar Alawie (16 tahun), perempuan. “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi.”
Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun, ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.
Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit mengakui bahwa umat Islam mengalami fase takut memberikan dana apa pun pada kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang.
Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah. “Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya.
Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya tidak tahu,” kata seorang pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam adalah agamanya orang Israel!”
Banyak yang mengakui bahwa sebelumnya Islam diakui sebagai agama yang masih asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. Buku-buku tentang Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini.
Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui pula oleh Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad. “Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam, namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media,” kata Awad.
Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah mengenai apa itu Islam, misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang perbandingan agama.
Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat bulan terakhir pertama. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak, bahkan jika dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam.
Fenomena menarik lainnya adalah peningkatan jumlah orang yang memeluk agama Islam sejak 11 September 2001. Sebelum 11 September, biasanya ada enam ribu orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja. Sebagian besar yang tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul keturunan Spanyol, dan warga kulit putih.
Setelah 9/11, ada yang tidak diketahui oleh Amerika. Tiba-tiba saja, Islam menjadi satu-satunya agama yang mengalami perkembangan paling pesat di negeri itu. Bahkan menurut Washington Times, pada 2010, umat Islam diperkirakan melampaui jumlah kaum Yahudi. Sementara pemerintah Amerika terus membom negeri-negeri Muslim untuk mencari teroris 9/11, di rumahnya sendiri Islam tumbuh bagai jamur di musim penghujan.
Sumber: skp.unair/moeflich
Langganan:
Komentar (Atom)