Mungkin betul bahwa 11 September 2001 adalah wajah pedih rakyat Amerika.
Mereka merasa luluh-lantak dihantam “teroris”—walau entah siapa dalang pemboman
menara kembar WTC, namun umat Islam di dunia sudah kadung kena getah dari
konspirasi ini.
P
asca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi
kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap
warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah garang. Sejak saat itu, data
menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami
umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Sekadar perbandingan misalnya
saja CAIR (Council on American-Islamic Relations), setiap tahun hanya menerima
pengaduan 300-400 saja, maka setelah 9/11, ada 14 sampai 15 ribu kasus yang
datang. Apakah yang sebenarnya terjadi?
Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena getah
serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan
sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi
beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian.
Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat
ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedy tersebut.
Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat
gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.
11 September diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang
mengajar di Georgetown University. Menurut master lulusan Yordania ini, reaksi
masyarakat Amerika tersebut terhitung normal mengingat ketidaktahuan masyarakat
AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah.
Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa
dimengerti. Itu hal yang normal. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik
mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.
Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat
Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan
komunitas warga Arab yang terbesar; sekitar 250 ribu orang di AS. “Kami amat
takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau
pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar
Alawie (16 tahun), perempuan. “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan
maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju
pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi.”
Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita
mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun,
ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.
Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit
mengakui bahwa umat Islam mengalami fase takut memberikan dana apa pun pada
kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih
terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau
pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria
keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini,
jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang.
Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS
mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam
kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah. “Umumnya warga AS cukup ramah.
Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya.
Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di
AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para
tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar
warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan
wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya tidak tahu,” kata seorang
pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam
adalah agamanya orang Israel!”
Banyak yang mengakui bahwa sebelumnya Islam diakui sebagai agama yang masih
asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah
baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. Buku-buku tentang
Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi
positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini.
Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui pula oleh
Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad.
“Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al
Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika
menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam,
namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media,” kata Awad.
Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki
pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam
yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di
stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak
serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak
untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering
diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah
mengenai apa itu Islam, misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai
Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang
Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang
perbandingan agama.
Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi
tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat
bulan terakhir pertama. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak, bahkan jika
dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya
setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak
mengenai Islam.
Fenomena menarik lainnya adalah peningkatan jumlah orang yang memeluk agama
Islam sejak 11 September 2001. Sebelum 11 September, biasanya ada enam ribu
orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya
meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja. Sebagian besar yang
tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul
keturunan Spanyol, dan warga kulit putih.
Setelah 9/11, ada yang tidak diketahui oleh Amerika. Tiba-tiba saja, Islam
menjadi satu-satunya agama yang mengalami perkembangan paling pesat di negeri
itu. Bahkan menurut Washington Times, pada 2010, umat Islam
diperkirakan melampaui jumlah kaum Yahudi. Sementara pemerintah Amerika terus
membom negeri-negeri Muslim untuk mencari teroris 9/11, di rumahnya sendiri
Islam tumbuh bagai jamur di musim penghujan.
Sumber: skp.unair/moeflich
Tidak ada komentar:
Posting Komentar