Senin, 29 Juni 2015

YANG LUPUT DARI PERHATIAN AMERIKA PASCA 11 SEPTEMBER

Mungkin betul bahwa 11 September 2001 adalah wajah pedih rakyat Amerika. Mereka merasa luluh-lantak dihantam “teroris”—walau entah siapa dalang pemboman menara kembar WTC, namun umat Islam di dunia sudah kadung kena getah dari konspirasi ini.
P
asca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah garang. Sejak saat itu, data menunjukkan ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS pasca tragedi 9 September lalu. Sekadar perbandingan misalnya saja CAIR (Council on American-Islamic Relations), setiap tahun hanya menerima pengaduan 300-400 saja, maka setelah 9/11, ada 14 sampai 15 ribu kasus yang datang. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika Serikat terkena getah serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian.
Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedy tersebut. Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat gangguan tenor, baik secara fisik mau pun mental.

11 September diakui oleh Imam Yahya Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University. Menurut master lulusan Yordania ini, reaksi masyarakat Amerika tersebut terhitung normal mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. “Umat Islam memang sempat ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam. Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang normal. Maka bagaimana pun, kita perlu mendidik mereka,” tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.

Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah dengan komunitas warga Arab yang terbesar; sekitar 250 ribu orang di AS. “Kami amat takut. Bahkan tidak pernah menyebutkan nama Usamah bin Laden di muka umum atau pun di telepon. Kami takut jika dikira sebagai pendukungnya,” tutur Intisar Alawie (16 tahun), perempuan. “Ada beberapa teman saya yang karena ketakutan maka ia melepaskan jilbabnya, lantas mereka keluar dengan menggunakan baju pendek. Tapi menurut saya itu masalah pribadi.”
Wanita keturunan Yaman yang baru menikah ini mengakui bahwa berita mengerikan di media massa semakin menambah kekhawatiran dirinya. Namun, ketakutan tersebut ternyata makin berkurang seiring berjalannya waktu.

Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit mengakui bahwa umat Islam mengalami fase takut memberikan dana apa pun pada kegiatan Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas dibandingkan sebelum 11 September. “Mereka harus berhati-hati. Kalau pun memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka,” kata pria keturunan Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan infak yang digalang umat Islam pun berkurang.

Sebelum tragedi 11 September, jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya. Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah. “Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus saja,” jelasnya.

Di balik sejumlah kepedihan dan kepahitan mengecap hidup sebagai Muslim di AS, serangan 11 September ternyata membuahkan hikmah. Hal ini diakui oleh para tokoh Muslim di AS. Nama Islam mungkin masih terasa asing bagi sebagian besar warga AS. Hal ini terungkap saat American Muslim Council (AMC) melakukan wawancara yang direkam melalui video. “Islam? Saya tidak tahu,” kata seorang pria sambil tersenyum. Sedangkan seorang pria menjawab, “Setahu saya, Islam adalah agamanya orang Israel!”

Banyak yang mengakui bahwa sebelumnya Islam diakui sebagai agama yang masih asing di mata masyarakat AS. Sejak tragedi 11 September 2001, mereka seolah baru menyadari keberadaan agama ini di lingkungan mereka. Buku-buku tentang Islam banyak terjual di mana-mana. Orang memburunya. Tapi tentu saja ada sisi positif dan sisi negatif dari semua perkembangan ini.

Tingginya minat terhadap Islam setelah tragedi 11 September diakui pula oleh Direktur Eksekutif Council on American-Islamic Relation (CAIR), Dr Nihad Awad. “Buku yang paling laris dijual saat itu adalah buku tentang Islam, termasuk Al Quran. Ini menarik sekali. Untuk pertama kalinya ribuan warga Amerika menginjakkan kaki di masjid. Mereka lebih tertarik untuk mengetahui Islam, namun sayangnya mereka banyak di kelilingi oleh opini media,” kata Awad.

Imam Syamsi Ali dari Masjid Al Hikmah di Queens, New York, memiliki pengalaman unik. Pria kelahiran Indonesia ini adalah satu-satunya ulama Islam yang ditunjuk mewakili umat Islam dalam acara doa bersama yang digelar di stallion Yankee, New York, beberapa hari setelah tragedi terjadi. “Sejak serangan 11 September, kami jadi lebih banyak diundang oleh berbagai pihak untuk berbicara soal Islam. Namun dari sebelumnya pun, kami memang sudah sering diundang oleh lembaga-lembaga seperti Kepolisian New York untuk berceramah mengenai apa itu Islam, misalnya menjelang Ramadhan. Mereka ingin tahu mengenai Ramadhan dan apa saja yang bisa dilakukan atau tidak boleh dilakukan orang Islam di bulan tersebut,” papar master lulusan Pakistan, untuk bidang perbandingan agama.

Sementara Imam Yahya Hendi menyebutkan, salah satu hikmah di balik tragedi tersebut adalah banyaknya berita tentang Islam di sejumlah media, dalam empat bulan terakhir pertama. “Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak, bahkan jika dibandingkan sejak bangsa ini (AS) berdiri 200 tahun yang lalu,” tuturnya setengah bergurau. “Kini banyak orang Amerika yang ingin tahu lebih banyak mengenai Islam.
Fenomena menarik lainnya adalah peningkatan jumlah orang yang memeluk agama Islam sejak 11 September 2001. Sebelum 11 September, biasanya ada enam ribu orang yang masuk Islam setiap tahunnya. Setelah tragedi itu, kini jumlahnya meningkat jadi 20 ribuan clalam waktu beberapa bulan saja. Sebagian besar yang tertarik menjadi Muslim adalah warga kulit hitam asal Afrika, menyusul keturunan Spanyol, dan warga kulit putih.

Setelah 9/11, ada yang tidak diketahui oleh Amerika. Tiba-tiba saja, Islam menjadi satu-satunya agama yang mengalami perkembangan paling pesat di negeri itu. Bahkan menurut Washington Times, pada 2010, umat Islam diperkirakan melampaui jumlah kaum Yahudi. Sementara pemerintah Amerika terus membom negeri-negeri Muslim untuk mencari teroris 9/11, di rumahnya sendiri Islam tumbuh bagai jamur di musim penghujan.

Sumber: skp.unair/moeflich

Tidak ada komentar:

Posting Komentar