Selasa, 20 Oktober 2009

SEKILAS "HAFALAN SHALAT DELISA"


Adalah Rara. Panggilan singkat nama anak sulung sahabat lama saya, Tari, nun jauh di kota Jambi, yang membuat saya terinspirasi untuk menyelesaikan bacaan Novel religius ‘’Hafalan Shalat Delisa’’ beberapa hari yang lalu.
Suatu hari Tari, melalui telefon, mengisahkan tentang anak sulungnya, Rara, yang hobbi sekali membaca dan menulis. Suka menulis puisi, juga suka menulis cerita disamping suka membaca kisah-kisah Islami. Salah satu bacaannya adalah Novel karya Tere Liye yaitu ‘’Hafalan Shalat Delisa’’. Lebih istimewa lagi, buku novel tersebut dibeli memakai uang Rara pribadi, hadiah sebagai Juara III Lomba Baca Puisi tingkat pelajar se Kota Jambi, beberapa waktu yang lalu. Sebagai seorang sahabat, yang kebetulan juga suka membaca karya sastra, saya sangat mengapresiasi kisah anak sahabat saya ini. Saya berpikir, bahwa anak ini pasti punya bakat dibidang sastra. Apakah itu sebagai penulis puisi ataupun menulis apa saja, yang berhubungan dengan dunia sastra. Nah, dalam beberapa kesempatan saya mendorong sahabat saya, Tari, agar memberi keleluasaan pada puterinya untuk mengembangkan bakatnya tersebut, dengan cara yang tepat. Karena tugas kita sebagai orang tua, hanya mengarahkannya dengan benar. Seperti kata Kahlil Gibran, ‘’anakmu adalah anak panah, sementara kamu adalah busurnya. Tugasmu adalah membidik dengan tepat agar anak panah melesat sesuai dengan jalurnya’’......

Kembali ke soal Rara. Sejak minggu lalu kami mulai berkomunikasi via email dan sms. Dekat dan karib. Hubungan kami seperti seorang paman dengan keponakan. Padahal saya sesungguhnya tidak akrab dengannya, kecuali beberapa kali ketemu saat dia masih berumur 6 atau 7 tahun, saat saya masih berdomisili di Jambi, dulu. Namun dari cerita bundanya, saya tentu bisa membayangkan sosoknya sekarang. Tidak terlalu sulit, karena saya juga punya beberapa keponakan cewek yang seumur dengannya. Namun terlepas dari alasan di atas, yang pasti, karena terinspirasi gadis 13 tahun inilah, saya kemudian menghabiskan bacaan‘’Hafalan Shalat Delisa’’ dua hari kemudian. Padahal saya sudah meninggalkan bacaan Novel tersebut sejak dua bulan lalu, setelah membaca seperempat –nya saja. Karena Rara, tiba-tiba saja ada keinginan kuat dari diri saya untuk meneruskan tiga perempatnya lagi. Terima kasih, Rara.

Di atas sudah saya kisahkan sedikit tentang Rara, mari kita lanjutkan tentang Novel ‘’Hafalan Shalat Delisa’’..... Menurut saya, ini merupakan novel yang hebat! Bukan hanya menceritakan sosok gadis kecil Delisa ataupun keluarga Abi Usman secara sempit, namun juga cukup untuk menggambarkan kondisi Aceh, sebelum dan pasca bencana gempa dan tsunami, khususnya di Lhoknga, sebuah kawasan di pinggiran kota Banda Aceh. Dan membaca novel ini, saya meyakininya sebagai kisah sejati (true story), walaupun nama-nama tokohnya adalah hasil imajinasi Tere Liye.

Sebagai orang Aceh yang tinggal di Aceh, saya tidak heran lagi dengan kisah seperti yang dialami keluarga Delisa. Bukan bermaksud meremehkan, kisah Abi Usman dan keluarganya tidaklah istimewa. Karena ratusan keluarga lainnya juga mengalami nasib yang sama seperti yang keluarga Abi Usman alami, yaitu digulung tsunami kemudian dengan kebesaran Allah SWT, diantara anggota keluarga ada yang selamat. Tidak tau bagaiamana jalan bisa selamat. Yang sangat istimewa dari novel ini adalah gaya penulisan dan tata bahasa serta penggambaran (latar) tempat kejadian disusun dengan baik oleh Tere Liye, sehingga mebuat para pembaca menjadi haru biru, mengenang sosok Delisa, gadis kecil yang pintar dan cantik dari Lhoknga. Apalagi bagi saya, sebagai orang Aceh yang beberapa anggota keluarga (famili jauh) dan sahabat dekat, juga menjadi korban tsunami. Membaca novel ini membuat saya terbayang pada saat saya ke Banda Aceh mencari keluarga yang hilang, mulai hari kedua setelah bencana, yaitu tanggal 27 Desember 2004 lalu. Dan membuat saya menerawang jauh, membuka memori lama, bagaimana suasana Banda Aceh dan juga Lhoknga, setelah tsunami. Dan tentu saja bisa memperkokoh iman, dengan mengingat betapa Maha Besar Allah SWT, bisa melakukan apa saja, termasuk bila ingin memberi peringatan pada ummat manusia dengan menghancurkan bumi dalam hitungan menit saja.

Apakah anda sudah membaca novel ini ? Kalau belum, saya sarankan agar anda meluangkan sedikit waktu untuk membaca kisah Delisa tersebut. Saya bukan bermaksud mempromosikan agar buku ini laku atau menyampaikan pesan sponsor. Adalah layak bagi kita untuk membaca dan memberi penghargaan pada Tere Liye sekaligus mengambil hikmah dari cerita/kisah keluarga Abi Usman dengan Delisa kecilnya. Namun pada kesempatan ini saya ingin sedikit menggambarkan secara ringkas saja.

Adalah Abi Usman, seorang lelaki Aceh yang bekerja sebagai pelaut pada kapal tanker asing. Sesuai dengan pekerjaannya, tentu saja hari-harinya dihabiskan di laut, dan mendapat cuti, tiga bulan sekali untuk menemani kelaurganya di Lhoknga, pinggiran Kota Banda Aceh. Untuk menjaga dan mendidik beberapa buah hatinya, dia mempunyai seorang isteri bernama Salamah, perempuan shalihah yang mendedikasikan hidup sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga.

Abi Usman mempunyai 4 orang anak, semuanya perempuan. Yang sulung adalah Fatimah, 16 tahun, kelas I MAN Lhoknga. Selanjutnya anak kembar, Zahra dan Aisyah yang berumur 12 tahun, kelas I MTsN Lhoknga, dan si bungsu, Delisa yang berumur 6 tahun. Fatimah merupakan remaja puteri yang rajin mengaji, suka membaca, pintar dan bisa mengayomi adik-adiknya. Sering terlibat diskusi dengan ayah maupun umminya, tidak hanya terkait dengan pelajaran sekolah, tapi juga berbagai persoalan lainnya. Dia juga bisa menjadi mitra umminya dalam mendidik adik-adik. Zahra adalah tipikal gadis tanggung yang pendiam, namun pintar dan penuh perhitungan. Sementara Aisyah, wataknya kebalikan dari Zahra, bagai siang dengan malam. Dia merupakan gadis yang periang, agak sedikit jahil, selalu suka mengganggu dana mencandai berlebihan adiknya, Delisa. Namun Aisyah tetaplah seorang yang rajin mengaji dan pintar di sekolah. Delisa, yang merupakan tokoh sentral dalam cerita novel ini, adalah si bungsu yang menjadi kesayangan keluarga. Dia adalah gadis kecil yang cantik, kulitnya putih bersih agak sedikit kemerah-merahan, matanya hijau, rambutnya ikal agak sedikit pirang, layaknya perpaduan Timur dengan Barat. Sifatnya agak sedikit cerewet dan suka bertanya, serta suka bergaul dengan anak lelaki sebayanya daripada bergaul dengan sesama perempuan. Main bola adalah kesukaannya. Dia juga cerdas seperti kakak-kakaknya.

Suatu hari, Ummi (mereka memanggil ummi untuk ibunya, Salamah), berjanji akan memberikan sebuah kalung kepada Delisa apabila dia bisa menyelesaikan dengan benar hafalan shalatnya. Janji ummi itu membuat semangat nya luar biasa, sehingga dia menghafal siang malam. Tapi entah kenapa hafalan shalatnya sangat susah dilakukan padahal dia adalah anak yang sangat pintar. Namun walaupun agak susah, dia tidak berhenti menghafal. Tentu saja motivasinya adalah kalung yang dijanjikan ummi-nya. Sampai beberapa waktu kemudian, hafalan shalat Delisa hampir sempurna.

Tanggal 26 Desember 2004. Siapapun orang Aceh pasti tidak akan melupakannya. Minggu pagi yang cerah tiba-tiba bumi bergoyang, gempa dahsyat, kemudian air laut di pantai surut sampai 500 meter, membuat pantai semakin luas, ikan-ikan nampak seperti di kolam yang sedang panen. Ratusan orang yang sedang menikmati indahnya pantai, berlarian ke laut yang landai untuk mengutip ikan-ikan yang menggelepar karena ditinggalkan air laut yang surut. Pada saat yang sama, di sebuah sekolah, tepatnya MIN Lhoknga, Ibu Guru Nur sedang mengajarkan praktek shalat sekaligus ujian bagi anak asuhannya, termasuk Delisa. Sengaja dibuat hari Minggu, agar suasana lebih rileks. Namun tak satupun dari mereka yang tau bahwa pada saat mereka melaksanakan praktek shalat itu, Allah SWT sudah punya rencana lain yaitu bencana gempa dan tsunami. Tepat ketika giliran Delisa, bumi goncang, air laut naik ke darat bergulung-gulung menghanyutkan semuanya, bangunan sekolah, rumah-rumah kokoh serta penghuninya. Ibu Guru Nur dan anak-anak asuhannya tercerai berai entah kemana, di bawa tsunami.

Dari korban yang selamat, ternyata Delisa salah seorang diantaranya. Tubuhnya terseret sejauh 4 kilometer dan terdampar di kaki bukit Lhoknga. Beberapa saat kemudian dia ditemukan oleh salah seorang US Army yang menjadi relawan tsunami, bernama Smith. Pada saat bersamaan ayah Delisa, Abi Usman, hatinya sangat resah di tengah laut lepas, bersama armada tankernya. Dia akhirnya mengetahui bencana tsunami di Aceh dan segera diizinkan pulang.

Dia pulang dengan harapan menemukan keluarganya tidak ada yang menjadi korban tsunami. Tapi apa mau dikata, melihat Banda Aceh termasuk kampung halamannya Lhoknga sudah rata dengan tanah. Dia tidak menemukan apa-apa, kecuali jejak rumahnya yang tinggal lantainya saja. Dalam kesedihan yang panjang, dia tidak putus asa dan masih terus berusaha mencari anggota keluarganya. Sementara Delisa sudah dirawat di Rumah Sakit Kapal Induk Amerika di lepas pantai Aceh, kakinya terpaksa diamputasi.
Tibalah saatnya Abi Usman menuai berita baik. Daftar nama-nama korban yang dirawat di kapal induk dikirim ke barak Marinir di Lhoknga, dan Abi Usman menemukan nama Delisa disana. Dia tak sabar menanti untuk segera bertemu anak bungsunya. Smith, yang telah berganti nama menjadi Salam, karena mengucapkan dua kalimah syahadat 3 hari setelah menemukan Delisa, menjadi perantara yang mempertemukan Abi dengan Delisa. Walaupun isterinya dan anak-anaknya yang lain belum ditemukan (akhirnya memang tidak ditemukan), dengan mendapati Delisa masih hidup sudah cukup menghibur perasaannya sebagai seorang ayah dan seorang seorang suami yang kehilangan keluarga. Alhamdulillah..........

Episode selanjutnya adalah ketika Delisa sudah sembuh dan diizinkan pulang, Abi mulai merajut kembali kehidupan di Lhoknga. Dia memutuskan tidak lagi bekerja di kapal. Dia ingin menjadi ayah sekaligus Ibu bagi anak satu-satunya yang tertinggal. Perlahan dia mulai lagi kehidupan. Pada bekas rumahnya, yang tinggal lantainya saja, dia bangun kembali rumah sangat sederhana, dibantu tentara Amerika yang sudah akrab dengannya. Sebagian diantaranya beragama Islam, termasuk Salam. Abi Usman sangat berterima kasih, dan jasa mereka tidak sanggup dibalas.

Delisa, dengan kakinya sebelah yang sudah diamputasi, tetap dengan keceriaannya. Ia tetap anak yang periang dan cerdas. Tidak ada yang berubah pada sifatnya, kecuali sekarang ia nampak lebih dewasa daripada sebelumnya. Ia sudah bisa membantu Abi-nya dalam hal-hal pekerjaan rumah yang ringan. Nampak sekali, ia bukan Delisa anak bungsu ummi Salamah maupun adik bungsu kakak-kakaknya. Bersama dengan beberapa rekannya yang selamat, ia melanjutkan sekolah kembali di Lhoknga. Pada kesempatan yang lain, ia meneruskan hafalan shalatnya yang terputus saat tsunami. Walaupun kadang-kadang masih memimpikan kedatangan ummi dan kakak-kakaknya, namun Delisa telah menjadi anak yang sabar, giat belajar dan menjadi contoh teladan orang sekelilingnya.

Begitulah, ringkas cerita tentang Delisa. Saya berharap dengan membaca novel ini, membawa kita kembali mengingat kebesaran Allah SWT dan menjadi salah satu langkah menuju perbaikan iman ke arah yang lebih baik. Terima kasih Rara, semoga juga cerita di atas berguna untukmu, dan semoga saja suatu saat kamu adalah Tere Liye yang lain.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan

1 komentar:

  1. weeeehehehehe,,,
    crita tentang kaminya mah berlebihan ommm,.
    wkkwkw,,,
    tp stuju sama crita delisax,,,
    yeeaaah,,, amiin,,

    BalasHapus