Oleh: Mukhlis Aminullah, Pemerhati Objek Kebudayaan
Aroma khas Gulee Pliek, masakan tradisional Aceh yang menggugah selera, mulai jarang tercium di dapur perantauan maupun rumah-rumah di kampung halaman. Salah satu penyebabnya adalah kian langkanya Pliek U atau Patarana, bumbu fermentasi khas Aceh, yang kini nyaris tak lagi mudah ditemukan di pasaran.
Safriana (52), perempuan asal Aceh Utara yang telah menetap di Malaysia selama 32 tahun, mengeluh tidak lagi mendapatkan kiriman Pliek U dari keluarganya di kampung. Melalui pesan WhatsApp, ia bercerita bahwa meski telah menikah dengan warga asing dan hidup di luar negeri, Gulee Pliek tetap menjadi hidangan favorit keluarganya.
"Beberapa bulan terakhir, aroma khas Pliek U hampir tak lagi hadir di dapur kami. Kiriman dari kampung tak datang, dan di Malaysia tidak ada yang menjualnya," ungkapnya.
Menelusuri Jejak Pliek U di Jangka
Tergerak oleh kisah tersebut, penulis mencoba menelusuri sumber produksi Pliek U di kawasan Jangka, Kabupaten Bireuen — salah satu sentra pembuatan bumbu khas ini. Bersama Amiruddin, warga lokal, dan atas arahan tokoh masyarakat Johan Marzuki, ST, penulis mendatangi beberapa yang masih bertahan memproduksi Pliek U, Sabtu sore (5/7/2025).
Di salah satu sudut kampung, penulis bertemu Nenek Maimunah (74), sosok yang telah mengolah kelapa tua menjadi Pliek U sejak remaja. Baginya, memproduksi Pliek U bukan hanya mata pencaharian, tapi juga amanah budaya.
“Butuh waktu 11 sampai 12 hari untuk satu produksi. Semakin lama fermentasi, semakin sedap hasilnya. Tak bisa asal cepat, karena rasanya akan hambar atau malah gagal,” jelasnya dengan bahasa Aceh khas.
Untuk menghasilkan 1 hingga 2 kilogram Pliek U, prosesnya cukup panjang: mulai dari memilih kelapa tua terbaik, memarut dan menjemur ampasnya berhari-hari, hingga proses fermentasi dalam kendi tanah selama lebih dari seminggu.
“Kalau salah proses, bisa busuk. Harus sabar dan telaten,” tambahnya.
Namun, ketika penulis hendak membeli 2 kilogram Pliek U, Maimunah mengaku stoknya telah habis. Saat ini, ia hanya melayani pesanan terbatas karena bahan baku dan tenaga mulai sulit didapatkan.
“Harga kelapa sekarang tinggi, kami kekurangan modal untuk produksi besar. Lagipula, tenaga kerja tidak ada lagi. Anak-anak muda tak tertarik,” keluhnya.
Produksi Rumah Tangga Kian Berkurang
Penulis juga sempat mampir ke rumah Nazar (68), tokoh masyarakat Jangka. Ia mengisahkan masa kecilnya saat hampir setiap rumah tangga memproduksi Pliek U. Kini, hanya segelintir yang masih bertahan.
“Dulu kampung ini kaya aroma Pliek U. Sekarang berkurang,” katanya mengenang.
Rasa penasaran membawa penulis ke Pasar Induk Cureh, Kota Juang, sekitar 18 km dari Jangka. Sebagai pusat distribusi bahan pokok Bireuen, pasar ini semestinya menjadi tempat mudah untuk menemukan Pliek U. Namun, realitanya berkata lain.
“Kami sangat sulit mendapatkan pasokan Pliek U sekarang. Kalau pun ada, cepat habis. Hanya satu dua pengrajin yang masih mau membuatnya,” ujar Kak Ani, salah satu pedagang bumbu di pasar tersebut.
Menurutnya, permintaan tetap ada, terutama dari pelanggan yang setia memasak dengan resep turun-temurun. Namun, ketersediaan sangat terbatas karena minimnya produksi.
Kekhawatiran Masyarakat
Kondisi ini tidak hanya dikeluhkan oleh warga perantauan seperti Safriana di Malaysia, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat lokal.
Fadhilah Adam (49), guru MAN 2 Bireuen yang juga pecinta kuliner tradisional, menyebut Pliek U sebagai warisan budaya yang terancam punah. Ia menilai perlu ada langkah konkret untuk menyelamatkan keberadaan bumbu khas Aceh ini.
“Pliek U bukan hanya memanjakan lidah. Ia simbol kekayaan budaya dan kearifan lokal. Kalau kita berhenti merawatnya, kita kehilangan bagian penting dari identitas Aceh,” ungkapnya.
Fadhilah mengusulkan agar pihak terkait, termasuk Kementerian Kebudayaan, turut turun tangan melalui program pembinaan, pelatihan, dan dokumentasi.
Pentingnya Dokumentasi dan Regenerasi
Sebagai pemerhati kebudayaan, penulis mendorong adanya upaya pelestarian secara sistematis — mulai dari pendataan pengrajin aktif, pelatihan pembuatan untuk generasi muda, hingga penerbitan buku dokumenter tentang Pliek U. Buku ini nantinya dapat menjadi media edukasi, promosi, dan inspirasi untuk menumbuhkan kembali kecintaan terhadap kuliner tradisional Aceh.
Saat ini, Pliek U bukan sekadar bumbu dapur. Ia adalah simbol dari kegelisahan kolektif terhadap lunturnya jejak-jejak budaya dalam arus zaman yang terus bergerak. Jika tidak diselamatkan, bisa jadi Pliek U hanya akan dikenang sebagai cerita masa lalu — atau lebih buruk, menjadi lelucon generasi mendatang.
Tulisan ini sudah dimuat di media kabardaily.com
https://kabardaily.com/pliek-u-makin-langka-di-pasaran-produksi-terbatas-ancam-kelestarian-bumbu-masakan-tradisional-khas-aceh/#google_vignette
Tidak ada komentar:
Posting Komentar