Perilaku
sebagian politikus di negeri ini semakin hari kian mencengangkan.
Bagaimana tidak, terseretnya sejumlah tokoh politik dalam berbagai kasus
korupsi padahal selama ini dipercaya sebagai sosok yang jujur, cerdas,
alim dan santun, telah membalikkan anggapan positif tentang kredibilitas
para politikus.
Apalagi kalau yang terseret kasus korupsi itu adalah politikus juga wakil
rakyat duduk di DPR/DPRD maupun DPD RI, tentu sangat menyakitkan
sanubari publik. Sebab kasus tersebut telah menyobek kesadaran publik,
bahwa para wakil rakyat sudah bukan orang-orang kepercayaan rakyat lagi.
Melainkan mereka yang bekerja untuk meraih visi dan misi pribadi,
segala perbuatannya bukan untuk mewakili aspirasi publik.
Ada
semacam kredo yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik
itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan
disebut sebagai proses transaksional. Artinya, ada tukar-menukar jasa
dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang
diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin
banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan
kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.
Di
masa kampanye, para politikus mengeluarkan banyak dana untuk membiayai
kegiatan tersebut. Dalam logika bisnis, modal yang sudah dikeluarkan
tersebut harus kembali puluh atau minimal impas. Padahal besarnya gaji
bulanan yang disediakan ayai diberikan oleh negara kepada para politikus
yang menduduki berbagai jabatan legislatif, eksekutif maupun yudikatif
belum tentu mampu mengembalikan besarnya modal yang pernah dihabiskan
untuk membiayai dana kampanye.
Nafsu korupsi, menjadi jalan
pintas yang bisa menjebak bagi para politikus untuk mengembalikan atau
mencari keuntungan setinggi-tingginya dalam jangka waktu singkat. Dalam
konteks politik transaksional tersebut, partai politik sekadar menjadi
jembatan politik yang bisa mengantarkan para politikus meraih berbagai
jabatan publik yang diperebutkan secara bebas dan demokratis.
Nalarnya, politikus yang memiliki modal finansial yang kuat, akan
dilirik oleh partai politik. Kendati pun ada faktor-faktor lain yang
cukup berpengaruh pada kesuksesan seorang politikus memenangi
pertarungan pemilu maupun pilkada. Misalkan dukungan massa dan relasinya
dengan media massa, popularitas, dan bahkan keberuntungan (nasib).
Dalam kamus politik, empat faktor di atas menjadi daya tarik yang
diperebutkan oleh para politikus. Dukungan massa dan relasinya dengan
media massa, popularitas, keberuntungan (nasib) dan besarnya modal
finansial menjadi powerfull yang mendukung eksistensi seorang politikus.
Melalui penguasaan empat hal di atas, bisa mendongkrak rapor
keterpilihan seorang politikus menjadi sang pemenang dalam berbagai
pesta demokrasi.
Meraih Kekuasaan
Berdasarkan hasil
pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang
notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik
bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan
ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan
politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi
ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis
menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan
mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan
kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya
dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.
Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut
memengaruhi jalannya kehidupan politik di Tanah Air. Sehingga
menyebabkan para politikus berpikir praktis dan menyederhanakan segala
tujuan demi memenuhi ambisi untuk berkuasa. Di Indonesia profesi sebagai
pejabat yang duduk di berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif masih menarik minat banyak orang. Setidaknya bagi mereka yang
kini aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.
Politik
transaksional memang bisa memuluskan ambisi para politikus menduduki
berbagai jabatan mentereng. Akan tetapi itu bisa mengakibatkan buruknya
kualitas moral para politikus itu sendiri, sebab mereka berpikir bahwa
dengan bermodalkan uang yang cukup besar bisa memuluskan karier politik
mereka.
oleh
Supadiyanto
dimuat di SUARA KARYA 27 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar