Senin, 17 Februari 2014

WILAYAH "RAWAN" KORUPSI DALAM PEMILU

Secara umum ada tiga wilayah yang "rawan" korupsi, sehingga potensial menyebabkan terjadinya kecurangan dan pelanggaran perundangan pemilu, yaitu antara lain sebagai berikut:

Pertama, sebagian pejabat negara dan kepala pemerintahan di daerah adalah orang partai yang notabene peserta pemilu, atau setidaknya, pihak yang mempunyai afiliasi dan kedekatan politik tertentu yang berkaitan dengan posisi dan jabatannya. Pejabat negara tersebut mempunyai potensi untuk menggunakan sumber daya yang didasarkan pada jabatan publiknya untuk kepentingan sang peserta pemilu.

Pada level yang paling konvensional, tindakan pejabat negara dimaksud hanya berupa penggunaan atau pemberian sarana dan kesempatan atas fasilitas negara, seolah-olah untuk kepentingan publik. Misalnya saja penggunaan aset pemerintahan, dan melakukan perjalanan dinas yang menggunakan uang negara tapi dipakai untuk melakukan konsolidasi partai sebagai peserta pemilu.

Di dalam tingkat yang lebih "advanced", kewenangan publik yang dimiliki pejabat negara dan kepala pemerintahan digunakan untuk mendapatkan "rente" ekonomi dan politik dari pihak ketiga. Misalnya, mengkapitalisasi kewenangan yang berkaitan dengan perizinan untuk mendapatkan "sumbangan dana" atau memberikan "privilege" dengan kompensasi tertentu bila berpihak atau menjadi bagian dari partainya si pejabat negara atau kepala pemerintahan tersebut.

Kedua, penyusunan anggaran pada instansi teknis, departemen, ataupun APBD/ APBN, serta pelaksanaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD pada akhir tahun mata anggaran rawan untuk dimanipulasi. Kepala daerah, melalui bank milik daerah atau kalangan profesional, dapat "menggunakan" dana APBD melalui permainan di "pasar uang" yang hasilnya disumbangkan kepada partai peserta pemilu. Hal serupa juga potensial terjadi pada BUMN dan BUMD. Fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan parlemen juga akan melemah, karena sebagian anggota parlemen juga punya kepentingan untuk mengkapitalisasi dana agar konsolidasi sumber daya yang dilakukan partai peserta pemilu dengan "eksploitasi" sumber keuangan negara melalui kewenangan publik dapat dilakukan. Misalnya, melaksanakan proyek mercusuar dan/atau konversi program bantuan sosial yang akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.

Ketiga, penyelenggara pemilu menyiasati proses pengadaan barang melalui tender "kolusif" atau penunjukan langsung dengan alasan situasi "darurat" dalam melaksanakan tahapan pemilu. Dana pemilu yang diberikan penyelenggara pemilu untuk membiayai pemilu parlemen dan pemilihan presiden, pelaksanaannya dapat saja berimpitan dengan pilkada kepala pemerintahan. Biasanya, keterlambatan pengeluaran dana dan adanya tahapan yang menumpuk dalam pelaksanaan tahapan pemilu pilkada, pemilihan presiden, dan pemilihan parlemen menyebabkan kontrol menjadi terbatas dan sekaligus membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan tahapan pemilu.

Bambang Widjojanto
ICW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar