Jika
demokrasi dikiaskan sebagai satu wilayah, demokrasi Indonesia memiliki
dua jenis penduduk: imigran dan pemukim asli (native) demokrasi. Saya
sengaja menyebut imigran lebih dulu karena dari segi usia dan generasi,
imigran demokrasi lebih tua dan lebih dulu ada dari para pemukim yaitu
sejak sebelum Indonesia menjadi teritori demokrasi.
Indonesia menjadi teritori demokrasi sejak
Reformasi 1998. Walau masih banyak kekurangan di sana-sini, paling
tidak kita sudah memenuhi kaidah-kaidah demokrasi dasar dan prosedural.
Sambil jalan, kita terus memperbaiki demokrasi di Indonesia untuk
memenuhi substansi demokrasi yaitu cara partisipatif rakyat dalam
mewujudkan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera. Dalam beberapa
kesempatan saya mengintroduksi istilah “gelombang ketiga” dalam sejarah
Indonesia.
Saya menganalogikan perjalanan sejarah terjadi
dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi sejak penjajahan
hingga kita merdeka. Gelombang ini saya sebut sebagai fase “menjadi
Indonesia”, di mana kita menemukan jati diri kita sebagai bangsa dan
kemudian negara melalui dua tonggak sejarah besar, Sumpah Pemuda 1928
dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Gelombang kedua berlangsung
sejak merdeka hingga 2014, di mana kita bergulat “menjadi negara-bangsa
modern”. Gelombang ini diwarnai dengan usaha mencari sistem ekonomi dan
politik yang sesuai sejarah dan budaya bangsa.
Selama lebih
dari 60 tahun kita membongkar-pasang berbagai sistem ekonomi, politik,
sosial, dan sebagainya hingga menemukan sintesisnya pada Era Reformasi.
Pada 2014 menjadi garis batas karena tahun ini “ujian akhir semester”
demokrasi prosedural pasca-Reformasi. Kita sudah mengalami satu masa
kepresidenan yang dihasilkan oleh pemilihan langsung.
Satu
dasawarsa yang terdiri atas dua periode kepresidenan yang terus berjalan
di dalam koridor prosedur demokrasi, dalam arti tanpa ancaman
nondemokratis yang signifikan— seperti kudeta atau usaha penggulingan di
tengah jalan lainnya—adalah pencapaian dalam praktik demokrasi yang
patut kita apresiasi bersama. Gelombang ketiga terjadi sejak 2014 ke
depan. Saya belum punya nama karena gelombang ini sedang terjadi dan
kita sedang menghirup semangat zaman (zeitgeist) gelombang ini.
Satu fenomena khas dari gelombang ketiga ini adalah kelahiran kelompok
“native democracy” atau pemukim demokrasi. (Mungkin dari segi tata
bahasa Inggris kurang tepat, saya mohon maaf dan mohon masukan). Tapi,
esensinya, kini lahir satu generasi yang hanya mengenal demokrasi
sebagai sistem dan cara hidup sejak mereka cukup dewasa dalam melihat
lingkungan sekitar. Coba amati. Pemilih pemula pada Pemilu 2014 adalah
mereka yang lahir pada rentang 1992-1997.
Ketika sekolah dasar
mereka menyaksikan krisis moneter dan gerakan Reformasi. Gambar yang
terbayang di benak adalah Gedung DPR di Senayan diduduki mahasiswa dan
Jakarta terbakar oleh kerusuhan. Lalu mereka tumbuh remaja dengan
menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, dan
kebebasan berpendapat hampir di mana saja.
Mereka tidak
memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana
pers dibungkam, partai politik dibonsai, dan pemilu semata menjadi
“pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya. Kelompok
pemukim demokrasi ini berbeda dengan “kakaknya” yang lahir pada awal
Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970-an) yang mengalami hidup di era
Orde Baru. Karena itu, sang kakak—dan generasi sebelumnya— saya sebut
sebagai “imigran demokrasi”, yang berpindah dari teritori suasana
otoritarian ke alam demokrasi dengan membawa rekaman suasana mencekam di
era Orde Baru.
Saya gemar menggunakan analogi telepon seluler
dalam menggambarkan kelahiran “native democracy” ini. Bagi generasi
tua, mereka menyaksikan dan mengalami sendiri perubahan dari rumah tanpa
listrik menjadi ada listrik, menggunakan telepon putar dengan jaringan
kabel di rumah, penyeranta (pager), hingga telepon seluler. Mereka
bermigrasi dari satu tahapan teknologi ke tahapan teknologi berikutnya,
berikut perubahan gaya hidup yang menyertainya.
Mereka saya
sebut sebagai “imigran teknologi”. Ketika smartphone datang, mereka
mampu membelinya, tetapi hanya menggunakan fitur-fitur dasar sesuai
referensi pengalamannya. Smartphone itu kebanyakan hanya digunakan untuk
bertelepon, pesan pendek (SMS) dan sesekali berfoto. Lihat bedanya
dengan anak sekarang. Mereka lahir dan tumbuh ketika smartphone hadir.
Bagi mereka, smartphone adalah sesuatu yang biasa dan fitur-fitur
canggih di dalamnya adalah keharusan, mulai dari chatting, social media,
e-mail, hingga fitur yang rumit seperti internet banking.
Merekalah “native technology” yang dengan lancar menguasai perkembangan
teknologi sebagaimana mereka berbicara dalam bahasa ibu. “Native
democracy” juga demikian. Mereka lahir ketika demokrasi ini tumbuh dan
mulai menguasai fitur-fitur demokrasi yang rumit sementara generasi tua
masih berkutat pada fitur-fitur dasar demokrasi. Fitur dasar ini yang
sebelumnya saya sebut sebagai demokrasi prosedural.
Pemilihan
umum yang bebas, pembatasan masa kekuasaan, pemisahan kekuasaan melalui
trias politica, yang merupakan “prestasi” dari proses demokratisasi yang
panjang bagi generasi tua, dianggap hal biasa oleh generasi muda.
Mereka sudah masuk ke penguasaan fitur-fitur rumit seperti perlindungan
kaum minoritas, partisipasi individu dalam gerakan sosial, hingga
keadilan global.
Ideologi dan Kepemimpinan
Dalam
konteks ideologi, ahli politik Inggris Robert Corfe dalam The Future of
Politics (2010) menyebut kelompok ini sebagai middle-middle majority
(mayoritas tengah-tengah). Mereka berada di tengah dalam konteks
sosio-ekonomi dan spektrum ideologi. Karena tidak ada lagi konflik
politik ideologi yang bipolar, generasi ini percaya diri untuk
menyuarakan isu-isu secara objektif dan berani. Mereka sudah melampaui
cara berpikir dalam kungkungan kepentingan kelas bahkan melampaui batas
negara-bangsa.
Kebajikan yang paling utama bagi kelompok
tengah-tengah ini adalah keadilan sosial, kesempatan yang sama, dan
kesetaraan. Kelompok baru ini membangun nilai etis baru sebagai
konsekuensi dari perubahan yang mereka alami. Bagi mereka, mengejar
kesuksesan dan melakukan akumulasi finansial adalah kebajikan karena
dalam mengejar kesuksesan dan kekayaan itu mereka tidak mengorbankan
individu atau bagian lain dari masyarakat.
Di sisi politik,
mereka yang hanya paham fitur dasar demokrasi akan tergagap-gagap
berdialog dengan mereka yang sangat lancar menguasai fiturfitur yang
advance. Kelompok ini membutuhkan pendekatan kepemimpinan baru yang
mampu memberdayakan mereka di tengah situasi ketidakpastian. Karena itu,
komunikasi politik ke depan tidak bisa lagi bertumpu pada penjejalan
ideologi sebagai cara pandang terhadap dunia yang rigid, tapi juga tidak
terjebak pada sikap asal menyenangkan publik alias populisme.
Pemimpin para native democracy di gelombang ketiga adalah perpaduan
antara penggugah visioner dan eksekutor andal dalam menyelesaikan
(deliver) agenda-agenda publik yang telah disepakati. Dalam konteks
tersebut, Pemilu 2014 punya arti penting karena peristiwa itu bukan saja
menjadi momentum peralihan kekuasaan, melainkan juga momentum peralihan
gelombang sejarah Indonesia. Gelombang demi gelombang sejarah telah
kita lalui dan meninggalkan endapan berharga bagi perjalanan kita
sebagai negara-bangsa. Gelombang ketiga adalah momentum berharga bagi
Indonesia menuju kemajuan.
oleh Ustadz Anis Matta
dimuat HARIAN SINDO 14 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar