Berkaitan
dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, ada cukup banyak potensi
kecurangan dan korupsi yang dapat terjadi setelah penetapan peserta
pemilu, terutama pada tahapan pencalonan, masa kampanye, serta
pemungutan dan penghitungan suara, khususnya pada saat menyiapkan
perlengkapan pemungutan suara. Adapun perincian potensi kecurangan dan
korupsi dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, tahap pencalonan para kandidat. Ada beberapa hal yang cukup
rawan di dalam tahapan ini, yaitu penetapan bakal calon, verifikasi
kelengkapan administrasi bakal calon, dan penetapannya. Pada partai yang
belum mempunyai mekanisme rekrutmen dan standar prosedur pencalonan
internal yang baku, tahapan ini cukup kritis. Ada dinamika dan potensi
ketegangan pada proses ini, lebih-lebih pada partai yang sedang
mengalami pertikaian internal. Politik uang, perilaku patronase,
"sikut-menyikut" dan tindak kekerasan, biasa terjadi di dalam tahapan
ini.
Proses verifikasi dan penetapan daftar calon sementara
juga punya potensi mengalami kecurangan dan korupsi. KPU menjadi pihak
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan verifikasi hingga penetapan
calon. Pada keseluruhan proses ini, khususnya terhadap partai yang tidak
cukup ketat dan teliti menyiapkan kelengkapan calon dan/atau calon
"bermasalah" yang tidak memenuhi persyaratan tetapi secara sengaja tetap
mengajukan calon tersebut, ada potensi untuk mempengaruhi lembaga KPU;
dan tidak ada jaminan staf administratif KPU tidak tergoda "iming-iming"
dan "bujuk rayu" calon bermasalah untuk diluluskan dan ditetapkan
sebagai calon. Peran Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya dan
kontrol publik menjadi penting untuk meminimalkan potensi kecurangan dan
korupsi pada tahapan pencalonan ini.
Kedua, tahapan masa
kampanye. Potensi kecurangan dan korupsi pada tahapan ini juga cukup
mengkhawatirkan. Ada beberapa titik rawan yang perlu diperhatikan, yaitu
ketidakjelasan pengelolaan dana kampanye, penggunaan fasilitas negara
dan pemerintahan untuk kampanye, konflik kepentingan dalam menjalankan
konsolidasi partai dan mempengaruhi pemilih melalui acara dan program
yang dilakukan instansi pemerintahan, perilaku diskriminatif pimpinan
dan kalangan pemerintahan yang berafiliasi atau punya favoritisme pada
partai tertentu, serta mempengaruhi pemilih dengan politik uang.
Pada tahapan ini juga potensial terjadi provokasi dan eksploitasi
penggunaan simbol, etnis, ras, slogan, dan metode black campaign yang
menyerang peserta pemilu atau kelompok tertentu. Ketidakmampuan dan/atau
sikap diskriminatif di dalam mengelola potensi konflik tersebut akan
memicu dan mengubah pola konflik, intensitas, kemasifan, dan penggunaan
kekerasan sehingga menimbulkan instabilitas sosial.
Ketiga,
tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum proses pemungutan
suara dilakukan, pengadaan sarana kelengkapan proses pemungutan menjadi
tahapan yang paling potensial menyebabkan terjadinya tindak pidana
korupsi. Pengadaan barang dan distribusi sarana pemilu menjadi kunci
sukses pemilu, tetapi sekaligus memerlukan manajemen kepemiluan yang
baik. Dana yang sangat besar untuk membiayai tahapan ini punya potensi
untuk dikorupsi sehingga lembaga pengawas, termasuk Bawaslu, KPK, dan
lembaga watch dog masyarakat, perlu diaktifkan dan diefektifkan untuk
mengawasi tahapan ini.
Politik uang untuk mempengaruhi pemilih
dan penyalahgunaan kewenangan pejabat pelaksana pemilu potensial
dilakukan pada tahapan ini. Sikap dan perilaku kolusif karena
keberpihakan, favoritisme, dan afiliasi terselubung biasa terjadi
sehingga pelaksana pemungutan dan penghitungan suara harus dikontrol
para pemilih. Hal serupa juga dapat terjadi pada tahapan penetapan
pemenang pemilu di KPUD kabupaten/kota dan provinsi, selain nasional.
Faksionalisasi anggota KPUD dapat menyebabkan proses penghitungan dan
penetapan suara di lembaga KPUD menjadi bermasalah.
Pemetaan
atas potensi kecurangan dan tindak korupsi, beserta modus operandi
kejahatan pada setiap tahapan seperti diuraikan di atas, harus dicegah
dan diminimalkan karena akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan
pemilu. Selain itu, bilamana kecurangan dan korupsi yang terjadi di
dalam penyelenggaraan pemilu bersifat masif, pemilu kehilangan
justifikasi moral politik dan dapat saja memicu tindakan sebagian
kalangan untuk mendelegitimasi proses penyelenggaraan dan hasil pemilu.
Atau, setidaknya, pemilu yang dipenuhi oleh kecurangan dan pelanggaran
yang bersifat masif tidak akan pernah mampu menghasilkan anggota
parlemen dan kepala negara yang punya integritas dan profesionalitas
tinggi akibat proses penyelenggaraan pemilu memang tidak berkualitas.
Bambang Widjojanto
ICW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar