Jumat, 13 Maret 2009

MEGAWATI, SOEKARNOISME DAN HUBUNGAN DENGAN ISLAM



Setelah Indonesia merdeka 64 tahun dan Indonesia dipimpin oleh 6 orang Presiden, idiologi Soekarnoisme masih dijunjung tinggi dan dijadikan "modal" oleh beberapa
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2009. Jangankan pakar politik, masayarakat awam pun akan dengan sangat mudah untuk menilai Parpol yang mengusung ide-ide Soekarno tersebut.

Bagaimana dengan PDI Perjuangan....? Setelah sekian lama tidak mengusung dan "menjual" Soekarno sebagai bahan kampanye Pemilu, nampaknya kedekatan historis antara Soekarno denga PDI Perjuangan (yang cikal bakalnya dari PDI)sudah mulai ditampilkan lagi. Memang tidak secara langsung atau secara gamblang, seperti pada saat berjuang melawan rezim Orde Baru, dulu. Tapi melihat salah satu iklan PDI Perjuangan di Telivisi (bahwa dari Soekarno lahir Megawati...),jelas tersirat bahwa Soekarno tetap merupakan pijakan PDI Perjuangan dalam membangun imej dan menjaring Pemilih pada Pemilu 2009. Sah-sah saja dan tidak larangan. Yang kurang elok barangkali bila Soekarno itu seorang Penjahat Perang atau seorang WNA.

Namun menurut yang saya amati, nampaknya ada semacam "ketakutan" dari Megawati bila tidak mengingatkan masyarakat Indonesia, bahwa beliau seorang anak Soekarno. Dan hal ini sudah pernah dilakukan pada era awal beliau terjun ke politik praktis, akhir 80-an. Bahkan bukan hanya Megawati saja, tapi juga oleh anak-anak Soekarno yang lain seperti Guruh dan Sukma. Kasarnya adalah mereka anak-anak Soekarno "menjual" nama Sang Proklamator untuk menggaet Pemilih.
Sekali lagi, hal itu sah-sah saja.

Sama juga dengan yang dilakukan oleh para kader Partai Demokrat di daerah yang mengusung nama SBY, kader Partai Golkar yang menampilkan JK atau Surya Paloh dan kader Partai SIRA di Aceh yang "menjual" nama Muhammad Nazar untuk memenangkan Pemilu. Tidak larangan, asal masih dalam koridor hukum.

Namun pada kesempatan ini, secara khusus saya ingin membicarakan tentang Soekarno, yaitu sosok yang sangat dikultuskan oleh beberapa Parpol, khususnya PDI Perjuangan. Lagipula bukan karena historisnya saja sehingga ada kedekatan bathin antara mereka, namun terlebih lagi bahwa Ketua Umum-nya adalah Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno.

Sebagai bangsa, kita sudah mengakui bahwa Soekarno adalah salah seorang Proklamator juga pendiri bangsa dan negara Indonesia. Siapa pun tidak akan menyanggah hal itu. Demi menggapai impian memerdekakan negeri dan bangsanya, Soekarno rela menghabiskan 25 tahun kehidupannya di dalam penjara kaum penjajah. Dia juga bukan tipe pemimpin yang korup, sesuatu yang membuatnya sangat berbeda dengan sosok Soeharto. Walau demikian, sebagai seorang manusia biasa, Soekarno juga memiliki sejumlah catatan buruk yang tidak boleh diulang oleh generasi penerus bangsa ini, terutama kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia.

Diakui atau tidak, di mata rakyat kecil, nama Soekarno masihlah harum. Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, walau Soekarno telah meninggal tiga puluh sembilan tahun lalu, namun sampai sekarang masih saja banyak orang yang mengkultuskannya, dari PDI Perjuangan = Megawati Soekarnoputeri sampai kepada suatu kelompok yang mengaku sebagai titisan Soekarno, seperti yang dilakukan oleh pemimpin aliran sesat Satrio Piningit yang menyita perhatian publik nasional awal Februari lalu.

Namun fakta sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa era seseorang yang telah berlalu tidak bisa dikembalikan untuk jadi catatan sejarah berikutnya. Seorang Indera Gandhi atau Rajiv Gandhi tidak-lah sama atau prototipe dari Mahatma Gandhi. Gloria Maccapagal Arroyo adalah Presiden Filiphin sekarang, tidak akan sama cara memimpin rakyat Filiphina dengan Bapaknya. Begitupun dengan Benazir Bhutto, bukan reinkarnasi Zulfikar Ali Bhutto.
Mereka berbeda, walaupun ada beberapa kesamaan diantaranya. Dan dari catatan sejarah, termasuk keberadaan Megawati sebagai anak Soekarno, yang sama adalah dalam membuat kesalahan sejarah.
Jika Seokarno "membohongi" Daoed Beureueh, Megawati membohongi Abdullah Puteh dan masyarakat Aceh tentang cara penyelesaian konflik. (seharusnya Megawati berterima kasih, karena ada segelintir pengurus adat Aceh yang memberinya Gelar Cut Nyak?)

Megawati bukan Soekarno....! Karena secara prinsip politik dan ekonomi, kebijakan yang diambil Megawati ternyata malah bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip politik dari seorang Soekarno.
Marilah kita lihat sejarah awal perjalanan Soekarno, jauh sebelum Indonesia merdeka dan keberadaan sebuah bangsa bernama Indonesia. Untuk melengkapi tulisan saya tentang ini, saya juga mengutip beberapa sumber.

HOS Tjokroaminoto, Awal Pergerakan

Soekarno dilahirkan di Lawang Seketeng-Surabaya, 6 Juni 1901, dari pasangan Ida Ayu Noman Rai—seorang perempuan berdarah bangsawan Bali—dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, juga seorang ningrat dari Jawa Timur. Walau demikian, kehidupan keduanya tidak bisa dibilang makmur, malah serba berkekurangan. Sebab itu, Soekarno kecil yang bernama Kusno Sosrodihardjo mengaku jika masa kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk membaca buku ketimbang bermain dengan teman sebaya yang mampu membeli petasan dan sebagainya.

DI masa kecil, keluarga Kusno pindah dari Surabaya ke Sidoardjo sebentar dan kemudian menetap di Mojokerto, Jawa Timur. Usia 14 tahun , Kusno masuk ke Hoogere Burger School (HBS), setingkat SLTP, dan menumpang (bahasa Jawa: Ngengger) di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Syarikat Islam (SI). Saat ngengger di rumah itulah, Soekarno berkenalan dengan arus pergerakan nasionalisme Indonesia. HOS Tjokroaminoto banyak kedatangan tamu-tamu sesama aktivis pergerakan nasional di rumahnya, berdiskusi tentang berbagai perkembangan politik dan ekonomi bangsanya, berkeluh-kesah tentang kian rakusnya imperialis Belanda dan juga Barat menghisap kekayaan alam Nusantara, membahas kehidupan rakyat kecil yang kian sengsara, semua itu didengar oleh Soekarno remaja.

Soekarno juga melihat dengan mata kepala sendiri kesewenang-wenangan penjajah Belanda terhadap HOS Tjokroaminoto. Di tahun 1915, tersiar berita jika HOS Tjokroaminoto menerima sejumlah uang dari kaki-tangan Jerman untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Polisi rahasia Belanda (PID) mengirim salah seorang agennya bernama Agus Salim untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut dengan mengutusnya untuk mendekati HOS Tjokroaminoto. Agus Salim pun masuk Syarikat Islam.

Dari berbagai informasi yang masuk ke telinga PID inilah, HOS Tjokroaminoto yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota ini dipanggil berkali-kali ke kantor PID untuk diinterogasi. Namun disebabkan bukti yang ada sangat kurang, maka kasus ini pun berakhir begitu saja. Lain halnya dengan Agus Salim. Pemuda Minangkabau yang cerdas ini malah tertarik untuk benar-benar bergabung dengan Syarikat Islam yang memperjuangkan Indonesia Merdeka dan keluar dari PID. Kisah tentang Agus Salim ini bisa dibaca di memoar Agus Salim sendiri berjudul “Benarkah Saya Seorang Spion?”.

Di antara murid-murid politik HOS Tjokroaminoto, terdapat tiga orang yang menonjol. Mereka adalah Soekarno, Muso, dan Kartosuwiryo. Kelak, ketiganya merupakan pelopor bagi ideologi pergerakan di Indonesia. Muso menjadi pemimpin gerakan komunisme (PKI), Kartosuwiryo menjadi pemimpin pergerakan Islam (DI), dan Soekarno memimpin pergerakan nasionalisme, dengan mencoba merangkum tiga aliran pergerakan besar di Indonesia menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Setelah melahap banyak buku dan berdiskusi dengan banyak aktivis pergerakan, Soekarno menyimpulkan jika musuh besar bagi bangsa Indonesia adalah imperialisme dan kolonialisme, yang dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan. Dengan pisau bedah Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, yang memang sangat tajam mengurai tentang kejahatan kapitalisme, Soekarno merumuskan paham gerakan politiknya sendiri yang kemudian dikenal sebagai “Marhaenisme”. Dalam suatu kesempatan, Soekarno menyatakan jika Marhaenisme adalah Marxisme yang di-Indonesiakan.

Marhaenisme, diakui sendiri oleh Soekarno adalah sintesa daripada filsafat Marxisme (Materialisme-Historis dan Materialisme-Dialektis), Islam, dan Nasionalisme. Soekarno sangat teguh memegang prinsipnya ini hingga berpuluh tahun kemudian menyodorkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) bagi pola pemerintahannya.

Abad di mana Soekarno lahir dan tumbuh adalah abadnya bangsa-bangsa selatan bangkit melawan penghisapan yang dilakukan imperialisme negara-negara utara. Sebab itu, salah satu obsesi seorang Soekarno adalah menghapuskan penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Exploitation de l’homme par l’homme. Untuk mampu mengusir penjajah Belanda yang telah menghisap kekayaan negeri ini sejak abad ke-16 M, maka seluruh komponen bangsa ini harus bersatu-padu melawan penjajahan. Sebab itu, sejak muda Soekarno terobsesi untuk bisa menggalang persatuan dan kesatuan bangsa ini di atas segalanya. Prinsip ini terus dipegangnya hingga ke liang lahat.

Salah satu episode dalam sejarah bangsa ini telah membuktikan betapa persatuan dan kesatuan dipegang teguh oleh seorang Soekarno. Saat itu, menyusul tragedi subuh 1 Oktober 1965, kekuasaan Soekarno sedikit demi sedikit dilucuti oleh Jenderal Suharto. Lewat berbagai intrik dan konspirasi dengan CIA, sejumlah perwira angkatan darat di bawah Suharto secara terselubung maupun terang-terangan telah bersikap membangkang terhadap Soekarno yang saat itu masih sah sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Hal ini membuat geram sejumlah kesatuan lain yang masih loyal pada Soekarno. Salah satu kesatuan yang dikenal sangat loyal pada Panglima Tertingginya adalah Marinir. “Putih kata Bung Karno, putih kata marinir. Hitam kata Bung Karno, hitam pula kata marinir!”, demikian tegas Panglima Marinir Mayjen (Mar) Hartono.

Pertengahan Maret 1966, Jenderal Marinir Hartono ini menghadap Bung Karno dan meminta izin agar pasukannya diperbolehkan memukul habis kekuatan Jenderal Suharto. Beberapa Batalyon dikatakan juga bersedia membantu seperti Kodam Brawijaya dan beberapa kesatuan dari AURI dan Kepolisian.

Namun permintaan ini ditentang Soekarno dengan mengatakan antara lain jika Soekarno tahu jika dirinya tengah dihabisi. “Biarlah Soekarno tenggelam sendirian asal bangsa dan negara Indonesia tetap hidup. Saya tidak mau terjadi peperangan saudara yang merobek-robek persatuan yang saya bangun selama ini,” tegasnya.

Dan sejarah pun mencatat bahwa Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah dalam rezim fasis Jenderal Suharto. Mayjen (Mar) Hartono sendiri dibuang dengan mendubeskan dia ke Pyongyang, Korea Utara. Tokoh Marinir yang sangat pemberani dan loyal kepada Bung Karno ini ditemukan tewas ditembak kepalanya pada pagi hari, awal Januari 1971, di Jakarta. Banyak kalangan menganggap keterangan pemerintah Suharto yang menyatakan Hartono bunuh diri adalah bohong belaka. Rekannya sesama tokoh Marinir saat itu, Ali Sadikin, menegaskan jika kematian Hartono diliputi kemisteriusan. Banyak yang menduga Jenderal (Mar) Hartono menjadi korban konspirasi jahat rezim Jenderal Suharto.

Pokok-Pokok Soekarnoisme

Sejak kecil Soekarno telah berkenalan dengan ide-ide besar dari orang-orang besar di seluruh dunia dari kerakusannya membaca buku. Di usia 25 tahun, dalam Suluh Indonesia Muda (1926), terbit sebuah artikelnya yang berjudul “Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis”. Di dalam artikelnya ini, Soekarno menyatakan, “Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh yang Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara ketiga golongan itu.”

Artikel tersebut ditulis Soekarno sebagai bentuk keprihatinannya melihat pecahnya Syarikat Islam “Putih” pimpinan Agus Salim dengan Syarikat Islam “Merah” yang dipimpin Semaun yang kemudian bekerjasama dengan tokoh-tokoh ISDV—partai sosialis Belanda—seperti Snevliet dan Baars. Syarikat Islam Merah ini kemudian menjadi “Syarikat Rakyat”, lalu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Di tahun 1926-1927, saat berjalan-jalan di wilayah Bandung selatan, di pematang-pematang sawahdi Cigareleng, Soekarno bertemu dengan seorang petani penggarap bernama Marhaen. Keduanya kemudian terlibat tanya jawab sederhana.

“Pak Marhaen, cangkul yang bapak pegang itu punya siapa,” tanya Soekarno.

“Milik saya,” jawab Marhaen.

“Lalu sawah yang bapak kerjakan itu milik siapa?”

“Milik orang lain,” jawabnya lagi.

Dalog singkat ini telah memahat kesan yang sangat mendalam di otaknya. Dalam ilmu teori Materialisme Historis, orang seperti Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar, karena masih menguasai alat produksi walau itu hanya sepotong cangkul. Dalam teori Marxisme, seorang proletar adalah seseorang yang bekerja semata-mata mengandalkan tenaga. Sedang alat-alat produksinya dan juga tempatnya bekerja dikuasai oleh pemilik modal. Sebab itu, Pak Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar. Maxisme malah memandang Pak Marhane sebagai petite borguise atau Borjuis kecil, walau Pak Marhaen hidupnya pas-pasan.

Walau menguasai alat produksi, namun Marhaen ternyata hidupnya juga miskin dan tertindas. Sebab itu, Soekarno merasa Marxisme dalam bentuk yang murni tidaklah tepat untuk menilai kondisi riil di Indonesia saat itu.

Sebab itulah, Soekarno merumuskan doktrin perjuangan politiknya sebagai Marhaenisme, yakni Marxisme yang telah di-Indonesiakan, suatu prinsip perjuangan yang mencita-citakan sosialisme Indonesia. Tujuan dari prinsip ini adalah mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan dan mandiri, lepas dari campur tangan kaum imperialisme. Marhaenisme jelas bertentangan dengan salah satu pokok Marxisme yaitu pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, semua kekuatan dan komponen bangsa harus bersatu untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia. Inilah cikal bakal dari Nasakom.

Pokok ajaran Soekarnoisme yang kedua adalah Revolusi Indonesia yang memiliki dua tahapan: Pertama, tahapan revolusi borjuis nasional dan kemudian tahapan revolusi sosialisme Indonesia.

Dalam tahapan pertama, kaum Marhaen bersama kaum proletar harus bisa bersatu-padu dengan kaum borjuis nasional—sisa-sisa feodalis lama—untuk berjuang bersama-sama menghancurkan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme asing yang telah menjajah Indonesia demi memerdekakan negara dan bangsa Indonesia dahulu. Sebab itulah, tahap pertama revolusi nasional mencapai kemerdekaan disebut sebagai “Jembatan emas menuju kemerdekaan.”

Tahap kedua, setelah merdeka, maka barulah tahap kedua dari revolusi Indonesia dilakukan yakni memerdekakan seluruh anak bangsa dari kemiskinan dan kebodohan. Tahap ini dikenal dengan istilah “Nation and Character Building”.

Pokok-pokok Soekarnoisme bisa diringkas menjadi beberapa point, yakni:

* Persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa,
* Prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak
tergantung pada kekuatan asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
* Pembangunan karakter bangsa guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-
complex) yang telah ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa
Indonesia memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara dengan bangsa lain


Hubungan dengan Islam

Soekarno merupakan satu-satunya presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan bendera negara. Seperti yang dikatakannya dalam “Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Cindy Adams).

Walau demikian, hubungan antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam mengalami putus-sambung yang cukup sering intensitasnya.

Soekarno muda mendapat gemblengan prinsip-prinsip politik dari seorang tokoh Syarikat Islam bernama H. O. S. Tjokroaminoto. Buku Tjokroaminoto yang ditulis pada tahun 1924 berjudul “Islam dan Sosialisme” (Diterbitkan oleh PN. Bulan Bintang, 1951), merupakan salah satu inspirator bagi Soekarno dan titik awal bagi pandangan Islam Sosialistiknya. Menurut Soekarno, Islam merupakan sebuah ideologi perjuangan yang sama sekali tidak akan pernah akur dengan kapitalisme, sebab kapitalisme hanya bisa hidup jika berjalan di atas rel penindasan manusia terhadap sesama manusia lainnya dalam bentuk “The Surplus Value” dalam sistem kerjanya atau bisa disamakan dengan Riba. Kapitalisme hanya bisa hidup jika kaum Pemodal (Kaum Pengusaha) menghisap kaum pekerja (Buruh) dan juga kaum Marhaen lainnya (Wong Cilik).

Pada 29 Desember 1929, Soekarno bersama sejumlah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) ditangkap dan dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. Oleh Belanda, mereka dianggap teroris yang tengah merencanakan makar untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Dalam pengadilannya, Agustus 1930, Soekarno menyampaikan pembelaannya (Pledoi) yang amat terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.

Pokok dari pledoi Soekarno adalah membongkar habis-habisan Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan kolonial Belanda yang dikecamnya sangat pro investor asing dan kian memiskinkan rakyat. Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.

Pada Agustus 1933, Soekarno ditangkap untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di Ende, Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh Islam nasional seperti HM. Natsir. Pemikiran Soekarno tambah terasah dengan Islam dan kian meneguhkan pandangan Soekarno jika Islam sangat anti terhadap kapitalisme karena sifat penindasan dan penghisapannya.

Dari Ende, Soekarno diasingkan ke Bengkulu, 1938. Di Bengkulu ini Soekarno kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh Islam setempat dan berdiskusi dengan mereka. Salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang sering diajak berdiskusi mengenai Islam adalah H. Hasan, ayah dari Siti Fatimah, yang kemudian anaknya diperisteri Soekarno dan berganti nama menjadi Fatmawati. Saat itu, Inggit Ganarsih yang telah diperisteri Soekarno ketika di Bandung menolak untuk dimadu dan akhirnya cerai.

Pada tahun 1942 Soekarno kembali ke Pulau Jawa dan disambut rakyat sebagai pemimpin pergerakan nasional Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, Soekarno dengan dukungan dari para pemimpin Islam seperti H. Agus Salim dan tokoh nasionalis Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara, memilih bersimbiosis-mutualisme dengan Jepang. Pilihan ini pilihan sangat sulit. Namun kondisi riil politik internasional, dimana Fasisme Jepang (dibantu oleh Fasisme Italia dan Nazi Jerman) tengah berperang melawan Imperialisme Sekutu (termasuk Belanda) dalam Perang Dunia II, menyebabkan Soekarno mengambil langkah ini. Sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang menimbulkan antipati banyak kalangan. Sutan Syahrir yang lebih dekat dengan Amerika Serikat menuding Bung Karno sebagai Kolaborator Jepang.

Sejak pertama kali penjajah kolonial mendarat di Nusantara, umat Islam telah melakukan perlawanan dengan gagah berani guna mengusir imperialis Barat tersebut yang datang dengan tiga misi: Merampok kekayaan negeri kaya raya ini (Golden), Memperluas imperium mereka (Glorious), dan Menyebarkan salib (Gospel). Islam-lah agama perlawanan menentang kezaliman Salib Barat. Sebab itu, adalah fakta sejarah bahwa umat Islam-lah yang berada di garda terdepan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Namun realita sejarah ini berusaha untuk digelapkan oleh kaum sekular dan kaum kufar sejak dulu hingga sekarang.

“Tonggak pertama pengkhianatan yang dilakukan elit negara, dalam hal ini Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh sekuler lainnya terhadap umat Islam terjadi pada hari Kamis malam, 16 Agustus 1945,” ujar (alm) KH. Firdaus AN kepada Eramuslim di tahun 1999 saat bertemu di kediaman beliau di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat.

Tokoh Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII), Abdul Qadir Djaelani, dalam bukunya “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” (1996) juga menceritakan hal ini. Seperti yang telah diketahui bersama, rakyat Indonesia sekarang hanya mengetahui jika teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta yang dibuat pada 22 Juni 1945. Namun pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menggelar rapat dadakan dan menulis teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya.

Mengapa bukan Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi? Alasannya sangat naif. Bung Hatta di dalam Memoirnya menulis, “(Malam itu) Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta.” Malam itu, lanjut Hatta, seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In telah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”

Seperti pengakuan Hatta, begitu banyak tokoh yang hadir. Namun terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang mengantungi naskah Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika hal ini benar, walau tidak masuk akal, bukankah proklamasi baru akan dilakukan esok harinya? Berarti, jika memang “tidak ada apa-apanya” maka sebenarnya sangatlah mudah untuk mengambil kembali naskah Piagam Jakarta yang ada di rumah Soekarno atau rumah Hatta yang dekat letaknya dengan kediaman Maeda.

Jika pun proklamasi harus dilakukan malam itu, maka rumah Hatta yang letaknya cuma satu kilometer dari rumah Maeda pun bisa dijangkau. Bermobil ke rumah Hatta tidak sampai memakan waktu lima menit. Jika mereka semua memang punya niat baik dan berpegang pada kesepakatan awal, maka mengambil Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi adalah hal yang sangat mudah.

Abdul Qadir Djaelani menyatakan jika Piagam Jakarta sesungguhnya sengaja disingkirkan dalam peristiwa malam itu. Biang keladinya menurut Kang Jel—demikian sapaan akrab Abdul Qadir Djaelani, adalah kaum Nasionalis Sekuler, termasuk Soekarno-Hatta di dalamnya. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis Kang Jel.

Sejarah telah mencatat, teks proklamasi yang dibacakan ternyata naskah yang ditulis terburu-buru, dan tanpa persiapan. Keesokan harinya, Sabtu, 18 Agustus 1945, sebuah konspirasi yang juga aneh malah menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dalam tempo 24 jam, Soekarno-Hatta telah melakukan dua kali “tusukan” pada umat Islam. Dua tragedi yang menyakitkan tokoh-tokoh Islam dan juga umat Islam secara keseluruhan.

“Tusukan ketiga” yang dilakukan Soekarno adalah terhadap Muslim Aceh. Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Muslim Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Berabad-abad sebelum UUD 1945 lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah “dibongkar” (amandemen) seperti sekarang ini.

Dari uraian di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Soekarno memang lahir dan besar untuk bangsa ini. Beliau ditakdirkan menjadi Proklamator dan pendiri bangsa. Terlepas dari kebesaran dan kekurangannya, beliau cukuplah sebagai Pahlawan bangsa, bukan sebagai "Nabi bangsa" yang ajarannya sudah diwahyukan cocok sepanjang zaman.

Sebagai seorang yang sangat menyukai sepakbola, saya teringat sebuah filosofi; bagimana mungkin diera yang sangat maju seperti saat ini, seorang Pelatih sepakbola yang sangat hebat tahun 70-an menjadi Pemain / Pelatih tahun 70-an bisa mengerti dan memahami sepakbola masa kini.
Kita pernah mengagung-agungkan Wiel Corver sebagai Pelatih Timnas Indonesia yang hebat, dan berandai-andai dia hidup kembali, namun kita lupa bahwa di zaman sekarang ini yang cocok jadi Pelatih Timnas kita adalah Benny Dollo.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan Sang Proklamator, namun hanya menjadi catatan kaki bagi orang-orang yang ingin "menjual" namanya demi hasrat politik pada Pemilu 2009.

salam,
mukhlis aminullah
Ketua Forum Pemuda Peduli Demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar