Sabtu, 28 Maret 2009

MINUM KOPI

Hari ini saya ingin menulis tentang kopi. Karena apa? Pertama; jujur saja, saya sedang kehabisan ide menulis tentang Pemilu, khususnya proses Pemilu di Bireuen. Kedua; saya adalah peminum kopi, dan saat ini, secangkir kopi menemani saya didepan laptop. Kopi yang selalu setia….

Apakah Anda juga Peminum kopi seperti saya ? Kalau Anda orang Aceh, saya berani memastikan bahwa Anda peninum kopi. Karena sudah menjadi rahasia umum, orang Aceh adalah penikmat kopi. Kalau Anda pernah ke luar negeri atau ke luar daerah, pasti Anda akan mengatakan ‘Warung Kopi di Aceh adalah yang terbanyak di Asia”. Mungkin saja. Dan satu hal lagi, Warung Kopi model Aceh bertebaran dimana saja terutama di daerah atau wilayah yang banyak dihuni komunitas Aceh. Di Kuala Lumpur, di Sweden, di Norway, Pasar Minggu (Jakarta), bisa dimana saja.

Bagi kebanyakan orang Aceh, minum kopi (apalagi minumnya sambil nongkrong di warung kopi) adalah rutinitas. Apapun pekerjaan Anda. Seorang Irwandi Yusuf-pun masih meluangkan waktu untuk ngopi di Warkop “JASA AYAH” Ulee Kareng. Di Bireuen, Bupati Nurdin Abdul Rahman, maupun Bupati sebelumnya Mustafa A.Glanggang sesekali juga minum kopi di warung kopi.

Rata-rata orang Aceh minum “kopi sayong” di warung kopi. Namun bagi yang sangat sibuk, secangkir kopi instan sudah cukup. Yang jelas harus “ngopi”. Untuk kopi di warung, rata-rata merupakan hasil racikan “sang pawang” warung masing-masing. Umumnya kopi mentah diperoleh dari dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah.

Saya punya cerita "menarik" tentang kopi. Ketika kami ikut Raker KPU se-Indonesia di Hotel Sahid Jaya Jakarta beberapa tahun lalu, seorang teman saya, Adi, meluangkan waktu untuk sekedar ngopi + mejeng di Sukohardjo Restoran (resto-nya Sahid Jaya). Begitu terkejutnya sang teman, ketika kasir menunjukkan bon senilai Rp. 50.000,-.........
Kaget.....!! "Begitu mahal segelas kopi disini" katanya tanpa tedeng aling-aling. Dikampungnya uang Rp. 50.000,- sudah bisa mentraktir orang se-warung. Bisa skalian beli warungnya.
He......he.............

Berbagai referensi akan sangat mudah kita temukan didunia maya. Tentang kopi juga. Kalau anda ingin tahu cerita penggemar kopi yang sesungguhnya, anda perlu menonton film Bucket List-nya Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Inipun bagi Anda penggemar Film. Dan ini bukan untuk promosi film tersebut, karena tidak akan ada untungnya buat saya. Akan tetapi, tidak lain karena di dalam film tersebut disebut-sebut tentang kopi luwak (civet coffee).

Ada rasa senang juga menyimak dialog cerita tentang kopi khas yang berasal dari wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) itu. Terlepas dari bagaimana sebagian orang menilai asal muasal kopi luwak, yang terang-terang menempuh proses alam yang unik, Indonesia tetap diuntungkan oleh film itu, sekalipun secara tidak langsung.

Seperti penggemar durian yang tahu persis bahwa durian yang telah melewati perut gajah adalah yang paling enak, penggemar kopi pun maklum bahwa kopi luwak istimewa justeru karena kekompleksan prosesnya. Itu pula sebabnya mengapa ia menjadi sangat mahal ketika sampai ke tangan konsumen di Eropa atau Amerika.

Paul Watson, wartawan Los Angeles Times yang bertugas di Jakarta, sempat menulis sebuah artikel panjang tentang kopi luwak di halaman pertama harian AS yang sangat bergengsi itu: $600-a-Pound Coffee. Ini memang kopi yang di Lampung pun sulit diperoleh; bayangkan lagi setelah diekspor ke luar negeri. Bayangkan harga hampir Rp 6 juta hanya untuk satu pon atau 0,45 kg kopi luwak. Menurut Watson yang kalau menulis tentang politik Indonesia masih diwarnai stigma, tetapi sangat mengalir ketika mengulas soal kopi luwak secangkir hidangan kopi ini dilabel harga $30 di hotel bintang lima di Hongkong. Bayangkan mahalnya harga menyeruput secangkir kopi. Padahal di warung kopi di Aceh, hanya Rp 1.500,- malah di pedesaan Aceh bisa kita minum kopi dengan modal Rp 1.000,- saja.

Karena alasan higienis asal muasalnya kopi luwak, sebagian peminum kopi bisa saja hilang suka terhadap kewangian dan pesonanya. Kendati demikian, namanya tetap absah tertera dalam jajaran kopi terlangka yang digemari. Marsino Marconne, pakar kopi dari Universitas Guelph di Ontario, bahkan dengan susah payah mendapatkan seberat 4,5 kg kopi luwak yang disimpannya sebagai acuan standar emas (gold standard) dalam menguji keaslian kopi asal Lampung ini. Dalam mengukur budaya kopi, barangkali dedikasi Marconne dapat cukup bernilai. Ia mengklaim bahwa kebanyakan apa yang dipasarkan sebagai kopi luwak secara internasional ternyata tidak asli.

Anda tahu, konsumen kopi terbesar dunia adalah AS, yang menyerap 1/3 dari seluruh suplai kopi yang beredar di pasar dunia. Jadi, jangan heran kalau Starbuck yang malang melintang merajai dan menentukan trend penyuguhan kopi di dunia, adalah berbasis AS. Memang ada nama-nama lain, tetapi siapa yang mampu menyaingi jaringannya secara global? Saking kuatnya, sampai-sampai Starbuck bertekad membangun outlet-nya dalam jarak yang sangat berdekatan antara satu dengan lainnya. Ini pula yang disebut stand-up comedian Lewis Black sebagai salah satu ciri betapa sudah hilang akalnya bangsa Amerika.

Kalau anda simak website serba-serbi kopi terlengkap di dunia, talkaboutcoffee.com, anda akan diberitahu bahwa setelah AS, adalah Jerman negara penyeruput kopi terbesar kedua. Sedangkan Finlandia, negara yang relatif kecil dengan populasi hanya 5 juta orang lebih, memiliki statistik teratas dalam hal rasio konsumsi kopi per kepala.

Jangan heran, bahwa ternyata untuk Asia adalah orang Indonesia yang memiliki budaya minum kopi terkuat, khususnya orang Aceh (baik di Aceh, maupun di luar Aceh). Kalau Jerman dominan dalam hal kopi dibanding Inggris yang pecinta teh; Indonesia mendominasi pasar kopi Asia, dibandingkan RRC, Jepang dan Korea yang budaya minum tehnya sudah sangat tersofistifikasi. Memang, RRC yang berpenduduk 1,3 milyar itu, secara kuantitatif dapat menjadi pangsa pasar kopi paling potensial.

Di negeri kita, teh memang juga punya ruang sendiri, bahkan menjadi minuman kemasan yang populer. Hebatnya, persintuhan antara teh dan kopi di negeri kita tidak menganut matematika zero sum game yang kalah mengalahkan. Teh berkembang, tetapi kopi pun demikian kuat. Untuk lebih meresapi budaya kopi kita, ergilah sampai ke pelosok-pelosok, adalah seduhan kopi kental dari biji gilingan sendiri yang mudah ditemukan. Apakah itu kopi tubruk atau sekedar kopi instan lokal, baunya wangi, rasanya nikmat.

Kita pun memang termasuk salah satu negara pengekspor kopi terbesar di dunia. Berbagai jenis kopi kita, termasuk kopi Gayo, kopi Padang Sidempuan, dsb ikut masuk dalam daftar suguhan kopi di Café-café di kota besar di Indonesia. Sayangnya khusus kopi Gayo, kurang berkembang. Seharusnya sebagai penghasil kopi paling banyak di Asia Tenggara, kita sudah bisa menjadikan kopi sebagai komoditi utama, selain pertanian dan industri.

Bagi peminum kopi, maknanya ini bisa sangat dalam. Apa pun kopinnya. Mari kita bangun imej, Aceh identik dengan kopi, bukan dengan Ganja.....!

Mukhlis Aminullah, peminat kopi, berdomisili di Bireuen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar