Sabtu, 28 Maret 2009

HOEGENG SANG POLISI JUJUR


Hoegeng Iman Santoso.
Saya yakin generasi muda sekarang sebahagian besar tidak mengenal nama ini, termasuk oleh para anggota Polri yang masih muda belia. Dapat dimaklumi, karena nama beliau tidak atau jarang terekspos oleh media massa sekarang ini. Saya sendiri pernah mendengar sedikit cerita tentang seorang Hoegeng, namun tidak menambah semangat saya untuk mencari tau lebih lanjut. Itupun saya saya dengar beberapa tahun yang lalu, ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyinggung nama Hoegeng.
Ya, benar....! Gus Dur, presiden Indonesia yang kontroversial itu pernah mengatakan kepada media bahwa di Indonesia hanya ada 3 (tiga) Polisi jujur yaitu Hoegeng, Patung Polisi dan Polisi Tidur.

Pernyataan beliau yang cukup membuat telinga beberapa Jenderal Polisi saat itu, memerah, telah mengingatkan kembali para generasi tua untuk mengenang kembali seorang Hoegeng. Sementara bagi generasi muda, kelanjutan cerita tentang Hoegeng menjadi tanda tanya.............

Beruntung, bagi Anda yang sempat menonton acara Kick Andy di Metro TV tadi malam, jam 21.30 wib. Bang Andy F.Noya menghadirkan beragam cerita tentang Hoegeng, Sang Polisi Jujur, dengan mengundang isteri dan anak-anak almarhum ke studio Metro TV. Tak ketinggalan, juga dihadirkan beberapa rekan sejawat almarhum, termasuk beberapa orang mantan Kapolri yang masih hidup. Kami sekeluarga yang menonton acara itu, semua terharu dan kagum dengan almarhum Hoegeng. Saya berandai-andai, sekiranya beliau hidup dizaman edan seperti sekarang............?? Wah, bakal rame.... Beliau sangat cocok jadi Kapolri-nya era SBY!! Bukan era Soeharto.....

Waktu kecil Hoegeng, dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi bugeng, akhirnya berubah jadi hugeng. Nama aselinya sendiri cuma Imam Santoso yang dipilihkan ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah, kepala polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan.

Mereka menjadi tiga sekawan penegak hukum yang jujur, professional. Ketiganya inspirasi bagi Hoegeng kecil. Bahkan karena kagum pada Ating-yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman, Hoegeng kecil ingin jadi polisi.

Memang sampai tua, Hoegeng tidak bugel alias gemuk. Hoegeng tidak bertubuh tambun subur berglambir lemak. Tubuhnya, bahkan lebih terlihat ringkih ketimbang tegap, apalagi tambun. Tapi jangan tanya soal ketegasan. Hoegeng memegang itu sebagai prinsip hidup. Lewat tangannya, keadilan terasa lebih bisa diraba.

Jabatan bagi Hoegeng bukan soal tuah untuk diri sendiri. Bukan pula soal pamrih berlebih. Jabatan bagi Hoegeng adalah soal kadar pengabdian pada khalayak. Dia tahu itu tidaklah lempang. Kekuasaan pastinya juga berbicara syahwat. Sekali tersingkap, mungkin yang dekat akan terjerat. Dia tahu itu, oleh karena itu Hoegeng yang sederhana menjaga jarak.

Kisah tentang toko kembang

Ada sebuah cerita soal itu. Waktu itu mendiang Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum pelantikannya, Hoegeng meminta istri, Ibu Merry agar menutup segera toko kembang miliknya yang terletak di sebuah sudut Jalan Cikini. Padahal toko kembang itu, salah satu penopang tambahan kebutuhan hidupnya. Sungguh kontras memang. Jabatan bagi Hoegeng bukan soal lahan bancakan. Jabatan hanya sebagai lahan pengabdian dan ibadah, titik!

Kembali ke soal toko kembang. Waktu itu sang Istri sedikit protes dan bertanya, "Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?" Hoegeng menjawab kalem tapi tegas, "Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya."

Jawaban itu, sungguh sangat mengharukan. Sebuah sikap tegas yang dibarengi sikap sederhana. Padahal kalau berkenan, tinggal membalik tangan Hoegeng kaya dari jabatan. Pelajaran yang begitu berharga tentang sikap anti nepotisme dari petinggi polisi yang dilahirkan di kota Batik, Pekalongan. Yang menarik sang istri kemudian menutup toko itu. Dia mengerti sikap tegas suaminya. Dia paham Hoegeng sangat keras menolak aji mumpung pangkat dan jabatan.

Disiplin dalam keluarga

Ada kisah lain yang diceritakan kembali oleh anak-anaknya pada acara Kick Andy. Misalnya, kisah Adit, anak laki-laki satu-satunya, tentang betapa besar keinginannya menjadi Perwira, malah beliau melarangnya. Suatu ketika Adit mengikuti seleksi Calon Taruna Akabri Udara tanpa memberitahukan pada Bapaknya, Hoegeng. Adit lolos sampai pada tahap akhir. Karena sebagai Calon Taruna, apalagi anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, harus mendapat izin tertulis dari orang tua maka akhirnya Adit menghadap Bapaknya. Apa dinyana...?

Beliau meminta Adit menunggu seminggu, sampai akhirnya hari terakhirpun sang Bapak tidak juga mengeluarkan izin tertulisnya. Alasannya cukup sederhana namun punya makna mendalam. Yang bersangkutan tidak mau ada 2 (dua) Hoegeng dalam Kepolisian, maupun dalam Angkatan.
Cerita anak bungsu belia tidak jauh beda. Disiplin dalam keluarga adalah tonggak utama. Pernah suatu kali, sang anak bersama Ibu Mery terlambat pulang ke rumah, lewat jam 24 malam, dan besoknya mereka "diinterogasi" serta mendapat hukuman.

Polisi yang tegak berprinsip

Masih dari kisah jabatan Kepala Jawatan Imigrasi. Karena jabatan itu, Hoegeng mendapat jatah mobil dinas keluaran baru. Tapi anehnya, dia masih bersikukuh dengan mobil dinas lawas, jatahnya saat masih di bertugas di kepolisian. Dia berkilah, mobil jip lawas dari Kepolisian juga milik negara. Dirinya merasa cukup dengan itu selama masih layak dipergunakan dan tidak sertamerta karena jabatan, terus manja dan rakus. Soal aji mumpung jauh dari sifatnya. Apalagi mengail di air keruh. Hoegeng jauh dari laku seperti itu.

Sebagai polisi, Hoegeng adalah sosok tegas membaja. Polisi dimatanya penegak hukum, titik! Tidak ada kompromi. Tidak ada bagi-bagi hasil dibawah tangan. Apalagi soal salam tempel amplop berisi duit jual kasus. Karena sikap seperti itulah dia terpental dari jabatan elit kepolisian Indonesia yang di pegangnya antara 1968-1971.

Kala itu, Hoegeng mengungkap kasus penyelundupan mobil mewah kelas kakap yang dilakukan oleh Robby Cahyadi alias Sie Tjie It. Penyelundupan itu dideteksi Polisi pada tahun 1969. Dan pada tahun 1971, Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang keberhasilannya membekuk tersangka penyelundupan mobil mewah lewat Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan lewat perlindungan tentara dan disinyalir, Keluarga Istana ikut terlibat pula.

Tapi betapa kecewanya, saat dia akan melaporkan itu ke Presiden Soeharto, sang penyelundup sedang asyik bercengkrama di Cendana. Ternyata benar, kekuasaan kongkalikong dengan keculasan. Karena itu Hoegeng murka dan merasa dipermainkan oleh kekuasaan. Sejak saat itu, pupus sudah kepercayaan kepada pimpinan negara bernama Soeharto.

Karena itu pula, Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri sebelum masa jabatannya habis. Tepatnya 1971, Soeharto mencopot jabatan itu dari pundak Hoegeng dengan alasan regenerasi. Tapi aneh, penggantinya, Muhammad Hassan, justru lebih tua darinya. Dia kemudian menyadari, kekuasaan sudah tidak suka sepak terjang membenahi korps Kepolisian. Untuk menghibur, Soeharto menawari Hoegeng jabatan sebagi Duta Besar di Belgia. Tapi Hoegeng menampik.

Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, "Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!" beliau memberi alasan pada Jenderal Soeharto, saat itu.

Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal Besar (Purn) A.H Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi dengan suara hati nurani.

Sepertinya kejengkelan penguasa pada Hoegeng yang tidak kunjung mau berkompromi, tidak juga hilang. Saking jengkelnya, ada cerita soal ini. Setelah pensiun Hoegeng menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat kelompok Hawaian Seniors. (Hoegeng sejak sekolah MULO sudah berkecimpung dengan musik).
Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul larangan tampil bagi Hoegeng di layar televisi plat merah tersebut. Pastinya Soeharto sudah sangat jengkel, maka setiap ruang rambah Hoegeng coba di sumbatnya. Pun untuk sekedar tarik suara.Tidak berhenti karena di sumbat dilayar kaca. Hoegeng menempuh jalur lain.

Mulai dari Mei 1980 Hoegeng bergabung dalam kelompok Petisi 50. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi.

Keterlibatan di kelompok Petisi 50, berbuah cekal bagi Hoegeng. Itu sepertinya biasa bagi mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia tersebut. Jenderal polisi yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), bahkan sering turun ke lapangan.
Syahdan, Hoegeng, lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), memimpin langsung operasi balapan liar di sekitar jalan Taman Soerapati, Jakarta, sekitar tahun 70-an. Kepada anak buahnya dia berkata tegas, "Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!".

Kisah lainnya tentang ketegasan Hoegeng adalah ketika pindah tugas ke Medan, Sumatera Utara. Sebagai Kepala Reskrim yang baru, pindahan dari Jawa Timur, beliau menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota Medan dan sekitarnya memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, Kepala Reskrim baru itu ternyata Hoegeng, sang Polisi Jujur.
Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran yang sederhana.

Dari Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat langka memang sikap hidup seperti Hoegeng. Beragam tugas pernah diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya sebagai polisi. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965), Menteri Iuran Negara (1966-1967) dan Deputi Operasi Menpangak (1967-1968).

Hoegeng meninggal dunia pada tanggal 14 Juli 2004. Wasiat beliau pada anak-anaknya bahwa beliau tidak mau dimakamkan di TMP Kalibata, sebagaimana para Jenderal yang lain, dan lebih memilih perkuburan keluarga di Parung, Bogor.

Itulah sepenggal kisah tentang Hoegeng Iman Santoso, semoga menjadi kebaggaan dan teladan bagi kita semua, terutama bagi para abdi negara.

(kisah di atas, selain dari tayangan Metro TV, juga kami dapat dari berbagai referensi lainnya)

salam,
mukhlis aminullah
Ketua LSM LEPOE-MAT

6 komentar:

  1. Bang mukhlis, sejak kapan menulis...? yudi pikir bg mukhlis hanya praktisi pemilu saja!
    tulisannya sudah oke lah.

    BalasHapus
  2. Trims yudi, mohon dukungan moral agar saya bisa terus menulis.

    BalasHapus
  3. mantap!.. terimakasih atas tulisannya

    BalasHapus
  4. bagus, dapat dijadikan teladan di tengah institusi polisi yang sedang disorot saat ini...

    BalasHapus
  5. trims mas shofiq.... saya juga berharap demikian, terlebih saya juga punya seorang adik yang berprofesi sebagai Polisi...!

    BalasHapus
  6. bagus bang tulisannya saya jadi terharu dengan kejujuran ,,semoga menjadi contoh buat semua semoga sukses bang ,,,,

    BalasHapus