Rabu, 15 Juli 2009

SEKILAS TENTANG "SANDIWARA LANGIT"

Bagi teman-teman yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya, mungkin tidak perlu saya sampaikan lagi bahwa saya adalah salah seorang penggemar Sastra, terutama Sajak, Puisi dan Cerpen. Saya juga gemar membaca, apa saja, terutama terkait dengan politik, hukum, agama dan sebagainya.

Saya sudah hampir enam minggu bertugas di Aceh Selatan. Sebelum berangkat dari Kota Juang, saya membungkus rapi beberapa buku baru, yang belum sempat saya. Diantaranya beberapa buku tentang Obama, Presiden Amerika. Yang lainnya adalah “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” karya Hendro Sobroto yang menceritakan kisah dan posisi Sintong Panjaitan dalam berbagai kejadian penting di negeri ini. Buku lain adalah “Sandiwara Langit” karya Abu Umar Basyier, novel religius. Judulnya ringkas, namun membuat hasrat hati untuk membacanya makin menggebu. Saya pikir isinya pasti menarik………. Sehingga saya mendahulukan novel ini untuk dibaca ketimbang buku-buku yang lain.

Dan benar saja! Ketika mulai membaca lembar demi lembar, saya seperti menonton sebuah film atau drama, dimana seakan-akan alur cerita dan sosok pemerannya terbayang dengan jelas dimata saya. Seberapa hebat sih ceritanya…..? Kenapa saya seperti nonton film. Saya anjurkan Anda membacanya, bisa dengan meminjam (lebih baik membeli)……

Namun sebelumnya, pada kesempatan ini saya akan menguraikan sedikit beberapa sinopsis singkat dari paragraf-paragraf penting yang terdapat dalam bab-bab buku ini.
Adalah Rizqaan, tokoh utama dalam buku ini, salah satu contoh, dari segelintir umat manusia yang secara apik dianugerahi kekuatan dalam menjalani semua takdirnya, yang teramat berat dan sakit menyayat hati. Tokoh penting lainnya adalah Halimah, isteri Rizqaan yang merupakan seorang hamba Allah yang begitu taat pada Tuhannya maupun suaminya.

“Aku mengagumi seorang mukmin. Bila memperolah kebaikan dia memuji Allah dan bersyukur. Bila ditimpa musibah dia memuji Allah dan bersabar. Seorang mukmin diberi pahala dalam segala hal walaupun dalam sesuap makanan yang diangkatnya ke mulut istrinya.” (Riwayat Ahmad dan Abu dawud)

Ia adalah pemuda shalih, yang berjuang keras menyelamatkan diri dari fitnah membujang, dengan segera menikah dengan segala keterbatasan yang ada. Modal belum ada, pekerjaan pun tak punya. Dan Halimah, pemudi yang juga shalihah, putri Pak Rozaq, seorang pengusaha kaya raya menjadi pilihannya. Meski dari keluarga apa adanya, sebagai muslim idealis, ia tak gentar menemui keluarga Halimah, untuk maju meminang. Terkesan nekat, tetapi begitulah, selama itu adalah kebenaran yang diyakin, pantang bagi Rizqaan untuk bersurut langkah.
Keunikan kisah ini, dimulai ketika Pak Rozaq mau menikahkan mereka, namun dengan satu syarat. Bila dalam sepuluh tahun ia tidak bisa sukses dan membahagiakan Halimah, maka ia harus menceraikannya.

Hidup memang benar-benar penuh hal tak terduga, yang kadang begitu sulit dipercaya. Yang tak jarang memaksa kita untuk menerima realita, bahwa itu memang benar terjadi adanya. Selama sepuluh tahun itu, mereka makin menemukan cinta sejati, cinta hanya karena dan kepada Allah semata. Makin kuat, mengakar dan menghebat, lebih dari apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Mengokohkan jiwa mereka dan menhadapi segala badai yang menerpa, dari kematian ayah Rizqaan dalam kebakaran pabrik, yang juga membangkrutkan usahanya, hingga berujung pada perceraian yang dipaksakan, demi menepati perjanjian. Atau kisah kematian Halimah yang begitu dramatis, sampai kebesaran hati Rizqaan memaafkan ‘dalang’ penyebab kebakaran sekaligus kematian ayahnya.

Pada bab berikutnya, digambarkan latar belakang kehidupan pemuda shalih bernama Rizqaan ini dan juga pemudi shalihah bernama Halimah, yang nampaknya mempunyai beberapa kesamaan dan idealisme yang membuat mereka cocok satu sama lain. Rizqaan adalah seorang penuntut ilmu yang gigih yang langka dimana dikala kalangan pemuda yang lainnya larut dalam kehidupan dunia muda dengan beragam fenomenanya. Halimah adalah sosok muslimah yang teguh menjalani fitrahnya menjadi seorang muslimah kaffah dilingkungan keluarga yang jauh dari nilai agama.

Dan bab-bab selanjutnya adalah torehan tinta dari perjalanan panjang dan melelahkan dari babak-babak kehidupan dua orang muda-mudi dalam mengayuh dayung sebuah biduk kecil bernama rumah tangga yang mereka bangun dengan dasar ketaqwaan kepada Rabb mereka. Bermacam ujian dan cobaan yang digambarkan, namun senantiasa dihadapi oleh mereka dengan suatu sikap yang sudah selayaknya dimiliki oleh seorang muslim. Juga sampai pada masa-masa cobaan yang mereka sudah bukan dalam bentuk kesulitan namun justru suatu nikmat yang bisa saja menjerumuskan mereka ke jurang kenistaan.
Rizqaan memulai perjuangannya memberi nafkah kepada istrinya dengan mencoba berdagang menjajakan roti dari suatu pabrik dari sedikit modal yang dimilikinya. Kedua insan ini memulai hidup dalam keprihatinan, namun mereka tetap sabar dan yakin akan ketentuan yang diberikan Allah kepada mereka. Dari mulai diceritakan saat-saat mereka hanya makan nasi putih dengan garam dan bawang goreng, dan bermacam cobaan lainnya. Berkat kegigihan dan kejujuran Rizqaan dalam berdagang, juga kesabaran Halimah istrinya untuk menerima keadaan mereka dan keuletannya me-manage keuangan rumah tangga. Pelan tapi pasti kehidupan keduanya berangsur membaik. Rizqaan menjadi penjual roti keliling yang sukses, berkat kejujurannya dan teguhnya memegang prinsip agamanya untuk tidak berdekatan dengan segala hal yang berbau haram maupun syubhat yang melingkupi bidang pekerjaannya. Rizqaan adalah tipe pekerja keras, namun ia bukanlah hamba dunia. Ia bekerja keras untuk mendapatkan dunia, namun ia berniat menundukkan dunia itu agar menjadi ladang akhirat baginya. Kehidupan ruhaninya yang dulu pun tak menjadi rusak dikarenakan kesibukannya mencari harta, bahkan Rizqaan yang hanya lulusan SMA ini telah menjelma menjadi sosok yang layak menyandang gelar Al-Ustadz.

Kebahagiaan keduanya lengkap tatkala mereka mendapatkan keturunan dari Allah. Bisnis Rizqaan semakin maju, hingga kini Rizqaan sudah bukan lagi penjaja roti keliling tapi sudah menjadi seorang pengusaha roti yang mempekerjakan beberapa karyawan. Omzetnya pun bukan lagi puluhan ribu seperti ketika awal-awal ia merintis usahanya, namun sudah menjadi puluhan juta. Kerikil-kerikil tajam sudah barang tentu menjadi selingan dalam kehidupannya.

Pada bulan keenam tahun kesepuluh pernikahan mereka adalah puncak kebahagiaan yang mereka rasakan, tidak ada lagi kesusahan dalam hidup mereka. Rizqaan sudah menjadi seorang pengusaha sukses. Rumah mereka bukanlah rumah petak kontrakan ala kadarnya, namun sudah menjadi rumah mewah dengan pabrik roti di belakangnya. Akhirnya memasuki bulan kesebelas kehidupan yang mereka jalani terasa begitu lambat ketika mereka berusaha untuk mempertahankan kehidupan mereka dan menunggu hingga saat tiba bagi Rizqaan untuk membuktikan janjinya kepada mertuanya. Hingga suatu malam tiba, dimana malam itu pada bulan kedua belas dan hari “H” tinggal hanya dua hari lagi terjadi musibah besar yang memporak-porandakan kehidupan yang selama ini mereka bangun dengan susah payah. Kebakaran melanda pabrik dan rumah mereka, menjadikan mereka bukan hanya kehilangan harta benda tetapi juga kehilangan ayah Rizqaan, yang terperangkap dalam kamar sehingga meninggal dunia. Belakangan di akhir cerita diceritakan, bahwa kebakaran tersebut merupakan ulah dari saudara jahat Halimah yang bernama Asyraf agar ayahnya memenangkan perjanjian dan Halimah menikah dengan lelaki lain yang lebih kaya.

Baru beberapa dua hari berselang dari musibah kebakaran tersebut, musibah lain datang menyapa. Hari itu adalah hari final dari perjanjian yang diucapkan Rizqaan saat akad nikah sepuluh tahun yang lalu. Sang mertua (Bapak Halimah) dengan kejamnya menagih janji dari Rizqaan dan menyatakan bahwa Rizqaan tidak dapat memenuhi janjinya, karena saat ini Rizqaan telah menjadi seorang yang bangkrut. Akhirnya dalam pergulatan batin yang hebat sebagai seorang muslim dan muslimah yang menaati Allah dan Rasulnya. Mau tak mau mereka harus menepati janji mereka.
Pada bab-bab selanjutnya dikisahkan bagaimana Rizqaan merintis kembali usahanya yang telah hancur dengan sekuat tenaga dan ketabahannya menghadapi cobaan. Juga dikisahkan bagaimana kehidupan Halimah selanjutnya selepas menyandang predikat sebagai seorang janda yang sangat tidak dia harapkan. Tak lupa bagaimana rintihan putra mereka Nabhaan yang saat itu berusia delapan tahun ketika menanyakan kenapa kehidupannya tidak bisa bahagia seperti dulu lagi.

Sampai pada suatu saat, ketika ada seorang duda kaya raya anak seorang pejabat yang mengutarakan keinginan untuk menikahi Halimah. Dikisahkan inilah sebab mengapa Asyraf, abang Halimah, melakukan perbuatan keji merusak kehidupan rumah tangga Rizqaan dan Halimah. Namun entah apa yang dibicarakan oleh Halimah, duda tersebut dan ayahnya, ketika mereka berniat melamar Halimah, sehingga menjadikan mereka mengurungkan niat untuk melamarnya. Saat diceraikan oleh Rizqaan, Halimah sedang mengandung anak kedua mereka, dan saat menjadi janda kondisi kesehatan Halimah menjadi memburuk dan ternyata Halimah telah divonis menderita leukimia (kanker darah) dengan diagnosa bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Hari-hari berlalu sampai suatu ketika Ayah Halimah menyadari bahwa Halimah tidak akan bisa menikah dengan lelaki lain selain Rizqaan.

Suatu ketika Halimah dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah Rizqaan yang kini telah mapan kembali. Perangai orangtua Halimah, terutama ayahnya sudah berubah, berbanding terbalik dengan saat-saat sebelumnya. Pada saat itu juga Ayah Halimah menyampaikan usulan agar Rizqaan dan Halimah bersatu kembali. Rizqaan tentu tidak menunggu lama untuk mengambil keputusan, sehingga saat itu juga bersedia dinikahkan kembali. Halimah adalah jantung hatinya, walaupun sebelumnya Halimah sudah menceritakan bahwa dia menderita leukemia, dengan hasil diagnosa dokter bahwa usianya sekitar 4 bulan lagi.

Kebahagiaan mereka berlanjut, sampai suatu ketika datang berita bahwa abang sulung Halimah, Asyraf menjadi buronan polisi dikarenakan kasus narkoba dan juga menjadi dalang penyebab kebakaran gudang dan rumah Rizqaan, yang turut menewaskan ayah Rizqaan. Karuan berita itu membuat kegembiraan mereka semua hilang. Ayah Halimah yang kini menjelma menjadi orang baik hati marah besar kepada anaknya tersebut.
Pada saat bersamaan, Halimah jatuh pingsan dan sakit. Leukimianya kian parah. Ketika ia sempat siuman, dia menanyakan pada Rizqaan tentang keikhlasan bila suatu waktu harus “berpisah” dengannya. Sebagai hamba Allah, Rizqaan tentu saja ikhlas. Dan akhirnya janji Halimah dengan Allah SWT tidak bergeser sedetikpun. Dia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan suaminya setelah sebelumnya sempat mengucapkan syahadat beberapa kali.

Itulah sepenggal kisah novel religius “Sandiwara Langit” yang memberi banyak hikmah bagi kita semua. Bukan saja bagi kita seorang Muslim, tetapi juga dijadikan sarana dakwah kepada orang-orang yang belum mengenal Islam dengan sekelumit kaidah-kaidah syariyah di dalamnya.

Istimewa buku ini adalah pemaparan kembali dari kisah nyata benar-benar terjadi, untuk bersama kita petik hikmahnya. Makin memikat, saat penyusun kisah, Ustadz Abu Umar Basyier Al-maedany, juga menyisipkan dalil-dalil Al Qur’an dan Assunnah untuk makin memperkuat bahasan.

Mudah-mudahan sedikit pemaparan dari saya membuat “penasaran” rekan-rekan untuk membaca sendiri kalimat demi kalimat dalam novel tersebut. Saya akan melanjutkan membaca buku yang lain. Mudah-mudahan ada waktu senggang disela-sela banyaknya pekerjaan.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar