Sabtu, 18 Juli 2009

IBU


Dalam seminggu terakhir saya agak kurang mood menulis. Agak susah untuk memulainya, mau menulis tentang apa… Baru tadi malam saya berfikir ; kenapa saya tidak menulis tentang Ibu saya, toh selama ini saya tidak pernah menulis tentang beliau.

Ibu saya bernama Aisyah Umar, sekarang berumur 57 tahun. Beliau merupakan anak perempuan paling bungsu dari keluarga besar Kakek saya, T.Umar Muda Husein, menamatkan PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 Th di Gandapura tahun 1970.
Pada masa mudanya beliau sempat menjadi guru agama pada sebuah SD di Leubu, Kecamatan Makmur, lebih kurang 8 tahun, sebelum berhenti karena ayah saya menginginkan beliau hanya jadi guru anak-anak di rumah. Memori saya masih menyimpan dengan baik sosok Ibu saya sebagai guru agama di sekolah, karena saya juga bersekolah di tempat itu. Sebagai guru di sekolah, beliau juga sangat lembut, sama seperti mendidik kami, anak-anaknya, di rumah. Walaupun saat itu saya masih kecil, namun saya tau, sebenarnya beliau sangat keberatan meninggalkan profesinya itu. Namun, sebagai seorang isteri, beliau akhirnya manut pada kehendak suaminya, ayah saya. Toh menjadi ibu rumah tangga sejati, juga merupakan profesi yang tiada ternilai nikmatnya. Memang bagi sebagian orang, sering menganggap sebelah mata “menjadi ibu rumah tangga”, namun tidak demikian dengan Ibu saya.

Perjalanan “karir” beliau selanjutnya adalah mendidik kami, anak-anaknya yang berjumlah 5 (lima) di rumah. Pendidikan agama ditanamkan kepada kami dengan ketat. Pagi hari saya sekolah, dilanjutkkan dengan mengaji pada siang/petang di dayah dan malam hari di rumah. Beliau adalah sosok yang sangat lembut, seingat saya, belum pernah sekalipun beliau memarahi saya. Kalau saya berbuat kesalahan, paling Ayah saya yang menghukum, bukan Ibu.

Keluarga kami adalah tipe keluarga sederhana. Ayah merupakan seorang PNS. Sebagai PNS golongan rendahan, tentu saja kehidupan ekonomi keluarga sangat pas-pasan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Ibu membantu ayah menerima jahitan. Walau bukan penjahit profesional, namun kegiatan itu sangat membantu ekonomi keluarga. Selain menerima jahitan dari orang lain, Ibu saya juga menjahit sendiri baju anak-anaknya. Kami merasakan sekali sentuhan Ibu, ketika kami memakai baju produk sendiri. Baju sekolah saya dari SD sampai SMA, semua buah tangan beliau. Begitupun dengan baju adik-adik saya (kecuali baju adik paling bungsu barangkali, karena beliau tidak sanggup lagi menjahit). Khusus bagi saya sendiri, baju-baju itu masih tersimpan rapi hingga sekarang di lemari tua, sebagai kenang-kenangan.

Untuk menambah wawasan sebagai IRT, secara rutin ayah saya membelikan berbagai macam majalah untuk Ibu. Selain itu, beliau juga aktif dalam organisasi KB Gampong, PKK, Koperasi gampong dan kegiatan-kegiatah kaum Ibu lainnya. Sehingga eksistensi dan wawasan beliau sebagai wanita tidak ketinggalan dari yang lainnya. Setidaknya untuk ukuran kaum Ibu zaman itu, tahun 70-an sampai 80-an.

Waktu terus berlalu, kehidupan keluarga kami normal-normal saja. Tidak ada konflik keluarga yang berarti. Kalaupun ada perbedaan pendapat atau selisih paham, terutama antara Ibu dan Ayah, hanya merupakan bumbu kehidupan. Keluarga siapa saja pernah mengalaminya.

Selama 23 tahun, keluarga kami hanya di isi 4 orang anggota yang terdiri dari saya dan tiga adik perempuan. Tahun 1997, Allah memberi cahaya mata yang lain bagi kami sekeluarga. Pada usia yang sebenarnya agak rawan, 44 tahun, Ibu saya melahirkan seorang bayi laki-laki yang montok. Dan saat ini, bayi tersebut sudah tumbuh jadi remaja tanggung, 13 tahun. Namanya Asyrifal Mirza. Saya ingat sosoknya hampir sama dengan saya, ketika remaja.

Tahun 2000, ketika saya masih merantau di Jambi, kabar kurang enak saya terima dari adik saya, Tuty Liana. Dia mengabarkan bahwa hasil tes darah di laboratarium, menunjukkan Ibu saya menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) atau kencing manis. Saya seperti tersambar petir menerima kabar itu. Saya membayangkan, kehidupan Ibu yang sangat saya cintai akan diisi dengan meminum obat setiap saatnya. DM merupakan penyakit kronis. Dan sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut agar si penderita akan sehat seperti sedia kala. Yang ada hanyalah obat untuk mengurangi kadar gula dalam darah, itupun harus diimbangi dengan pola makan yang teratur.

Kembali ke pokok persoalan. Bahwa hari-hari selanjutnya, kesehatan Ibu makin menurun, walaupun sampai tahun 2004 beliau tampak sehat dan gemuk. Memasuki tahun 2005 sudah mulai tampak penyakit DM memang menggerogoti tubuhnya, beliau semakin kurus. Ayah saya masih sangat setia mengobati penyakit DM yang diderita Ibu, walaupun bukan dengan obat yang mahal.
Ibu membalas kesetiaan Ayah dengan menjaga pola makannya sendiri, walau sesekali dilanggarnya juga. Beliau masih bersemangat melanjutkan kehidupan dengan mendaftar sebagai Calon jemaah haji, yang entah kapan berangkatnya. Hari-hari diisi dengan menekuni agama di rumah, walaupun pekerjaan rumah tetap dilakukan juga. Rumah kami tidak terbiasa dilayani pembantu.

Sekitar tiga minggu yang lalu, beliau ikut ke Samadua, bersama isteri dan anak-anak saya. Selain menyambangi saya, Ibu juga menggunakan kesempatan untuk berlibur, sama seperti isteri dan anak-anak saya. Jarak antara Bireuen – Samadua sebenarnya lumayan jauh, butuh waktu 12 jam perjalanan darat. Sangat riskan menempuh perjalanan jauh bagi orang yang kurang sehat seperti Ibu. Saya sempat melarang dengan halus agar beliau tidak ikut, tetapi beliau bersikeras untuk menemani menantu dan cucu-cucunya.
Alhamdulillah, dengan semangatnya, malah beliau sangat menikmati kebersamaan dengan kami di Aceh Selatan. Terbukti bobot tubuhnya sedikit bertambah. Dan itu merupakan kebahagiaan bagi saya, walau tidak saya ungkapkan padanya.
Sesungguhnya saya sangat menyayanginya dan selalu berharap dapat melakukan yang terbaik bagi Ibu, sebagaimana diperintahkan Allah SWT melalui firmanNya:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Lukman: 14)

Saya menyadari, sebagai anak belumlah maksimal berbakti kepada orangtua, terutama Ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan saya. Belum lagi bila saya mengingat nasehat-nasehatnya, yang sampai sekarangpun, masih sering disampaikan. Itulah Ibu saya, sosok yang tak tergantikan.

Ibu, aku selalu berdo'a semoga engkau diberi kesehatan, sehingga dapat menunaikan dan melanjutkan tugas yang diberikan Allah SWT kepadamu. Semoga Allah memngampuni dosa-dosamu. Dan maafkan bila aku belum maksimal berbakti kepadamu. Aku selalu bertekad.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar