Jumat, 15 Mei 2009

BOEDIONO DILIHAT DARI BERBAGAI SISI

Menjelang masa akhir pendaftaran Capres/Cawapres ke KPU, sampai saat ini hanya satu pasangan yang sudah memastikan diri menjadi Calon yaitu JK/Wiranto yang diusung oleh Partai Golkar dengan Partai Hanura. Sementara yang lainnya belu ada kepastian. Kasak kusuk yang terdengar adalah masih ada tarik ulur antara satu Calon dengan yang lainnya. Prabowo belum pasti dengan Mega. SBY juga belum mendeklarasaikan diri dengan Boediono sebagai Cawapres. Masih ada berbagai kemungkinan, termasuk pembatalan Boediono sebagai Cawapresnya, walaupun kepastiannya hampir seratus persen.

Bagi orang awam yang jarang membaca berita-berita ekonomi, tentu saja bertanya siapa dan apa kapasitasnya sehingga SBY memilih ybs sebagai Cawapres. Bagi elit, Boediono tidak asing lagi karena beliau adalah Gubernur Bank Indonesia setelah sebelumnya sebagai Menko Perekonomian/Kepala Bappenas.

Pemilihan beliau sebagai Cawapres oleh SBY tentu suatu kehormatan bagi ybs. Dan SBY punya beberapa alasan yang logis, setidaknya menurut SBY, mengapa Boediono yang diusung.....
Alasan pertama tentu saja karena Boediono memenuhi 5 (lima) kriteria yang ditetapkan SBY beberapa waktu yang yaitu integritas, kapabilitas, loyal dan tidak kepentingan politik serta bisa diterima masyarakat.
Alasan selanjutnya adalah rekam jejak Boediono yang baik, sehingga diharapkan akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat maupun dunia internasional. Beliau tidak tersangkut kasus korupsi, karirnya tidak pernah cacat dan selama ini dikenal nentral sehingga bisa masuk ke semua kalangan.
Guru Besar FE UGM dan Doktor Ekonomi Bisnis lulusan Wharton School University of Pennsylvania, AS 1979 ini, terbukti selama menjadi Menkeu pada Kabinet Megawati, Menko Perekonomian pada Kabinet SBY maupun sebagai Gubernur Bank Indonesia.

Selama menjabat Menkeu, ia berhasil membenahi bidang fiskal, masalah kurs, suku bunga dan pertumubuhan ekonomi. Saat baru menjabat Menkeu, langkah pertama yang dilakukannya adalah menyelesaikan Letter of Intent dengan IMF yang telah disepakati sebelumnya serta mempersiapkan pertemuan Paris Club September 2001. Paris Club ini merupakan salah satu pertemuan penting karena menyangkut anggaran 2002. Setelah itu, dia bersama tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong, secara terencana mengakhiri kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) Desember 2003.

Departemen Keuangan di bawah kendali pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu pun berhasil melampaui masa transisi pascaprogram IMF, yang sebelumnya sudah dia ingatkan akan sangat rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa percaya (confidence) pasar. Apalagi kala itu, Pemilihan Umum 2004 juga berlangsung. Kondisi rawan itu pun berhasil dilalui tanpa terjadi guncangan ekonomi.

Dia berhasil menggalang kerjasama dengan Bank Indonesia dan tim ekonomi lainnya, kecuali dengan Kwik Kian Gie yang kala itu tampak berbicara sendiri sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas.

Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia berhasil memperbaiki keuangan pemerintah dengan sangat baik sehingga mampu membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional.

Sebelum menjabat Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong (2001–2004) dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono telah menjabat Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ia juga pernah menjabat Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini memperoleh gelar S1 (Bachelor of Economics (Hons.)) dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, meraih gelar Master of Economics dari Universitas Monash, Australia. Kemudian meraih gelar S3 (Ph.D) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania pada tahun 1979.

Bila melihat sepak terjang Boediono, apalagi dikaitkan dengan Profesionalisme dan pengalaman nya selama ini, rasanya cukup pantas beliau diusung sebagai Cawapres bagi SBY. Namun kita tidak boleh menutup mata, dari sisi politis, pemilihan beliau sebagai kebijakan tidak populis. Kalau dipaksakan akan menjadi sebuah perjudian bagi SBY dalam usaha menduduki kursi Presiden satu periode yang akan datang.

Latar belakang Boediono yang bukan berasal dari unsur Partai Politik diprediksikan akan menggangu jalannya Pemerintahan, bila duet ini terpilih, kelak. Para pengamat politik mengkhawatirkan minimnya dukungan dari parlemen bila ada kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan perlemen.

Sekarang saja kondisi ini sudah terlihat jelas.reaksi keras PKS, PPP, PKB dan PAN yang sebelumnya mengatakan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat. Keempat Partai ini yang kebetulan saja adalah partai Islam, merasa terkejut dan sempat mengancam akan membentuk poros alternatif atau mengalihkan dukungan kepada pasangan Capres-Cawapres lainnya, bila SBY tetap memaksakan memilih Boediono.

Mereka menggelar rapat di salah satu ruangan Fraksi PKS di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa 12/5. Peserta rapat adalah Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq, Sekjen PKS Anis Matta, Ketua F-PPP Lukman Hakim Saifuddin, Ketua F-PAN yang juga Sekjen PAN Zulkifli Hasan, Ketua DPP PAN M Najib, serta Wakil Sekjen PKB Imam Nachrowi.

Seusai rapat, Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq mengatakan pihaknya terkejut dengan informasi itu karena tidak ada pembahasan sebelumnya. Sekjen PKS Anis Matta juga dengan nada kecewa mengaku sudah mendapat pemberitahuan dan undangan menghadiri deklarasi koalisi pendukung SBY pada 15 Mei di Bandung, Jawa Barat. Karena itulah, katanya, partai-partai pendukung SBY merasa perlu mengusung satu sikap apabila putusan soal cawapres itu terus dipaksakan tanpa berbicara dengan anggota koalisi lainnya. Mahfudz Siddiq mengatakan, empat parpol kecewa karena Partai Demokrat mengabaikan aspirasi partai koalisi. Ia mengungkapkan sebelumnya sudah ada aspirasi dari parpol koalisi dan berpandangan lebih baik Cawapres dari parpol agar memiliki kemampuan politik yang lebih kokoh. Mereka juga berharap Cawapres diambil dari partai berbasis Islam.

Menurut Mahfudz Siddiq, sosok Boediono tidak mencerminkan hal tesebut. Karena itu, empat parpol ini bersepakat mengadakan rapat lanjutan untuk membahas sikap yang akan diambil. "Hitung-hitungan kami, kalau PKS dan empat parpol ini gabung dengan Gerindra, terus misalnya kami gabung dengan Hanura dan Golkar. Maka jumlah kursi kita bisa 60 persen di parlemen. Ini poros alternatif," kata Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq, saat jumpa pers, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (12/5).

Malam harinya, mereka (minus PKB) pun melanjutkan pertemuan di Hotel Nikko Jakarta. Pertemuan itu dihadiri Sekjen PKS Anis Matta, Ketua F-PKS DPR Mahfudz Siddiq, Sekretaris F-PKS DPR Abu Bakar Al Habsyi, Wakil Sekjen PPP Roma Hurmuziy, dan Fungsionaris PAN M Najib. Dalam pertemuan, mereka mempertanyakan dan membahas sejumlah kriteria yang pernah disampaikan SBY terkait Cawapres yang akan digandengnya jika SBY akhirnya benar menggandeng Boediono.

Seusai pertemuan, mereka menggelar konferensi pers. "Kalau lihat kriteria akseptabilitas dan mendukung koalisi yang kuat, apa alasannya memilih Boediono?" kata Anis bernada tanya. Mereka pun menilai sikap SBY dan Demokrat yang secara serta-merta memilih Boediono, tidak menjunjung tinggi tata krama komunikasi politik. Padahal, dalam koalisi, hal yang paling krusial adalah komunikasi dan koordinasi di antara peserta koalisi.

Menurut Sekjen PKS Anis Matta, hal inilah yang mengecewakan mereka sebagai mitra koalisi yang membutuhkan pola komunikasi ideal. "Yang menjadi perhatian kami adalah pola pengambilan keputusannya. Kita tidak tahu konsideritasnya," tutur Anis seusai pertemuan di Hotel Nikko, Selasa (12/5).

Begitu pula Wakil Sekjen PPP Romahurmuzi merasa harga diri partainya cukup dilangkahi dengan keputusan sepihak Demokrat tersebut. "Ini masalah harga diri partai. Mereka harusnya ingat masih ada gerbong panjang ke belakang," tutur Romahurmuzi.

Sehubungan dengan itu, mereka sepakat untuk meneruskan pembicaraan mengenai hal ini dalam komunikasi yang lebih tinggi lagi, yaitu komunikasi di kalangan pimpinan PKS, PAN, PPP dan PKB.

Namun pada waktu yang hampir bersamaan, Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Mensesneg Hatta Rajasa dan Menseskab Sudi Silalahi mengadakan pertemuan dengan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Sekjen PAN Zulkifli Hasan, di Wisma Negara. Menurut Hatta Rajasa, Presiden PKS Tifatul Sembiring juga diundang tetapi tidak hadir. Tetapi ketika hal ini dikonfirmasi pers kepada Tifatul, ia mengaku tidak memperoleh undangan. "Ya tidak diundang dan kita tidak tahu, mungkin miss di mana kita tidak tahu," jelasnya.

Seusai pertemuan ini, Hatta Rajasa kepada pers mengungkapkan bahwa kepada para Ketua Umum Parpol itu diberikan penjelasan kemudian didiskusikan mengenai Cawapres pilihan SBY. “Saya kira kuncinya adalah komunikasi menjelaskan itu,” jelas Hatta. Menurut Hatta Rajasa, pemilihan Boediono sudah melalui pertimbangan dan proses yang cukup panjang, tidak ada titipan. Langkah itu dilakukan guna menegakkan sistem presidensial. “Maka sebaiknya cawapres dipilih capresnya. Karena memang demikianlah kita berkomitmen menegakkan sistem presidensial,” ujar Hatta.

Di tengah kabar kepastian SBY memilih Boediono sebagai Cawapres, tengah berproses komunikasi politik antara Partai Demokrat dengan PDIP. Boediono dikenal dekat dengan Megawati dan PDIP. Namun, Sekjen PDIP Pramono Anung mengatakan dipilihnya Boediono bukan atas titipan PDIP.

Sementara, pengamat politik J Kristiadi menilai Keputusan SBY memilih Boediono, seorang ekonom profesional tanpa partai pendukung, sebagai Cawapres pendampingnya dalam pilpres mendatang, mencerminkan kepercayaan diri SBY dan Partai Demokrat. Menurutnya, pilihan itu menegaskan bahwa SBY lebih memprioritaskan kecocokan personal ketimbang kepentingan koalisi di parlemen. Namun, Kristiadi mengingatkan, hati-hati, jangan rasa percaya diri ini begitu kentara karena nanti bisa jadi bumerang.

Kristiadi mengapresiasi ketegasan sikap Boediono sebagai sosok ekonom profesional dalam mengatasi sejumlah persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Namun, ia menilai Boediono lemah dalam manuver politik.

Kristiadi merasa kuatir, bagaimana nanti pasangan yang keduanya adalah sosok akademis, ini memimpin negara yang penuh dengan lika-liku politik. Karena itu, kata Kristiadi, mereka harus memiliki seorang tokoh penghubung antara pemerintah dan parlemen.

Sementara mengenai reaksi kekecewaan dan protes para petinggi partai koalisi pendukung Partai Demokrat atas pilihan SBY meminang Boediono sebagai Cawapres, Kristiadi merasa tidak mengerti kenapa parpol-parpol itu marah. "Bukankah mereka sejak awal sudah memberi sinyal kepada SBY untuk menggunakan hak prerogratifnya memilih Cawapresnya?" ujar pengamat politik dari CSIS itu.

Kristiadi kuatir, jangan-jangan kemarahan parpol-parpol koalisi Demokrat ini hanya sandiwara untuk menaikan posisi tawar politik guna mendapat jatah kursi lebih banyak di kabinet. "Atau jangan-jangan ada kelompok lain yang bermain, misalnya mungkin Gerindra mulai mendekati mereka dan memberi tawaran yang lebih menarik dan partai-partai ini mencari alasan untuk bisa hengkang dari koalisi dengan Demokrat," ucapnya.

Penuhi Kriteria

Sementara itu, pagi keesokan harinya, Rabu (13/5), Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum kepada pers mengatakan, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono mendekati lima kriteria dasar Cawapres yang dirilis SBY. "Memang tidak ada yang sempurna. Dari lima hal dasar cawapres yang disampaikan Pak SBY, jatuhlah pilihan pada Pak Boediono," kata Anas.

Kelima kriteria itu adalah pertama, memiliki integritas yang ditandai kepribadian dan moral yang tinggi termasuk moral politik. Kedua, memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan tugas negara.

Ketiga, mempunyai loyalitas kepada kepala pemerintahan dan bebas dari konflik kepentingan. Keempat, diterima oleh mayoritas rakyat. Kelima, mampu meningkatkan kekokohan efektifitas koalisi pemerintahan.

Namun, menurut Anas, bukan berarti calon-calon lain yang diajukan oleh partai mitra koalisi tidak memenuhi kriteria tersebut. "Semua calon sama-sama baik, tapi capres perlu diberi ruang yang cukup untuk memilih mana yang terbaik," jelas Anas.

Menurut Anas, Presiden dan Wapres, harus merupakan dua tokoh yang bisa saling menerima dengan ikhlas dan memiliki tingkat kecocokan kimiawi yang tinggi sehingga bisa bekerja sama. Perihal keluhan mitra koalisi yang tak merasa diajak berkomunikasi, Anas mengatakan sudah melakukan pertemuan dengan PKB, PAN, dan PPP, tapi PKS tidak mengirimkan perwakilan partainya.

Lebih tegas dan jelas, Anas Urbaningrum mengatakan, pembicaraan koalisi yang dilakukan Partai Demokrat dengan mitra koalisi sejak awal menekankan pada kecocokan platform dan agenda kerja, bukan soal cawapres.

Menurut Anas, sebelumnya Partai Demokrat sudah menyampaikan bahwa mengenai posisi Cawapres pendamping Capres SBY, sepenuhnya diserahkan kepada SBY. "Sejak awal, koalisi memang agendanya bukan bagi-bagi jatah. Pembicaraan koalisi tidak diawali dengan pembicaraan Cawapres dan jatah kabinet, tapi platform dan agenda 5 tahun yang akan datang agar partai-partai koalisi konsisten dengan platform. Pendirian Partai Demokrat sudah disampaikan kepada rekan-rekan partai yang akan berkoalisi, sebaiknya soal Cawapres diserahkan ke SBY" kata Anas.

Kontrak Politik

Perihal kontrak politik, Anis Matta mengungkapkan sudah ada konfirmasi dari Demokrat bahwa rencana penandatanganan kontrak politik di antara partai-partai koalisi yang sedianya dilakukan 13 Mei 2009, ditunda. Namun, katanya, Partai Demokrat tidak memberikan alasan penundaan waktu penandatanganan kontrak politik. Ke depan, katanya, nota kesepahaman hanya ditandatangani secara multilateral, tidak bilateral seperti kesepakatan sebelumnya.

Sebelumnya, PKS telah mengajukan draft kontrak politik dengan SBY dan Partai Demokrat yang secara substantif antara lain menekankan agar pemerintahan koalisi memprioritaskan alternatif pengambilan keputusan yang Islami dan mengutamakan jabatan-jabatan penting kepada yang beragama Islam.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa banyak sisi yang menjadi pertimbangan bagi SBY sehingga memilih Boediono, setelah dengan berbagai pertimbangan yang matang. Namun dalam dunia politik, kita tidak boleh hanya memandang hanya dari sudut pandang kita sendiri. Ada dinamika lain yang harus menjadi perhatian dan menjadi bahan pertimbangan. Karena kadang kala, apa yang menurut kita sudah baik (sesuai dengan standar kita), namun dari kacamata pihak lain belum sepenuhnya baik. Untuk seharusnya SBY mengakomodir berbagai pertimbangan yang disampaikan oleh rekan-rekan partai yang berkoalisi, dengan cara yang lebih bijak dan tidak meruntuhkan kewibawaannya sebagai Capres sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai pemenang Pemilu 2009.

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar