Selasa, 12 Mei 2009

POLITIK : KEPENTINGAN ABADI

Ungkapan yang sering kita dengar dari para pelaku politik bahwa “dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada kepentingan yang abadi” tampak benar adanya. Ungkapan tersebut bukan hanya jargon politik atau sekedar omong kosong belaka. Sejarah perpolitikan Indonesia sudah memberi bukti.

Pada masa Orde Lama, bagaimana akhir dari perpaduan ''Duo Proklamator'' kita...? Ketika awal berdiri Republik ini hubungan mesra keduanya merupakan spirit bagi rakyat dan pejuang kemerdekaan dalam menahan gempuran NICA untuk mempertahankan kemerdekaan. Endingnya adalah sangat kontra produktif dengan semangat Proklamasi. Mohammad Hatta mengundurkan diri dengan kepala tegak sebagai Wapres karena merasa tidak seiring sejalan lagi dengan Presiden dalam membangun Indonesia.

Pada masa Orde Baru setali tiga uang. Soeharto membangun ''kerajaan''nya dengan berbagai cara yang tidak polpuler dimata rakyat. Orang-orang dekatnya yang sama-sama pernah berjuang mengganyang PKI, seperti Sarwo Edhie Wibowo dan AH. Nasution ditinggalkannya begitu saja karena berbeda haluan politik serta mengganggu ''kepentingan'' kekuasaan. Sarwo Edhie ''dibuang'' menjadi Duta Besar ke beberapa negara. AH. Nasution tidak berkutik di dalam negeri. Walaupun dikalangan meliter beliau sangat dihormati, namun dimata Soeharto, beliau adalah rival yang selalu harus diwaspadai gerak-geriknya.
Dan sesungguhnya bukan hanya Sarwo Edhie dan AH. Nasution saja, banyak tokoh lainnya yang bernasib sama, termasuk Hoegeng. Hanya saja mereka berdua adalah dua kisah paling nyata dan ditulis dalam sejarah.

Pada masa Orde Reformasi, kejadian yang sama terulang lagi. Hanya saja pelakonnya berbeda.
Amin Rais dkk dari garis Islam Reformis (kata pers) menggalang kekuatan untuk menghadang Megawati agar tidak terpilih sebagai Presiden. Padahal semua orang tahu, PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 1999 sangat pantas maju memimpin negeri ini, ketika itu.
Amin Rais dkk menggalang kekuatan poros tengah untuk ''menaikkan'' Gus Dur menjadi Presiden. Dan berhasil.
Jadilah Indonesia menjadi bahan ''tertawaan'' sebahagian kalangan karena memilih seorang Presiden yang tidak dapat melihat, namun dapat mendengar (bisikan). Padahal kita tau, sebelum era Reformasi, hubungan Gus Dur dengan Amin Rais sebenarnya kurang mesra. Gus Dur sebelumnya adalah Ketua NU, sementara Amien Rais adalah Ketua DPP Muhammadiyah.
Jelas sekali ada politik kepentingan saat itu, yang tidak bisa dikatankan ''demi rakyat''......

Apa dinyana..... kesempatan Gus Dur untuk bersenang-senang di Istana tidak sampai satu periode. Pada tahun 2001, Sidang Istimewa MPR di bawah komando Amien Rais, sang teman, memaksa Gus Dur keluar dari Istana Kepresidenan dengan celana pendek. Sungguh naif. Dan kejadian juga akan dicatat dalam lembaran sejarah bangsa ini.
Kasihan sekali.... namun sekali lagi, apa mau dikata. Politik itu kejam, kata sebagian orang.

Pada akhir tahun 2003, hubungan SBY sebagai Menteri pada Kabinet Gotong Royong dengan Megawati mulai tidak harmonis. Mega saat itu, mencium gelagat tidak baik dari gerak gerik SBY yang sudah mempersiapkan diri menuju Pemilu 2004. Ending dari hubungan yang tidak stabil itu adalah ketika Ketua Dewan Pembina PDI Perjuangan yang juga suami Mega, Taufik Kiemas, menuduh SBY kekanak-kanakan karena ''memprotes'' kebijakan Mega yang tidak mengundang- nya dalam Rapat di Istana. Padahal rapat itu membahas kondisi keamanan di Aceh, merupakan job-nya SBY sebagai Menko Polkam.
Akhirnya SBY keluar dari Kabinet dan mempersiapkan diri untuk maju sebagai Presiden pada Pemilu 2004. Kedua orang ini menjadi kompetitor dalam hajatan yang diselenggarakan oleh KPU.
Hubungan keduanya tidak harmonis lagi. Bukan hanya berbeda haluan politik, namun juga tidak saling bertegur sapa sebagai sesama Muslim. Sampai saat ini.
Bahkan beberapa waktu yang lalu, sebelum pemungutan suara, keduanya saling mengejek. Awalnya diawali oleh Mega yang mengkritik BLT. Tidak berapa lama SBY, dengan gaya khasnya yang low profile, membalas atau mementahkan semua ''tuduhan'' Mega di hadapan ratusan ribu massa yang menghadiri kampanye Partai Demokrat di Senayan.

Suhu politik makin tinggi. Setelah pemungutan suara dan LSI mengumumkan hasil Quick count-nya dengan menempatkan Partai Demokrat pada rangking teratas, semua pihak melakukan ziz zag, bermanuver layaknya di lintasan arena balapan Formula Satu. Sebelum JK-Wiranto mendeklarasikan diri, arah koalisi sudah nampak mengerucut kepada dua blok. Blok PDI Perjuangan + Partai Golkar melawan Partai Demokrat, dkk.
Namun setelah JK-Wiranto menyatakan kepada publik ''Lebih Cepat, Lebih Baik'' hubungan koalisi seakan mencair lagi. Apalagi setelah Prabowo menyatakan dirinya hanya bersedia menjadi Capres, bukan Cawapres, arah koalisi makin tidak jelas.

Sesuatu yang mengejutkan terjadi lagi. Para tokoh politik seakan ingin mengulang sejarah, dalam dunia politik tidak ada kawan maupun lawan abadi. Hubungan Partai Demokrat dengan PDI Perjuangan yang selama ini berada dalam dua kutub yang berbeda, mencair ke arah yang lebih baik.
Dalam sepekan terakhir,terjadi pendekatan yang serius mengenai kemungkinan akan bergabungnya PDI Perjuangan ke dalam koalisi yang sedang dibangun Partai Demokrat. Persoalan harga diri Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati terpaksa dikesampingkan demi terbentuknya bangunan koalisi besar pemerintahan mendatang jika SBY terpilih kembali pada Pilpres 8 Juli 2009.

Bagi penggagas, pendukung, atau kader PDI Perjuangan yang prokoalisi baru ini, pendekatan antara PDI Perjuangan dan Partai Demokrat membuka peluang bagi PDI Perjuangan untuk masuk ke dalam pemerintahan mendatang. Sebaliknya, bagi mereka yang kontra, koalisi ini merendahkan harga diri Megawati dan harkat PDI Perjuangan yang selama lima tahun terakhir beroposisi terhadap pemerintahan SBY-JK. Ini juga menunjukkan betapa elite politik di PDI Perjuangan sudah mengaku kalah sebelum bertanding.

Memang hubungan kedua partai ini baru tahap penjajakan. Namun, dengan berbagai pertimbangan yang rasional masing-masing partai, tidak mustahil hubungan ini akan berlanjut, walaupun Megawati harus rela merubuhkan kepercayaan para rekan-rekan partai lain yang terlanjur mendeklarasikan Koalisi Besar Parlemen, beberapa waktu yang lalu. Bisa saja Megawati tidak maju sebagai Presiden, namun cukup mendapat ''jatah'' Menteri dari Kabinet SBY yang akan datang.

Semua kemungkinan bisa terjadi. Inilah arena politik. Layak-lah bila di akhir tulisan kita ulang kembali jargon lama '
“dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada kepentingan yang abadi”...............
Mari kita simak langkah mereka selanjutnya........

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar