Jumat, 15 Mei 2009

HIKMAH PENGHARAMAN BABI

Di dalam Al Qur’an, sekurang-kurangnya Allah SWT memberikan larangan memakan babi pada empat surat yang berlainan. Pertama Allah SWT melarangnya dalam surat Al Baqarah ;
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al Baqarah: 173).

Berikutnya, dalam surat Ali Imran, Allah SWT mengulangi kembali larangan-Nya. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….” (QS Ali Imran: 3).

Kemudian, seperti hendak menegaskan, Allah SWT melarang lagi pada surat Al An’am ayat 145 ;

“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Pada surat An Nahl, Allah SWT kembali mengingatkan manusia atas larangan memakan binatang yang satu ini.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an Nahl: 115).

Betapa sayangnya Allah SWT pada hamba-Nya. Tentu saja ada hikmah, apalagi ketika Allah mengulang-ulang perintah atau larangan-Nya yang ada dalam Al Qur’an. Dalam sebuah buku berjudul Hidangan Islami, karya Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, terbetik sebuah kisah tentang dialog seorang ulama besar, Muhammad Abduh dengan seorang yang mempertanyakan pengharaman babi dalam Islam. Peristiwa ini terjadi di Perancis, dimana bagi masyarakat setempat, daging babi adalah makanan sehari-hari.

Sang penanya mengajukan argumentasi, “Kalian, umat Islam mengatakan bahwa babi haram karena babi memakan sampah dan mengandung cacing pita, mikroba-mikroba serta bakteri juga ada di dalam babi. Hal itu sudah tidak ada lagi, karena babi diternak dalam peternakan modern dengan kebersihan yang terjamin, juga prosesnya steril. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya?”

Syekh Muhammad Abduh dikisahkan tak menjawab dengan buru-buru. Beliau meminta untuk dibawakan dua ekor ayam jantan dan satu ayam betina. Syekh Muhammad Abduh juga meminta dua ekor babi jantan dan seekor babi betina. Hadirin bertanya-tanya tentang permintaan itu. “Saya akan perlihatkan pada kalian sebuah rahasia,” ujar Syekh Muhammad Abduh dengan tenang.

Maka dilepaslah dua ekor ayam jantan dan seekor ayam betina di dalam satu kandang. Tak perlu waktu lama, dua ekor ayam jantan bertarung dengan hebatnya untuk mendapatkan betina, hingga satu diantaranya kalah. Kini giliran babi. Dua ekor babi jantan dan seekor babi betina, dilepas dalam kandang yang sama. Kali ini semua hadirin menyaksikan pemandangan yang berbeda.

Babi jantan yang satu membantu sesama jantan untuk melampiaskan hasrat seksualnya pada babi betina, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan menjaga dan membela babi betina. “Saudara-saudara, daging babi membunuh ghirah orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang laki-laki, tanpa rasa cemburu melihat dan membiarkan istrinya bersama laki-laki lain. Seorang bapak membiarkan anak perempuannya bersama laki-laki lain tanpa perasaan was-was. Itulah sifat-sifat yang menular dari babi pada siapa saja yang memakannya,” ujar Syekh Muhammad Abduh.

Kisah di atas adalah bagian kecil yang diungkap oleh para ulama tentang hikmah larangan memakan babi yang ditentukan Allah SWT. Ketika Swine Influenza merebak, para ahli kedokteran buru-buru memberikan keterangan, bahwa tak ada hubungan sama sekali antara flu babi dan memakan daging babi. Tentu saja hampir semua paham, bahwa memakan daging babi tak memiliki kaitan dengan virus flu babi. Tapi pernyataannya pun bisa dijadikan semacam logika terbalik, “Tak makan saja bisa terserang, apalagi mereka yang memakan. Ibarat pemancar bertemu dengan receiver.”

Salah satu argumentasi ilmiah pernah disebutkan oleh DR. Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman. “Memakan daging babi yang terjangkit cacing babi tidak hanya berbahaya, tapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolesterol dan memperlambat proses penguraian protein di dalam tubuh. Akibatnya mudah terserang kanker usus, iritasi kuilt, eksim, rematik dan banyak lagi. Bukankah sudah kita ketahui bahwa virus-virus influenza yang berbahaya bisa hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi,” ujar DR Hoffman.

Kajian ilmiah yang dilakukan oleh DR Muhammad Abdul Khair juga menemukan fakta menarik. Di negara-negara yang penduduknya mengonsumsi daging babi, jenis penyakit meningkat cukup drastis. Sementara di negeri-negeri Islam angkanya cukup rendah. Hasil penelitian ini pernah dipresentasikan dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang “Penyakit Alat Pencernaan” di Sao Paulo pada tahun 1986.

Sebenarnya, bukan agama Islam saja yang dalam ajarannya melarang umatnya memakan daging babi. Dalam Alkitab, pada Ulangan 14: 08, juga terdapat larangan memakan babi. Tapi terjadi perdebatan karena dalam ayat ini tertulis babi hutan.

Flu babi yang dalam bahasa klinis disebut dengan kode H1N1, sesungguhnya juga bukan virus baru. Banyak peristiwa dalam sejarah yang menyebutkan bahwa virus ini telah memakan korban yang besar. Pada tahun 1918, virus ini telah membunuh lebih dari 20 juta manusia yang hari itu jumlahnya tentu belum sebanyak sekarang. Bahkan ada data yang menyebutkan, lebih dari 40 juta jiwa meninggal karena flu babi. Virus ini berjangkit dari kuman-kuman yang ada pada babi dan menular pada tentara Amerika pada Perang Dunia I. Mobilisasi militer akhirnya membuat virus ini menyebar dengan cepat dan ganas.

Pada tahun 1957, muncul kasus Asian Flu dan juga Flu Hongkong yang terjadi pada tahun 1968. Virus-virus ini bermula dari babi dan telah memakan korban hampir dua juta orang. Pada kurun yang sama, tahun 1950-an, pemerintah Amerika pernah merilis bahaya mengonsumsi daging babi. Washington Post pada 31 Mei 1952 pernah memuatnya sebagai berita utama.

Temuan menarik yang tak bisa dianggap enteng oleh para ilmuwan adalah penelitian yang dipimpin oleh DR.Yoshihiro Kawaoka dari Universitas Winsconsin beserta 12 saintis lainnya. Hasil penelitian mereka diturunkan dalam Journal of Virology pada tahun 1997 dan menyebutkan bahwa kerongkongan babi memiliki sel-sel tertentu yang mampu mengubah berbagai kuman menjadi virus berbahaya yang mengancam jiwa manusia. Bukan hanya jurnal ilmiah, kantor berita seperti BBC pun pernah mengulas secara luas peran babi yang menjadi pemicu virus-virus ganas dalam sejarah kesehatan dunia.

Wahyu dan akal, ilmu dan iman, dalam dunia ilmiah seperti kedokteran, tak semestinya dipisahkan. Wahyu dan iman sepatutnya dijadikan pijakan untuk selanjutnya ditelusuri melalui ilmu dan akal. Kasus pengharaman babi yang diturunkan melalui larangan Allah, tentu bertujuan baik untuk manusia. Dan tugas kita mencari dan menggalinya secara ilmiah.

Berbagai virus yang ada di dunia menemukan tempat inkubasi yang sangat strategi dalam hewan seperti babi. Kemudian bermutasi menjadi virus-virus ganas yang menjangkiti para pemakan babi. Selanjutnya, para pemakan babi akan menularkan virus-virus tersebut kepada orang-orang yang bahkan menyentuh babi pun tak pernah. Inilah kesimpulan yang dihasilkan oleh para ilmuwan yang mempelajari kasus flu burung yang menghebohkan dunia belum lama ini.

Profesor Robin Weiss dari Institut Kajian Kanker London menemukan, bahwa daging babi memiliki banyak virus yang tak bisa dipisahkan atau dimatikan dari dagingnya karena virus-virus tersebut dibawa babi dalam DNA-nya. Lewat kajian yang dilakukannya, akhirnya Robin Weiss berhasil membuat pemerintah Inggris mengeluarkan larangan transplantasi organ babi pada manusia. (Campaign for Responsible Transplantation - Press Releases 1998, New Biotech Partnership Threatens Public Health, Oct. 21 1998)

Sungguh, Maha Besar dengan segala perintah dan larangan-Nya. Andai saja manusia berendah hati, tak pongah dan merasa mengetahui banyak hal di dunia, tentu kita akan mendapatkan banyak hikmah dari satu larangan saja. Larangan Allah pada daging babi, ternyata menyimpan rahasia yang mampu menyelamatkan manusia.


Shanty Hayuningtyas
, dimuat di Sabili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar