Minggu, 24 Mei 2009

MAKNA SEBUAH PILIHAN

Pada “RENUNGAN DIRI” secara sekilas saya menulis pernah merantau. Benar…

Dan sebenarnya bukan hanya merantau dalam arti fisik yang saya alami. Saya memaknai bukan hanya dengan mencatat bahwa saya pernah doyan mpek-mpek, pernah layari Batanghari setiap hari, pernah melihat gundulnya hutan Jambi dan bertegur sapa dengan suku Anak Dalam.


Ketika saya merantau, sesungguhnya saya juga mengalami masa-masa transformasi kebudayaan (maaf bila saya sok menggunakan bahasa Budayawan). Saya mengalami perkembangan jiwa dan perkembangan kepribadian.

Pada poin pertama, tentu saja saya sekeluarga harus hidup dengan lingkungan yang serba Jambi. Ada kalanya kami harus menyesuaikan tradisi sehari-hari dengan tradisi Kasang, yang berbeda dengan ketika berada di Aceh. Sedangkan pada poin kedua, saya merasa makin berkembang selama bekerja di sana. Seiring makin terpupuknya rasa percaya diri, saya aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Dan seringkali, karena kondisi, saya terpaksa maju ke depan menjadi “imam” bagi teman-teman. Dan lumrah saja, sebagai manusia biasa, tentu ada kepemimpinan yang berhasil dan yang gagal. Sayapun demikian. Hanya saja saya tidak ingin mencatat kepemimpinan yang sukses. Saya selalu teringat dengan kempimpinan yang tidak berhasil…..


Kisahnya adalah ketika saya didaulat oleh rekan-rekan memimpin organisasi serikat pekerja. Saya tidak menolak, karena saya pikir kami harus memperjuangkan nasib pekerja (dan buruh). Dan saya tertantang sekali….


Ketika tahun-tahun awal Reformasi, suasana Indonesia sangat kacau. Para petinggi Negara sibuk. Sebagian yang merasa dirinya pelopor robohnya Orde Baru, sibuk membagi-bagikan kue kekuasaan sesama “Reformis”. Sebagian lagi yang terlanjur mendapat stempel sebagai sisa-sisa Orde Baru, sibuk mencari dukungan kesana kemari agar bisa diikutkan dalam gerbong kaum “Pendobrak” dan menjadi Pahlawan kesiangan…..

Para pemuda, mahasiswa, pelajar dan juga pekerja tidak ketinggalan. Saya dan rekan-rekan pekerja menggunakan moment itu untuk memperjuangkan nasib. Idealisme sebagai pekerja (yang selama Orde Baru termarginal-kan) mencuat. Jati diri sebagai orang yang punya andil terhadap keberhasilan perusahaan tempat kami bekerja kami salurkan dengan cara-cara yang positif. Semangat perjuangan kami, para pekerja,salurkan dalam wadah yang legal.

Perjuangan kami berjalan apa adanya…..

sampai suatu ketika saya harus memutuskan; melanjutkan idealisme atau berhenti. Saya harus istikharah untuk saya dapat keputusan; berhenti ! Bukan sebuah pilihan yang bijak. Berhari-hari saya merenungi pilihan itu. Namun, kerana sesuatu sebab, saya harus memilih…….berhenti berjuang disana. Saya yakini bahwa saya bisa “berjuang” pada tempat yang berbeda dan bidang yang saya geluti pun berbeda. Dan kemudian terbukti ketika saya memberi kontribusi sebagai penyelenggara Pemilu di Kabupaten Bireuen, periode 2003-2008.


Namun satu hal yang tak akan saya lupakan adalah dukungan dari teman-teman pada keputusan saya, walaupun secara jujur mereka mengakui “kehilangan”…. Dan saya ingat pernah menulis sebuah puisi kepada mereka. Baru-baru ini seorang teman yang sekarang menjadi petinggi perusahaan tempat kami bekerja,dulu, mengirim kembali puisi lama itu……


BERHENTI


Sahabat…!

Saat langkah kita belum menoreh jejak

Ketika kita masih setengah perjalananan

Dan belum bisa wujudkan mimpi-mimpi

Aku harus berhenti melangkah….

Sahabat…!

Aku tak bisa menjangkau lagi

Pulau yang akan engkau tuju

Laut pisahkan semangat kita

Bagimu, saatnya kini menatap

Gelombang demi gelombang

Tuk lanjutkan episode demi episode

Menuju cita-cita mulia

Maafkan,

Aku tak bisa temani

Layari hari selanjutnya



Karya; Mukhlis Aminullah


Semoga kisah dan cerita di atas menjadi sebuah kenangan bagi saya. Hidup memang kadang harus memilih. Setiap pilihan ada konsekwensi-nya, apakah itu baik ataupun buruk.


Mukhlis Aminullah, berdomisili di Bireuen, Aceh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar