Minggu, 24 Mei 2009

CEMPAKA MULIA

Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak rekan pembaca (terutama peminat sastra) untuk menoleh ke belakang.


Amir Hamzah, seorang pujangga yang termasyur, meninggalkan berbagai karya yang sangat indah untuk dikenang. Berbahagialah Indonesia, memiliki bakat dan talenta yang luar biasa pada diri seorang anak negeri, Amir Hamzah.

Saya mengumpulkan sebagian puisi dan sajak dari berbagai sumber, yang merupakan warisan sang penyair untuk kita. Namun sebelum kita membaca sajak demi sajak, tentu lebih elok bila kita mengetahui riwayat beliau. Ringkas saja…….


Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur.

Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita.

Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai.

Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para Sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung.

Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.


Berikut ada beberapa hasil karya Amir Hamzah untuk dikenang.

CEMPAKA MULIA


Kalau kulihat tuan, wahai suma

kelopak terkembang harum terserak

hatiku layu sejuk segala

rasakan badan tiada dapat bergerak

Tuan tumbuh tuan hamba kembang

di negeriku sana di kuburan abang

kemboja bunga rayuan

hatiku kechu melihat tuan

Bilamana beta telah berpulang

wah, semboja siapatah kembang

di atas kuburku, si dagang layang?

Kemboja, kemboja bunga rayuan

hendakkah tuan menebarkan bibit

barang sebiji di atas pangkuan

musafir lata malang berakit?

Melur takku mahu

mawar takku suka,

sebab semboja dari dahulu

telah kembang di kubur bonda

kemboja bunga rayuan

musafir anak Sumatera

Pulau Perca tempat pangkuan

bilamana fakir telah tiada.



PURNAMA RAYA

Purnama raya

bulan bercahaya

amat cuaca

ke mayapada

Purnama raya

gemala berdendang

tuan berkata

naiklah abang

Purnama raya

bujang berbangsi

kanda mara

memeluk dewi

Purnama raya

bunda mengulik

nyawa adinda

tuan berbisik.

Purnama raya

gadis menutuk

setangan kuraba

pintu diketuk

Purnama raya

bulan bercengkerama

beta berkata

tinggallah nyawa

Purnama raya

kelihatan jarum

adinda mara

kanda dicium

Purnama raya

cuaca benderang

permata kekanda

pulanglah abang...



BUAH RINDU 1


Dikau sambur limbur pada senja

dikau alkamar purnama raya

asalkan kanda bergurau senda

dengan adinda tajuk mahkota.

Dituan rama-rama melayang

didinda dendang sayang

asalkan kandaa selang-menyelang

melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku ini laksana pemburu

memikat perkutut di pohon ru

sepantun swara laguan rindu

menangisi kelana berhati mutu.

Kelana jauh duduk merantau

di balik gunung dewala hijau

di Seberang laut cermin silau

Tanah Jawa mahkota pulau...

Buah kenanganku entah ke mana

lalu mengembara ke sini sana

haram berkata sepatah jua

ia lalu meninggalkan beta.

ibu, lihatlah anakmu muda belia

setiap waktu sepanjang masa

duduk termenung berhati duka

laksana Asmara kehilangan seroja.

Bonda waktu tuan melahirkan beta

pada subuh kembang cempaka

adakah ibu menaruh sangka

bahawa begini peminta anakda?

Wah kalau begini naga-naganya

kayu basah dimakan api

aduh kalau begini laku rupanya

tentulah badan lekaslah fani.



Itulah beberapa karya yang sangat cerdas. Mari kita lestarikan karya anak bangsa.

Mukhlis Aminullah, penikmat sastra, berdomisili di Bireuen, Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar