Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak rekan pembaca (terutama peminat sastra) untuk menoleh ke belakang.
Amir Hamzah, seorang pujangga yang termasyur, meninggalkan berbagai karya yang sangat indah untuk dikenang. Berbahagialah Indonesia, memiliki bakat dan talenta yang luar biasa pada diri seorang anak negeri, Amir Hamzah.
Saya mengumpulkan sebagian puisi dan sajak dari berbagai sumber, yang merupakan warisan sang penyair untuk kita. Namun sebelum kita membaca sajak demi sajak, tentu lebih elok bila kita mengetahui riwayat beliau. Ringkas saja…….
Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur.
Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.
Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita.
Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai.
Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para Sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung.
Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.
Berikut ada beberapa hasil karya Amir Hamzah untuk dikenang.
CEMPAKA MULIA
Kalau kulihat tuan, wahai suma
kelopak terkembang harum terserak
hatiku layu sejuk segala
rasakan badan tiada dapat bergerak
Tuan tumbuh tuan hamba kembang
di negeriku sana di kuburan abang
kemboja bunga rayuan
hatiku kechu melihat tuan
Bilamana beta telah berpulang
wah, semboja siapatah kembang
di atas kuburku, si dagang layang?
Kemboja, kemboja bunga rayuan
hendakkah tuan menebarkan bibit
barang sebiji di atas pangkuan
musafir lata malang berakit?
Melur takku mahu
mawar takku suka,
sebab semboja dari dahulu
telah kembang di kubur bonda
kemboja bunga rayuan
musafir anak Sumatera
Pulau Perca tempat pangkuan
bilamana fakir telah tiada.
PURNAMA RAYA
Purnama raya
bulan bercahaya
amat cuaca
ke mayapada
Purnama raya
gemala berdendang
tuan berkata
naiklah abang
Purnama raya
bujang berbangsi
kanda mara
memeluk dewi
Purnama raya
bunda mengulik
nyawa adinda
tuan berbisik.
Purnama raya
gadis menutuk
setangan kuraba
pintu diketuk
Purnama raya
bulan bercengkerama
beta berkata
tinggallah nyawa
Purnama raya
kelihatan jarum
adinda mara
kanda dicium
Purnama raya
cuaca benderang
permata kekanda
BUAH RINDU 1
Dikau sambur limbur pada senja
dikau alkamar purnama raya
asalkan kanda bergurau senda
dengan adinda tajuk mahkota.
Dituan rama-rama melayang
didinda dendang sayang
asalkan kandaa selang-menyelang
melihat adinda kekasih abang.
Ibu, seruku ini laksana pemburu
memikat perkutut di pohon ru
sepantun swara laguan rindu
menangisi kelana berhati mutu.
Kelana jauh duduk merantau
di balik gunung dewala hijau
di Seberang laut cermin silau
Tanah Jawa mahkota pulau...
Buah kenanganku entah ke mana
lalu mengembara ke sini sana
haram berkata sepatah jua
ia lalu meninggalkan beta.
ibu, lihatlah anakmu muda belia
setiap waktu sepanjang masa
duduk termenung berhati duka
laksana Asmara kehilangan seroja.
Bonda waktu tuan melahirkan beta
pada subuh kembang cempaka
adakah ibu menaruh sangka
bahawa begini peminta anakda?
Wah kalau begini naga-naganya
kayu basah dimakan api
aduh kalau begini laku rupanya
tentulah badan lekaslah fani.
Mukhlis Aminullah, penikmat sastra, berdomisili di Bireuen, Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar