Sabtu, 21 Februari 2009

Menginterpretasi Hadis-hadis Nabi

Dalam ajaran Islam, hadis menempati posisi kedua setelah Alquran. Meskipun demikian, hadis tetap memiliki nilai yang tidak berbeda dengan Alquran, karena baik Alquran maupun hadis, merupakan fundamental bangunan Islam yang saling menunjang satu sama lain.

Selain itu, pada hakikatnya, Alquran dan hadis itu sama-sama wahyu, hanya saja tingkatan 'kesakralannya' berbeda. Jika Alquran langsung dari Allah, baik melalui perantara Jibril maupun langsung kepada Nabi Muhammad, dengan redaksi menurut jumhur ulama asli dari Allah tanpa ada keterlibatan Nabi maupun Jibril, hadis sifatnya lebih kepada ilham, yakni Allah mengilhamkan kepada Nabi, lalu beliau mengungkapkannya, baik melalui ucapan, perbuatan, sifat, maupun ketetapan beliau sendiri (Manna Khalil Qaththan, Mabahits fi 'Ulumil Quran).

Sebagai bagian dari ajaran Islam yang juga fundamental, hadis memiliki setidaknya tiga fungsi dalam relasinya dengan Alquran. Pertama, ia berfungsi memperkuat apa yang ada di dalam Alquran. Kedua, ia berfungsi menjelaskan hal-hal di dalam Alquran yang bersifat global. Dan, ketiga, ia berfungsi menjelaskan segala hal yang tidak terjelaskan secara tekstual di dalam Alquran (Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh).

Dari sini jelaslah bahwa memahami Alquran tanpa keberadaan hadis merupakan sesuatu yang hampir mustahil, meski tidak sedikit ayat-ayat di dalam Alquran yang bisa dipahami secara langsung tanpa perlu melibatkan hadis. Sekelompok orang yang menamakan dirinya 'Ahlul Qur'an' meyakini bahwa Alquran sudah cukup bisa dipahami dengan sendirinya, tanpa perlu bantuan hadis. Meski kadang kelompok ini disebut sebagai Inkarul Hadits, apa yang mereka yakini jelas memberikan gambaran bahwa tidak semua kaum Muslimin menjadikan hadis sebagai sesuatu yang fundamental.

Strata hadis yang di bawah Alquran memang menjadi sesuatu yang terkadang problematis. Mayoritas kaum Muslimin membutuhkan hadis seperti kebutuhannya kepada Alquran, namun 'tidak berani' menempatkan hadis dalam level yang sama dengan Alquran. Alasannya memang beragam. Padahal, dalam banyak ayat Alquran maupun hadis-hadis Nabi disebutkan bahwa Alquran dan hadis itu dalam posisi sejajar, hanya saja jumhur ulama memaknai kesejajaran ini dalam pengertian perurutan. Simak misalnya firman Allah yang menyebutkan perintah untuk taat kepada-Nya (Alquran) dan taat kepada Nabi-Nya (hadis/sunah):

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul (QS An-Nisa: 59). Ayat yang senada antara lain: QS Al-Maidah: 92, QS An-Nur: 54, QS Muhammad: 33, dan QS At-Taghabun: 34.Ada pula ayat-ayat yang tidak menyertakan kata 'taatlah' kepada Rasul, seperti,Katakanlah, 'Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul (QS Ali Imran: 32). Ayat-ayat yang senada dengan ini antara lain: QS Al-Anfal: 1, 20, 46 dan QS Al-Mujadilah: 13.

Inilah antara lain yang melatari perbedaan di kalangan ulama tentang posisi hadis yang di bawah Alquran ataupun setara. Namun, jumhur ulama memahami itu sebagai urutan, terutama kalangan ulama fikih ketika membuat sebuah hukum yang meniscayakan keberadaan hadis di nomor dua setelah Alquran. Hal ini diperkuat dengan salah satu riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Nabi mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, beliau bertanya kepadanya, ''Bagaimana kamu memutuskan hukum ketika ada yang memintanya kepadamu?'' Mu'adz menjawab, ''Aku akan memutuskannya sesuai dengan Kitabullah (Alquran).'' Nabi bertanya lagi, ''Bagaimana jika tidak kamu temukan di dalam Kitabullah?'' Mu'adz menjawab, ''Aku akan memutuskannya sesuai dengan sunah (hadis) Rasulullah.''
Nabi bertanya lagi, ''Bagaimana jika tidak kamu temukan di dalam Kitabullah dan sunah Rasulullah?'' Mu'adz menjawab, ''Aku akan memutuskannya dengan ijtihadku sendiri, dan aku tidak akan melampaui batas.''

Nabi pun menepuk dada Mu'adz sambil berkata, ''Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah ini karena membuat Rasulullah ridha.'' (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Darimi, Ahmad, Thabrani, dan Baihaqi).Secara umum, jumhur ulama tidak membeda-bedakan hadis dengan Alquran (Ali Mustafa Ya'qub, Peran Ilmu Hadits dalam Pembinaan Hukum Islam).

Keduanya setara, namun kesetaraan ini dalam konteks bahwa keduanya sama-sama ajaran fundamental ajaran Islam, bukan kesetaraan dalam kekuatan dilalah. Alasannya, Alquran tetap berbeda dengan hadis. Alquran terjamin otentisitas redaksinya, sementara hadis tidak demikian, karena tidak sedikit, bahkan banyak, yang redaksinya dibuat sendiri oleh para Sahabat Nabi atau para perawi hadis (riwayat hadis dengan makna). Keragaman ini sangat mungkin terjadi, karena para Sahabat maupun perawi hadis memiliki daya tangkap yang berbeda-beda ketika mendengar hadis Nabi. Karena itu, dalam ilmu hadis ada yang disebut dengan riwayat hadis bil lafzh, yakni persis sesuai dengan apa yang diucapkan Nabi, dan bil ma'na, yakni tidak persis sesuai dengan yang diucapkan Nabi, tapi maknanya sama.

Sebagai ajaran fundamental seperti halnya Alquran, hadis perlu dipahami. Karena, seperti halnya Alquran, juga tidak sedikit ditemukan hadis-hadis yang ternyata secara redaksional saling bertolak belakang satu sama lain. Inilah yang di dalam ilmu hadis melahirkan ilmu mukhtalaful hadits, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara redaksional kontradiktif Hal ini tentu saja perlu diselesaikan untuk mendapatkan maksud yang sesungguhnya. Setidaknya, ada empat metode yang dilakukan oleh para ulama hadis untuk menyelesaikan.
Pertama, menggunakan metode 'jama', yakni hadis-hadis itu dikompromikan.
Kedua, metode 'tarjih', yakni mengambil hadis yang lebih kuat.
Ketiga, metode 'naskh mansukh', yakni melihat ada tidaknya kemungkinan satu hadis sudah dihapus hukumnya dengan hadis yang lain.
Dan, keempat, metode 'waqaf', yakni membiarkan hadis tersebut tetap apa adanya demikian, sebelum ditemukan dalil yang menengahinya.

Dalam konteks yang lebih luas, tidak sekadar memahami hadis-hadis yang kontradiktif satu dengan yang lainnya, ada beberapa petunjuk yang mesti menjadi pegangan dalam memahami hadis-hadis Nabi seperti yang ditulis oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, yakni:
Pertama, memahami hadis hendaknya harus sesuai dengan petunjuk Alquran.
Kedua, menghimpun hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
Ketiga, penggabungan atau pen-tarjih-an antara hadis yang tampak bertentangan.
Keempat, memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi, dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya.
Kelima, membedakan antara sarana yang berubah dan sasaran yang tetap.
Keenam, membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz. Ketujuh, membedakan antara alam gaib dan alam kasat mata.
Kedelapan, memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis.

Memahami hadis dengan memerhatikan delapan hal itu dengan catatan bahwa sumber-sumbernya sudah dipastikan keshahihannya, meski tidak shahih seratus persen, setidaknya sudah taraf shahih, minimal hasan. Tidak hanya shahih sanadnya, namun shahih matannya. Dan, dalam konteks hadis-hadis shahih inilah pemahaman terhadap hadis dilakukan.

Wallahu'alam.......

ditulis oleh Fajar Kurnianto
(Peneliti The Fajar Institute for Islam and Culture Studies, Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar