Islam dan tradisi di Pulau Jawa pada abad
ke-19 kurang lebih sama seperti yang masih dipraktekkan sebagian orang Jawa di
Suriname kini. Hilangnya kontak komunikasi dengan Pulau Jawa sekian lama
menjadikan pengetahuan dan tradisi yang dipraktekkan mereka tidak berkembang
secara sama dan sebangun dengan yang ada di Jawa.
Topik tentang Suriname selalu menjadi topik menarik di negeri ini. Faktor utamanya, karena sebagian penduduk di sana, sekitar 75.000 orang, atau sekitar 15% penduduk Suriname, adalah orang Jawa. Mereka, yang keturunan dari sekitar 33.000 orang etnis Jawa yang dibawa Belanda ke negeri itu tahun 1890-1939, terkonsentrasi di sejumlah distrik, seperti Commewijne, Saramacca, dan Nickerie.
Etnis Jawa di Suriname adalah etnis keempat
terbesar setelah Creole (campuran Belanda dan Afrika), Hindustan (India), dan
Marun (Afrika).
Suriname sendiri mungkin adalah negara dengan keberagaman yang tertinggi di dunia. Etnis yang ada di negara itu meliputi Creole, India, Jawa, Marun (Afrika), Cina, Indian Amerika, Lebanon, dan Brazil. Agama yang tercatat meliputi Kristen, Hindu, Islam, Winti, dan berbagai keyakinan asli yang belum diberi nama. Negeri ini juga adalah contoh negara yang sangat toleran terhadap perbedaan.
Suriname sendiri mungkin adalah negara dengan keberagaman yang tertinggi di dunia. Etnis yang ada di negara itu meliputi Creole, India, Jawa, Marun (Afrika), Cina, Indian Amerika, Lebanon, dan Brazil. Agama yang tercatat meliputi Kristen, Hindu, Islam, Winti, dan berbagai keyakinan asli yang belum diberi nama. Negeri ini juga adalah contoh negara yang sangat toleran terhadap perbedaan.
Republik Suriname, yang terletak di Amerika
Selatan, adalah negara terkecil di benua Amerika. Luasnya hanya sekitar 163
ribu kilometer persegi. Akan tetapi, dari segi demografi penduduk, negara ini
boleh jadi yang paling berwarna dengan keragaman etnik, budaya, dan agama.
Republik yang dulunya bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda ini merupakan
bekas jajahan Belanda.
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad
ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba menguasai Guyana,
suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon,
Rio Negro, Sungai Cassiquiare, dan Sungai Orinoco.
Semula dataran ini oleh para ahli kartografi
diberi nama Guyana Karibania. Guyana berarti dataran luas yang dialiri banyak
sungai, dan Karibania, dari kata Caribs, yaitu nama penduduk asli yang
pertama kali mendiami dataran tersebut.
Dalam suatu cerita fiktif El Dorado,
Guyana digambarkan sebagai suatu wilayah yang kaya kandungan emas. Sebagian
ahli sejarah memperkirakan, cerita fiktif itu merupakan salah satu faktor yang
mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasai Guyana.
Terbanyak di Benua Amerika
Orang-orang Belanda telah berkuasa di Suriname
sejak tahun 1667. Sebelumnya, negara ini dijajah oleh bangsa Spanyol,
Portugis, dan Inggris. Penduduk aslinya adalah orang-orang Indian, etnik asli
benua Amerika.
Dulu, Belanda sangat bergantung dengan hasil
perkebunan Suriname. Ribuan budak didatangkan dari Afrika Barat sejak tahun
1700-an untuk dipekerjakan di ladang-ladang tebu, kapas, cokelat, dan kopi.
Orang-orang Afrika Barat inilah yang membawa agama Islam pertama ke negara
tersebut.
Tahun 1863, Kerajaan Belanda mengakhiri sistem
perbudakan. Tindakan ini membawa perubahan terhadap keberlangsungan pekerjaan
di perladangan negara-negara jajahan, termasuk Suriname. Banyak bekas budak
yang kemudian meninggalkan ladang-ladang untuk mencari penghidupan lebih baik.
Menyadari situasi tersebut dapat mengganggu
perekonomian, Belanda pun melakukan usaha penyelamatan. Direkrutlah tenaga
buruh-buruh kontrak yang digaji sangat murah. Mereka sebahagian diambil dari
beberapa negara dan wilayah jajahannya, termasuk dari Jawa.
Untuk kali pertama, kelompok pekerja pendatang
Jawa sebanyak 94 orang tiba di Suriname, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 1890,
setelah menempuh perjalanan panjang dengan menggunakan kapal Prins Willem II.
Mereka direkrut oleh De Nederlandsche Handle Maatschappij dan selanjutnya
dipekerjakan di perladangan tebu dan perusahaan gula Marrienburg. Empat tahun kemudian, perusahaan yang sama
mendatangkan kelompok kedua yang terdiri atas 582 orang Jawa.
Sejak tahun 1890 hingga 1930, sebanyak 32.965
pekerja kontrak keturunan Jawa bekerja di Suriname.Menurut perjanjian kontrak, mereka akan bekerja
selama lebih kurang lima tahun. Setelah itu, para pekerja boleh memilih tetap
tinggal di Suriname atau pulang ke Jawa. Banyak di antara mereka yang pulang ke Jawa,
namun sebahagian lagi memilih menetap di Suriname. Kehadiran mereka kian
mengukuhkan agama Islam di negara ini, lantaran warga Jawa tersebut kebanyakan
muslim.
Berdasarkan sensus terakhir, muslim Suriname mewakili sekitar 13% dari keseluruhan penduduk negara tersebut. Namun berbagai sumber tidak resmi menyebut angka hingga mencapai 20%. Angka ini menjadikan Suriname sebagai salah satu negara dengan persentase muslim tertinggi di benua Amerika. Selain oleh bekas budak Afrika Barat dan keturunan Jawa, jejak Islam Suriname juga dibawa orang-orang Pakistan dan Afghanistan, yang hampir semua penduduknya adalah muslim Sunni.
Sangat Diperhitungkan
Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara. Namun, tak sedikit yang dibawa paksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, Batak, dan berbagai daerah lainnya di Nusantara. Karena etnis Jawa yang dominan, semua keturunan mereka kini semuanya “menjadi” orang Jawa.
Karena orang Jawa banyak tersebar di Suriname,
di sana orang akan menemui desa bernama, misalnya, Tamanredjo dan Tamansari.
Orang Jawa Suriname sesungguhnya tetap punya
kerabat di tanah Jawa, walau di antara mereka hidup berjauhan dan terpisahkan
oleh samudera. Itu sebabnya, bahasa Jawa tetap lestari di bumi Suriname.
Saat mengetahui Indonesia sudah merdeka, tahun 1945, banyak orang Jawa yang berharap dapat kembali ke Indonesia. Namun hanya sedikit di antara mereka yang bisa kembali.
Tahun 1975, saat Suriname merdeka dari Belanda,
orang-orang, termasuk orang Jawa, diberi pilihan: tetap di Suriname, atau ikut
pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya
tetap di Suriname.
Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, mereka dilarang menikah dengan anak-cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak-cucunya dilarang saling menikah.
Rata-rata orang Jawa Suriname beragama Islam,
walau ada sedikit yang beragama lain. Suriname sendiri kini merupakan salah
satu anggota Organisasi Konferensi Islam.
Orang Jawa Suriname sekarang adalah keturunan
ketiga atau keempat dari nenek moyang mereka yang dijadikan tenaga kontrak
Belanda itu. Namun kini mereka tidak lagi menjadi tenaga kontrak seperti
embah-embahnya dulu, karena Suriname sudah merdeka. Mereka telah menghirup
udara bebas di alam kemerdekaan.
Secara ekonomi, kehidupan mereka relatif mapan. Jumlah penduduk sedikit dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, hampir-hampir tidak ditemukan fakir miskin. Hampir tak ada pengangguran di sana, kecuali mereka yang bermalas-malas. Disiplin kerja begitu tinggi dan setiap orang dihargai berdasarkan prestasinya. Tidak dikenal uang pelicin untuk melancarkan urusan di berbagai instansi. Urusan segera dikerjakan sepanjang waktu memungkinkan. Penghargaan terhadap waktu begitu tinggi. Apabila seseorang terlambat beberapa menit saja, urusan tidak dapat diproses.
Latar belakang suku asal mereka masih sangat
diperhitungkan dalam percaturan politik negara tersebut. Hal itu terlihat
dalam kelompok-kelompok organisasi masyarakat dan politik yang masih sangat
kental akan warna suku dan ras. Ada partai dari suku Hindustan, Creole, Jawa,
dan lain-lain.
Kentalnya latar belakang suku mendatangkan
problematik tersendiri bagi Suriname. Mereka dulu datang dari berbagai negara
(Afrika, India, Jawa, Cina) tidak karena kemauannya sendiri, melainkan dipaksa
datang sebagai budak atau tenaga kontrak dengan latar belakang kultur yang
berbeda. Kondisi tersebut masih sangat dominan pada masa kemerdekaan kini,
hingga mereka sulit disatukan atas nama kebangsaan. Mereka sangat berpegang
teguh pada sukuisme dan primordialisme.
Shalat Menghadap ke Barat
Pada awalnya, masyarakat muslim Suriname secara umum memeluk agama sekadar mewarisi agama nenek moyangnya. Ini dikarenakan karena kebanyakan mereka memang datang ke Suriname dengan bekal pendidikan agama yang terbilang minim.
Pada kasus masyarakat muslim Jawa, umpamanya,
kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama Islam Jawa abangan, yang hanya
mengenal Islam sekadar nama dan lebih kental dengan unsur tradisi dan budaya
Jawa. Hal itu terlihat, misalnya, kenapa hingga sekarang sebahagian dari
mereka masih mempertahankan shalat menghadap ke Barat, seperti nenek moyang
mereka di Jawa, padahal Suriname berada di sebelah barat Ka’bah.
Dulu, ketika orang Jawa ini tiba di Suriname, mereka membuat masjid menghadap ke barat, sesuai dengan yang biasa dilakukan ketika di Jawa. Ketika para dai mulai semakin banyak yang berdatangan ke sana, mereka pun membuat masjid menghadap ke timur, yang lebih tepat, karena menghadap ke kota Makkah.
Dapat disimpulkan, Islam dan tradisi di Pulau Jawa pada abad ke-19 kurang lebih sama seperti yang masih dipraktekkan sebagian orang Jawa di Suriname kini. Hilangnya kontak komunikasi dengan Pulau Jawa sekian lama menjadikan pengetahuan dan tradisi yang dipraktekkan mereka tidak berkembang secara sama dan sebangun dengan yang ada di Jawa.
Saat masa-masa sulit dulu, kesatuan dan
kekerabatan orang Jawa memang dipertahankan melalui tradisi yang bernapaskan
keislaman. Selamatan dan upacara tradisi, seperti sunatan, mitoni, pernikahan,
hari-hari peringatan kematian, mereka lakukan, bahkan masih terus berlangsung
hingga sekarang. Tentang selamatan atas peringatan kematian seseorang, bahkan
berlangsung hingga satu tahun, dua tahun, dan satu windu.
Sejalan perkembangan zaman, pemahaman mereka terhadap Islam semakin membaik. Meski sebagian muslim di sana masih ada yang disebut “aliran barat”, atau sering pula disebut “wong madhep ngulon” (yang shalatnya menghadap ke barat), namun kesadaran beragama Islam telah semakin meningkat pada masyarakat Islam Suriname secara keseluruhan.
Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan
nenek moyang, tapi dipeluk dengan penuh kesadaran. Lambat laun, kini Islam
tidak saja dijadikan sebagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah
cara hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Fenomena seperti itu dapat dengan mudah ditemui di mana-mana, di kota, perkampungan, pasar, dan jalan-jalan. Berpakaian muslim menjadi pemandangan yang telah biasa di tengah-tengah kecenderungan fashion ala Barat. Sahut-menyahut ucapan salam simbol Islam pun semakin sering terdengar. Bukan hanya di antara muslim Jawa, tetapi ucapan salam juga kerap terucap di berbagai etnis muslim Suriname.
Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin tercerahkan itu bukan terjadi dengan sendirinya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan, dan masjid dalam melakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar.
Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya
menghidupkan api Islam di Suriname dari yang paling tradisional sampai yang
paling modern, dari yang baru tahap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab
hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar, simposium, radio, televisi, dan
internet. Dakwah pun meluas ke semua anak negeri.
Geliat itu begitu terasa hingga pemeluk Islam
bukan saja orang Jawa dan Hindustan, tapi juga satu per satu orang-orang negro
dan kulit putih pun mencintai dan masuk Islam.
Cahaya Islam Bersinar Terang
Perserikatan milik umat Islam keturunan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), termasuk salah satu lembaga yang berandil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Organisasi ini memiliki masjid terbesar di kota Paramaribo, ditambah 14 masjid lain yang berada dalam binaannya. Organisasi yang bermadzhab Hanafi itu mengelola sekolah-sekolah dan dua panti asuhan anak yatim yang cukup bagus.
Meskipun dikelola para pengurus dari keturunan India, terbuka kegiatannya untuk seluruh umat Islam. Bahkan salah satu imam masjid terbesar itu adalah seorang ustadz keturunan Jawa. Para pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunan bukan India.
Stichting der Islamitische Gemeenten in Suriname
(SIS), Yayasan Islam Suriname, adalah lembaga paling berpengaruh di Suriname
dari kalangan suku Jawa yang membawa obor perubahan bagi kebangkitan Islam.
Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Nabawi, dengan 54 masjid lainnya
berada dalam binaannya tersebar luas di distrik Paramaribo dan
distrik-distrik lain. Empat madrasah formal yang didirikan sejak tahun ‘80-an
menjadi cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penempaan sejak dini tentang
kesadaran beragama Islam.
Sekolah-sekolah itu diikuti oleh murid-murid dari berbagai suku dan agama, tidak hanya Jawa dan Islam. Di madrasah-madrasah itu, apa pun latar belakangnya, semua harus mengikuti pelajaran Islam dan kepribadian muslim. Dakwah yang sangat strategis. Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika sekolah atau seusai mengikuti pendidikan. Bahkan keluarga mereka pun akhirnya ikut memeluk Islam, seperti anak-anak mereka yang belajar di sekolah-sekolah itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan anak yatim dan panti jompo.
Organisasi kalangan Jawa abangan (Ngulonan, karena shalat menghadap ngulon, barat), seperti Federatie van Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS), terus-menerus diajak dialog secara kelembagaan ataupun pribadi-pribadi hingga satu per satu menemukan kebenaran itu. Bahkan para pemimpin Ngulonan pun sesungguhnya telah mengetahui kebenaran itu dan mudah-mudahan segera dibukakan pintu hidayah. Maka muncullah masjid-masjid baru dengan gerakan pencerahan Islam yang menjadi pusat bagi terbitnya cahaya Islam, seperti masjid Ansharullah, masjid Asy-Syafi’iyah Islam, masjid Rahmatullah Islam, dan lain-lain.
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar