Jumat, 12 Juli 2013

ISLAM DI SURINAME



Islam dan tradisi di Pulau Jawa pada abad ke-19 kurang lebih sama seperti yang masih dipraktekkan sebagian orang Jawa di Suriname kini. Hilangnya kontak komunikasi dengan Pulau Jawa sekian lama menjadikan pengetahuan dan tradisi yang dipraktekkan mereka tidak berkembang secara sama dan sebangun dengan yang ada di Jawa.

Topik tentang Suriname selalu menjadi topik menarik di negeri ini. Faktor utamanya, karena sebagi­an penduduk di sana, sekitar 75.000 orang, atau sekitar 15% penduduk Suri­name, adalah orang Jawa. Mereka, yang  keturunan dari sekitar 33.000 orang etnis Jawa yang dibawa Belanda ke negeri itu tahun 1890-1939, terkonsentrasi di sejumlah distrik, seperti Commewijne, Saramacca, dan Nickerie.
Etnis Jawa di Suriname adalah etnis keempat terbesar setelah Creole (cam­pur­an Belanda dan Afrika), Hindustan (India), dan Marun (Afrika).

Suriname sendiri mungkin adalah negara dengan keberagaman yang tertinggi di dunia. Etnis yang ada di negara itu meliputi Creole, India, Jawa, Marun (Afrika), Cina, Indian Amerika, Lebanon, dan Brazil. Agama yang tercatat meliputi Kristen, Hindu, Islam, Winti, dan berba­gai keyakinan asli yang belum diberi nama. Negeri ini juga adalah contoh negara yang sangat toleran terhadap perbedaan.
Republik Suriname, yang terletak di Amerika Selatan, adalah negara terkecil di benua Amerika. Luasnya hanya seki­tar 163 ribu kilometer persegi. Akan te­tapi, dari segi demografi penduduk, ne­gara ini boleh jadi yang paling berwarna dengan keragaman etnik, budaya, dan agama. Republik yang dulunya bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda ini merupakan bekas jajahan Belanda.
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad ke-15, yaitu ketika bangsa-bangsa imperialis Eropa berlomba me­nguasai Guyana, suatu dataran luas yang terletak di antara Samudera Atlan­tik, Sungai Amazon, Rio Negro, Sungai Cassiquiare, dan Sungai Orinoco.
Semula dataran ini oleh para ahli kartografi diberi nama Guyana Kari­ba­nia. Guyana berarti dataran luas yang dialiri banyak sungai, dan Karibania, dari kata Caribs, yaitu nama penduduk asli yang pertama kali mendiami dataran tersebut.
Dalam suatu cerita fiktif El Dorado, Guyana digambarkan sebagai suatu wilayah yang kaya kandungan emas. Sebagian ahli sejarah memperkirakan, cerita fiktif itu merupakan salah satu fak­tor yang mendorong orang-orang Eropa untuk bersaing menguasai Guyana.

Terbanyak di Benua Amerika

Orang-orang Belanda telah berkuasa di Suriname sejak tahun 1667. Sebelum­nya, negara ini dijajah oleh bangsa Spa­nyol, Portugis, dan Inggris. Penduduk aslinya adalah orang-orang Indian, etnik asli benua Amerika.
Dulu, Belanda sangat bergantung dengan hasil perkebunan Suriname. Ri­buan budak didatangkan dari Afrika Ba­rat sejak tahun 1700-an untuk dipekerja­kan di ladang-ladang tebu, kapas, co­kelat, dan kopi. Orang-orang Afrika Barat inilah yang membawa agama Islam per­tama ke negara tersebut.
Tahun 1863, Kerajaan Belanda meng­akhiri sistem perbudakan. Tindak­an ini membawa perubahan terhadap ke­berlangsungan pekerjaan di perla­dangan negara-negara jajahan, terma­suk Suriname. Banyak bekas budak yang kemudian meninggalkan ladang-ladang untuk mencari penghidupan lebih baik.
Menyadari situasi tersebut dapat mengganggu perekonomian, Belanda pun melakukan usaha penyelamatan. Direkrutlah tenaga buruh-buruh kontrak yang digaji sangat murah. Mereka se­bahagian diambil dari beberapa negara dan wilayah jajahannya, termasuk dari Jawa.
Untuk kali pertama, kelompok peker­ja pendatang Jawa sebanyak 94 orang tiba di Suriname, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 1890, setelah menempuh per­jalanan panjang dengan menggunakan kapal Prins Willem II. Mereka direkrut oleh De Nederlandsche Handle Maat­schappij dan selanjutnya dipekerjakan di perladangan tebu dan perusahaan gula Marrienburg.  Empat tahun kemudian, perusahaan yang sama mendatangkan kelompok ke­dua yang terdiri atas 582 orang Jawa.
Sejak tahun 1890 hingga 1930, se­banyak 32.965 pekerja kontrak keturun­an Jawa bekerja di Suriname.Menurut perjanjian kontrak, mereka akan bekerja selama lebih kurang lima ta­hun. Setelah itu, para pekerja boleh me­milih tetap tinggal di Suriname atau pulang ke Jawa. Banyak di antara mereka yang pu­lang ke Jawa, namun sebahagian lagi me­milih menetap di Suriname. Kehadir­an mereka kian mengukuhkan agama Islam di negara ini, lantaran warga Jawa tersebut kebanyakan muslim.

Berdasarkan sensus terakhir, muslim Suriname mewakili sekitar 13% dari ke­seluruhan penduduk negara tersebut. Na­mun berbagai sumber tidak resmi menyebut angka hingga mencapai 20%. Angka ini menjadikan Suriname sebagai salah satu negara dengan persentase muslim tertinggi di benua Amerika. Se­lain oleh bekas budak Afrika Barat dan keturunan Jawa, jejak Islam Suriname juga dibawa orang-orang Pakistan dan Afghanistan, yang hampir semua pen­duduknya adalah muslim Sunni.

Sangat Diperhitungkan

Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara. Namun, tak sedikit yang dibawa paksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang di­bawa, namun juga ada orang-orang Ma­dura, Sunda, Batak, dan berbagai dae­rah lainnya di Nusantara. Karena etnis Jawa yang dominan, semua keturunan mereka kini semuanya “menjadi” orang Jawa.
Karena orang Jawa banyak ter­sebar di Suriname, di sana orang akan mene­mui desa bernama, misalnya, Taman­redjo dan Tamansari.
Orang Jawa Suriname sesungguh­nya tetap punya kerabat di tanah Jawa, walau di antara mereka hidup berjauhan dan terpisahkan oleh samudera. Itu se­babnya, bahasa Jawa tetap lestari di bumi Suriname.

Saat mengetahui Indonesia sudah merdeka, tahun 1945, banyak orang Jawa yang berharap dapat kembali ke Indonesia. Namun hanya sedikit di an­tara mereka yang bisa kembali.
Tahun 1975, saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang, termasuk orang Jawa, diberi pilihan: tetap di Suri­name, atau ikut pindah ke Belanda. Ba­nyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname.

Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, mereka dilarang menikah dengan anak-cucu orang sekapal atau satu ke­rabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersau­dara dan anak-cucunya dilarang saling menikah.
Rata-rata orang Jawa Suriname ber­agama Islam, walau ada sedikit yang ber­agama lain. Suriname sendiri kini merupakan salah satu anggota Orga­nisasi Konferensi Islam.
Orang Jawa Suriname sekarang ada­lah keturunan ketiga atau keempat dari nenek moyang mereka yang dijadi­kan tenaga kontrak Belanda itu. Namun kini mereka tidak lagi menjadi tenaga kontrak seperti embah-embahnya dulu, karena Suriname sudah merdeka. Me­reka telah menghirup udara bebas di alam kemerdekaan.

Secara ekonomi, kehidupan mereka relatif mapan. Jumlah penduduk sedikit dengan kekayaan alam yang begitu me­limpah, hampir-hampir tidak ditemukan fakir miskin. Hampir tak ada pengang­guran di sana, kecuali mereka yang ber­malas-malas. Disiplin kerja begitu tinggi dan setiap orang dihargai berdasarkan pres­tasinya. Tidak dikenal uang pelicin untuk melancarkan urusan di berbagai instansi. Urusan segera dikerjakan se­panjang waktu memungkinkan. Peng­hargaan terhadap waktu begitu tinggi. Apabila seseorang terlambat beberapa menit saja, urusan tidak dapat diproses.
Latar belakang suku asal mereka ma­sih sangat diperhitungkan dalam per­caturan politik negara tersebut. Hal itu terlihat dalam kelompok-kelompok orga­nisasi masyarakat dan politik yang masih sangat kental akan warna suku dan ras. Ada partai dari suku Hindustan, Creole, Jawa, dan lain-lain.
Kentalnya latar belakang suku men­datangkan problematik tersendiri bagi Suriname. Mereka dulu datang dari ber­bagai negara (Afrika, India, Jawa, Cina) tidak karena kemauannya sendiri, me­lainkan dipaksa datang sebagai budak atau tenaga kontrak dengan latar bela­kang kultur yang berbeda. Kondisi terse­but masih sangat dominan pada masa kemerdekaan kini, hingga mereka sulit disatukan atas nama kebangsaan. Me­reka sangat berpegang teguh pada su­kuisme dan primordialisme.

Shalat Menghadap ke Barat

Pada awalnya, masyarakat muslim Suriname secara umum memeluk aga­ma sekadar mewarisi agama nenek mo­yangnya. Ini dikarenakan karena keba­nyakan mereka memang datang ke Suri­name dengan bekal pendidikan agama yang terbilang minim.
Pada kasus masyarakat muslim Jawa, umpamanya, kebanyakan mereka berasal dari tradisi agama Islam Jawa abangan, yang hanya mengenal Islam sekadar nama dan lebih kental dengan unsur tradisi dan budaya Jawa. Hal itu terlihat, misalnya, kenapa hingga se­karang sebahagian dari mereka masih mempertahankan shalat menghadap ke Barat, seperti nenek moyang mereka di Jawa, padahal Suriname berada di se­belah barat Ka’bah.

Dulu, ketika orang Jawa ini tiba di Suriname, mereka membuat masjid meng­hadap ke barat, sesuai dengan yang biasa dilakukan ketika di Jawa. Ketika para dai mulai semakin banyak yang berdatangan ke sana, mereka pun membuat masjid menghadap ke timur, yang lebih tepat, karena menghadap ke kota Makkah.

Dapat disimpulkan, Islam dan tradisi di Pulau Jawa pada abad ke-19 kurang lebih sama seperti yang masih dipraktek­kan sebagian orang Jawa di Suriname kini. Hilangnya kontak komunikasi de­ngan Pulau Jawa sekian lama menjadi­kan pengetahuan dan tradisi yang di­praktekkan mereka tidak berkembang secara sama dan sebangun dengan yang ada di Jawa.
Saat masa-masa sulit dulu, kesatuan dan kekerabatan orang Jawa memang dipertahankan melalui tradisi yang ber­napaskan keislaman. Selamatan dan upacara tradisi, seperti sunatan, mitoni, pernikahan, hari-hari peringatan kemati­an, mereka lakukan, bahkan masih terus berlangsung hingga sekarang. Tentang se­lamatan atas peringatan kematian seseorang, bahkan berlangsung hingga satu tahun, dua tahun, dan satu windu.

Sejalan perkembangan zaman, pe­mahaman mereka terhadap Islam se­makin membaik. Meski sebagian muslim di sana masih ada yang disebut “aliran barat”, atau sering pula disebut “wong madhep ngulon” (yang shalatnya meng­ha­dap ke barat), namun kesadaran bera­gama Islam telah semakin meningkat pada masyarakat Islam Suriname se­cara keseluruhan.
Islam tidak lagi dijadikan sebagai agama warisan nenek moyang, tapi di­peluk dengan penuh kesadaran. Lambat laun, kini Islam tidak saja dijadikan se­bagai agama tradisi nenek moyang, tapi menjadi sebuah cara hidup untuk men­capai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Fenomena seperti itu dapat dengan mu­dah ditemui di mana-mana, di kota, perkampungan, pasar, dan jalan-jalan. Ber­pakaian muslim menjadi peman­dangan yang telah biasa di tengah-te­ngah kecenderungan fashion ala Barat. Sahut-menyahut ucapan salam simbol Islam pun semakin sering terdengar. Bu­kan hanya di antara muslim Jawa, tetapi ucapan salam juga kerap terucap di berbagai etnis muslim Suriname.

Kondisi keberagamaan masyarakat muslim Suriname yang semakin terce­rah­kan itu bukan terjadi dengan sendiri­nya. Peran lembaga-lembaga organisasi sosial, yayasan, dan masjid dalam me­lakukan perubahan sikap keberagamaan itu begitu besar.
Berbagai kegiatan dilakukan dalam upaya menghidupkan api Islam di Suri­name dari yang paling tradisional sampai yang paling modern, dari yang baru ta­hap mengajarkan membaca huruf-huruf Arab hingga upaya pengenalan Islam melalui seminar, simposium, radio, tele­visi, dan internet. Dakwah pun meluas ke semua anak negeri.
Geliat itu begitu terasa hingga peme­luk Islam bukan saja orang Jawa dan Hin­dustan, tapi juga satu per satu orang-orang negro dan kulit putih pun mencintai dan masuk Islam.

Cahaya Islam Bersinar Terang

Perserikatan milik umat Islam ketu­runan India, Suriname Muslim Associatie (SMA), termasuk salah satu lembaga yang berandil besar dalam menyalakan cahaya Islam di Suriname. Organisasi ini memiliki masjid terbesar di kota Para­maribo, ditambah 14 masjid lain yang ber­ada dalam binaannya. Organisasi yang bermadzhab Hanafi itu mengelola sekolah-sekolah dan dua panti asuhan anak yatim yang cukup bagus.

Meskipun dikelola para pengurus dari keturunan India, terbuka kegiatan­nya untuk seluruh umat Islam. Bahkan sa­lah satu imam masjid terbesar itu adalah seorang ustadz keturunan Jawa. Para pengajarnya juga ada yang berlatar belakang keturunan bukan India.
Stichting der Islamitische Gemeen­ten in Suriname (SIS), Yayasan Islam Suri­name, adalah lembaga paling berpe­ngaruh di Suriname dari kalangan suku Jawa yang membawa obor peru­bahan bagi kebangkitan Islam. Lembaga ini memiliki masjid utama, Masjid Na­bawi, dengan 54 masjid lainnya berada dalam bi­naannya tersebar luas di distrik Para­maribo dan distrik-distrik lain. Empat mad­rasah formal yang didirikan sejak tahun ‘80-an menjadi cikal bakal bagi proses pengkaderan dan penem­paan sejak dini tentang kesadaran ber­agama Islam.

Sekolah-sekolah itu diikuti oleh mu­rid-murid dari berbagai suku dan agama, tidak hanya Jawa dan Islam. Di madra­sah-madrasah itu, apa pun latar bela­kangnya, semua harus mengikuti pela­jaran Islam dan kepribadian muslim. Dak­wah yang sangat strategis. Mereka yang non-Islam memeluk Islam ketika se­kolah atau seusai mengikuti pendidik­an. Bahkan keluarga mereka pun akhir­nya ikut memeluk Islam, seperti anak-anak mereka yang belajar di sekolah-sekolah itu. Dakwah yang lain dilakukan dengan membangun panti asuhan anak yatim dan panti jompo.

Organisasi kalangan Jawa abangan (Ngulonan, karena shalat menghadap ngulon, barat), seperti Federatie van Islamitische Gemeenten in Suriname (FIGS), terus-menerus diajak dialog se­cara kelembagaan ataupun pribadi-pri­badi hingga satu per satu menemukan ke­benaran itu. Bahkan para pemimpin Ngulonan pun sesungguhnya telah me­ngetahui kebenaran itu dan mudah-mu­dahan segera dibukakan pintu hidayah. Maka muncullah masjid-masjid baru de­ngan gerakan pencerahan Islam yang menjadi pusat bagi terbitnya cahaya Islam, seperti masjid Ansharullah, masjid Asy-Syafi’iyah Islam, masjid Rahmatul­lah Islam, dan lain-lain.

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar