Pledoi Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin
Ketua Komisi Pemilihan Umum, Dalam Sidang Pengadilan Tipikor
Jakarta Pusat pada tanggal 25 November 2005
Majelis Hakim Yang Mulia,
Telah cukup banyak kesaksian yang diberikan di depan pengadilan yang
terhormat ini, dalam rangkaian sidang-sidang sejak tanggal 6 Agustus
sampai dengan 26 Oktober 2005. Para saksi yang telah kita dengarkan
keterangannya terdiri dari para anggota KPU baik pusat maupun KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, para birokrat KPU, para rekanan KPU dan
ahli Prof. Dr. Miftah Thoha, serta yang tidak kalah pentingnya
kesaksian Ketua MPR periode 1999-2004, Prof. Dr. M. Amin Rais.
Saksi-saksi yang berjumlah tidak kurang dari 43 (empat puluh tiga) orang
tersebut, kesemuanya telah memberikan informasi baik yang berupa
fakta-fakta maupun pendapat. Walaupun belum lengkap untuk menjelaskan
persoalan dari keseluruhan kerumitan Pemilihan Umum 2004, namun sudah
dapat dikatakan sebagai upaya optimal untuk dapat memperoleh pemahaman
tentang proses penyelenggaraan pemilihan umum itu dengan berbagai
persoalan yang dihadapinya. Lebih penting lagi, bagi saya pribadi, hal
itu sebagai upaya maksimal untuk memperoleh keadilan, khususnya
menyangkut kasus yang didakwakan kepada diri saya. Untuk penjelasan
hukum secara rinci penasehat hukum saya akan memberikan pembelaan mereka
secara terpisah. Pembelaan saya secara pribadi diperlukan agar gambaran
utuh posisi sebagai Ketua lembaga terhormat Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dapat tergambarkan dengan baik. Di samping itu jangan sampai KPU
sebagai lembaga negara yang berperanan penting dalam tatanan kehidupan
demokrasi bangsa kita hancur integritasnya. Demokrasi tidak akan pernah
terwujud tanpa independensi KPU, karena proses suksesi pemerintahan baik
legislatif maupun eksekutif berada di tangan lembaga KPU yang harus
bersifat independen sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 22 E ayat 5.
Perlu disadari bahwa harga yang dikeluarkan negara untuk mengembalikan
integritas KPU sebagai lembaga penjamin demokrasi akan besar sekali
apabila kehancuran tersebut terjadi.
Oleh karena itu dalam penjelasan singkat ini, saya ingin melengkapi
hal-hal yang masih belum jelas dari potongan-potongan ceritera atau
jawaban-jawaban semua saksi. Hal ini dapat dikatakan sebagai upaya
khusus saya sebagai Ketua KPU yang telah memimpin lembaga negara dimana
keberadaannya diamanatkan UUD 1945 dan aturan perundang-undangan di
bawahnya. Aturan perundang-undangan itu adalah Undang-Undang Partai
Politik No. 31 Tahun 2002, UU Pemilihan Umum No. 12 Tahun 2003,
Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung No.
23 Tahun 2003 dan Undang-Undang Susduk No. 22 Tahun 2003. Semua
undang-undang tersebut tidak akan dapat di implementasikan tanpa adanya
kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh KPU dalam bentuk Juklak
(petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (petunjuk teknis). KPU berhasil
menerbitkan sekitar 67 SK KPU sebagai Juklak dan Juknis untuk suksesnya
pemilu 2004 yang lalu padahal persiapan pelaksanaan pemilihan umum
sangat ketat jadwal dan tahapan-tahapannya.
Dengan demikian penjelasan saya ini tidak hanya menyangkut hal-hal yang
didakwakan kepada saya saja. Lebih luas dari itu perlu ada pemahaman
yang menyeluruh, kontekstual dan proporsional, sehingga dapat diperoleh
keadilan yang lebih hakiki, bukan hanya keadilan diatas permukaan saja,
apalagi keadilan sebagai kepentingan politik semata. Dengan pemahaman
yang luas seperti itu, kita dapat memahami mengapa seseorang melakukan
hal yang biasa dianggap sebagai diskresi. Apa alasan KPU ini dalam hal
ini? Tidak lain adalah memelihara kestabilan politik melalui
penyelenggaraan pemilu yang aman dan damai, untuk menghindari
berlanjutnya konflik politik sesudah usainya pemilihan umum.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Sampai dengan diselenggarakannya Pemilu 2004 KPU sebagai lembaga baru
yang bersifat independen sebenarnya belum sepenuhnya dapat bekerja
secara optimal. Hal ini karena di dalam KPU terdapat dua elemen yang
belum terintegrasi secara total. Yang pertama adalah anggota KPU yang
dipilih oleh DPR dan diangkat oleh presiden. Kedua adalah unsur
birokrasi yang sudah ada sejak lama yang merupakan perpanjangan tangan
Departemen Dalam Negeri. Tidak mudah untuk mengkoordinasikan kedua
elemen tersebut. Ketua KPU dipilih oleh anggota KPU sehingga
kewenangannya tidak bersifat tunggal dan mutlak. Dalam situasi tertentu
dan mendesak Ketua KPU memang dapat mengambil langkah-langkah penting
untuk memastikan terlaksananya pemilu. Namun dalam banyak hal Ketua KPU
hanya menjadi bagian dari Pleno KPU. Jadi fungsi Ketua KPU tidaklah
seperti yang dibayangkan orang, sebagai panglima yang biasa mengomandoi
KPU. Sewaktu-waktu Pleno KPU dapat meminta pertanggungjawaban Ketua,
bilamana ada kebijakannya yang tidak sesuai dengan keinginan pleno.
Visi dan misi KPU diterjemahkan dalam pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu
2004 yang visioner. Tujuan utamanya adalah menyelenggarakan pemilu 2004
secara demokratis dan damai. Mengapa Pemilu 2004 harus damai? Karena
negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami kehancuran ekonomi yang
bermula dari krisis ekonomi tahun 1977, yang kemudian diikuti oleh
konflik sosial dan politik yang berkepanjangan di Maluku, Poso,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara serta NAD dan
Papua, yang terjadi sejak sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, maka
pusat perhatian KPU terletak pada bagaimana menyelenggarakan pemilu
secara demokratis tanpa mengancam eksistensi negara.
Dengan demikian visi penyelenggaraan Pemilu 2004; apakah pemilu
legislatif ataukah pemilu presiden, harus berlangsung secara damai. Dan
untuk dapat menyelenggarakan pemilu yang damai, maka yang pertama-tama
dikerjakan KPU adalah menyusun sebuah organisasi yang mampu menarik
kepercayaan masyarakat luas. Oleh karena itu, KPU harus memiliki sarana
yang handal namun efesien. Kesemuanya berhasil dilaksanakan oleh KPU
yang kemudian terbukti dengan berlangsungnya suksesi pemerintahan secara
damai.
Agar efesiensi dapat dicapai, maka pembangunan sarana atau sistem pemilu
berorientasi ke depan. Artinya; apa yang dibangun untuk Pemilu 2004
dapat digunakan lagi pada masa yang akan datang atau dapat dimanfaatkan
oleh instansi-instansi lain. Di antara program-program tersebut adalah:
pertama, program P4B (Program Pendaftaran Pemilih dan Pendataan
Berkelanjutan). Program visioner ini dilakukan oleh KPU bekerja sama
dengan BPS dan Departemen Dalam Negeri. Namun, ide pelaksanaan dan
budget adalah dari KPU. Hasilnya memang luar biasa. Untuk pertama kali
dalam sejarah, setelah 60 tahun merdeka, Indonesia memiliki data base
kependudukan. Apa bila data base ini dimutakhirkan secara berkala, maka
dari sana dapat dihasilkan daftar pemilih untuk pemilu-pemilu
selanjutnya dan untuk Pilkada. Ini berarti bahwa sensus penduduk yang
begitu mahal biayanya tidak perlu sering-sering dilakukan. Sesuai dengan
MOU antara KPU dengan Depdagri, maka database telah diserahkan kepada
Depdagri untuk pelaksanaan tugas departemen tersebut, misalnya
menyangkut bidang administrasi kependudukan. Begitu pula data base
tersebut dapat dipergunakan oleh instansi-instansi lain seperti
Perpajakan, Bappenas dan Depsos. KPU sendiri menyumbangkan program untuk
keperluan kebutuhan pasca tsunami di Aceh dengan data penduduk yang
dapat diakses di http://tnas.kpu.go.id. Dengan adanya data base itu,
maka untuk pertama kali pula dalam sejarah republik ini, Indonesia
memiliki satu angka yang sama tentang jumlah penduduk secara nasional,
provinsi, kabupaten/kota dan seterusnya.
Kedua, kotak suara dan bilik suara yang dapat dipergunakan secara
berulangkali, sehingga dapat menghemat biaya. Pemilu 2004 yang
dilaksanakan tiga kali berturut-turut menggunakan kotak dan bilik suara
yang sama. Di samping itu Pilkada pun menggunakan kotak dan bilik suara
yang sama pula. Dengan demikian KPU telah berhasil mencegah terjadinya
pemborosan uang rakyat ratusan milyar rupiah dalam hal penggunaan kotak
suara dan bilik suara dalam tahun 2004–2005. Penghematan akan
berlangsung terus apabila kotak dan bilik suara itu dipelihara dengan
baik oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Ketiga, pembangunan jaringan IT KPU di 4.167 Kecamatan, 440
Kabupaten/Kota, 32 Provinsi serta data center dan disaster recovery
centre. Pembangunan IT ini dilakukan dengan susah payah, dalam situasi
kita tidak mempunyai data kecamatan, data listrik di kecamatan dan data
jaringan telepon di kecamatan di seluruh Indonesia. Berangkat dari data
yang nol tersebut akhirnya dengan kerja keras KPU dapat mengumpulkan
semua data dasar dan berhasil membangun jaringan komunikasi di seluruh
Indonesia dengan biaya yang super murah bahkan dengan untuk ukuran
negara-negara miskin di Asia sekalipun.
Dengan jaringan IT itulah antara lain pemilu diselenggarakan tanpa
konflik dan tanpa menumpahkan darah setetespun. Sebab dengan adanya IT,
KPU dapat memuaskan rasa ingintahu rakyat bahwa suara yang telah mereka
berikan bisa sampai di Jakarta dengan selamat. Jawaban yang sering saya
berikan dalam menjelaskan bahwa IT KPU dapat memberikan rasa puas kepada
masyarakat seringkali disalah artikan atau tidak dikutip secara utuh.
Pertanyaan saya waktu itu adalah: Apa yang akan terjadi seandainya
masyarakat pemilih yang sebanyak 155 juta orang itu tidak puas dengan
hasil Pemilu 2004? Adakah di antara para pengamat politik, peserta
pemilu, para pengawas pemilu, para aktivis LSM yang dapat memahami
pemikiran saya dan anggota KPU tentang bagaimana menjaga dan meredakan
konflik-konflik yang ada karena masyarakat tidak puas? Dapatkah sekarang
ini di tahun 2005 kita menarik pelajaran dari penyelenggaraan pilkada?
Berapa besar banyak kantor KPU dan instansi lain yang telah dibakar atau
dihancurkan oleh masyarakat yang tidak puas dengan penyelenggaraan
pilkada? Berapa besarkah kerugian negara? Hanya di tempat-tempat yang
menggunakan IT KPU saja yaitu untuk pemilihan gubernur di Provinsi
Jambi, pemilihan gubernur di Provinsi Bengkulu dengan sistem dua putaran
dan pemilihan Wali Kota Semarang, pelaksanaan pilkada betul-betul aman.
Dapat kita bayangkan apa yang terjadi kalau 30 hari setelah pemilu
legislatif 2004 secara tiba-tiba KPU mengumumkan bahwa Partai Golkar
adalah pemenangnya, padahal sebelumnya partai tersebut dihujat dan
dituntut untuk dibubarkan. Konflik fisik atau bahkan konflik berdarah
telah dapat dihindarkan berkat sarana IT KPU yang secara terus menerus
menayangkan perkembangan tahap demi tahap perolehan suara setiap partai
secara terbuka kepada masyarakat dan dapat dilihat sampai dengan tingkat
TPS.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2004 telah mendapat pengakuan
dunia internasional yang menilainya sebagai pemilu yang demokratis,
jujur dan adil. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara demokrasi
terbesar ketiga dunia setelah Amerika Serikat dan India. Mengingat
Indonesia adalah juga negara muslim terbesar di dunia, maka pandangan
yang ada selama ini menganggap bahwa Islam tidak compatible dengan
demokrasi menjadi terpatahkan. Pemerintah negara-negara sahabat mengakui
hal ini. Pengakuan itu antara lain datang dari Uni Eropa, negara-negara
sahabat seperti Amerika Serikat, Turki dan Sudan. Bahkan negara-negara
muslim menyatakan sangat bangga karena Indonesia menjadi contoh
penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Organisasi-organisai lain juga
memberikan pengakuannya seperti The Carter Center, Australian Electoral
Commission. Bahkan majalah The Economist (London) yang selama ini jarang
memuji Indonesia telah membuat cover story dan mengangkat Indonesia
sebagai the shinning democracy. Sama sekali bukan untuk berbangga diri
apabila kita simak pandangan the Carter Center berikut ini;
Pengamat kami secara umum melihat secara langsung bahwa tempat
pemungutan suara yang mereka kunjungi terorganisasi dengan baik, semua
pekerja pemilu bekerja secara prosedural dan semua kebutuhan pemilu di
TPS tersedia dengan baik dan berfungsi secara efektif. Hal itu merupakan
suatu prestasi tersendiri bagi KPU. Tercatat tidak kurang dari 155 juta
pemilih terdaftar dan 575.000 TPS yang tersedia membuat pemilu
Indonesia sampai hari ini, sebagai satu-satunya yang terbesar di dunia
(News, the Carter Center, 7 Juli 2004).
Kemudian, Uni Eropa menilai:
Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara umum menyelenggarakan proses
Pemilu yang paling menantang dengan sukses, yang merupakan prestasi
signifikan.
Dalam menyelenggarakan Pemilu 2004, KPU tidak terlepas dari tuntutan
dan harapan masyarakat yang menginginkan adanya peningkatan kualitas
pemilu, padahal sistem pemilu yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan
DPR mengandung banyak hal yang baru dan rumit. Pemilihan umum sebelum
tahun 2004 menganut sistem proporsional dengan daftar tertutup,
sedangkan Pemilu 2004 menganut sistem proporsional dengan daftar terbuka
dan menggunakan daerah pemilihan. Karena itu, untuk merealisasikan
harapan masyarakat itu, KPU menganut prinsip predictable procedure and
unpredictable result. Artinya, dalam melaksanakan pemilu, prosedurnya
harus jelas, namun hasil pemilu tergantung kepada pemilih. Kerumitan
untuk menentukan daerah pemilihan tersebut tidak hanya bersifat teknis
namun juga diwarnai dengan tekanan-tekanan politik. Secara non teknis,
pemilu juga diharapkan tidak menimbulkan akibat-akibat negatif bagi
kehidupan nasional secara keseluruhan, baik dalam bidang politik, sosial
maupun ekonomi.
Tuntutan tersebut menjadi terasa lebih berat, karena KPU ketika itu
belum lama terbentuk. Selain tugas membuat persiapan-persiapan
penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja keras membangun institusinya sampai
tingkat kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Jajaran KPU di daerah yaitu
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota baru terbentuk setelah terbitnya UU
Nomor 12 Tahun 2003. Jadi tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu
dilaksanakan bersamaan waktunya dengan proses pembinaan dan konsolidasi
organisasi KPU kelembagaan itu. Dengan demikian KPU ibarat pasukan yang
disuruh berperang sementara serdadu yang dimiliki belum cukup terlatih,
tetapi berhasil memenangkan peperangan. Namun setelah memenangkan perang
dengan sukses, apa yang terjadi? KPU diaudit dan auditor mengatakan
“mengapa untuk menembak seorang musuh digunakan 9 peluru? Mengapa
selongsong peluru tidak dikumpulkan dan dikembalikan ke negara?”
Bagaimana KPU harus mempertanggungjawabkan “selongsong peluru” tersebut?
Apakah hal itu dianggap melanggar Undang-undang? Pada prinsipnya KPU
telah mengikuti dan menjalankan seluruh proses dan prosedur yang ada
sesuai dengan aturan perundang-undangan. Namun, tidak semua aturan yang
ada dapat secara otomatis dan secara keseluruhan diimplementasikan.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Kebutuhan anggaran untuk menyelenggarakan pemilu sesuai dengan pasal
23 UU No. 12 tahun 2003 berasal dari APBN dan APBD. Proses dan prosedur
untuk mendapatkan anggaran sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. KPU mengusulkan ke Departemen Keuangan (yang
kesemuanya dilakukan oleh jajaran Sekretariat Jenderal). Kemudian KPU
(anggota dan Sekretariat Jenderal) membahas kegiatan KPU di Komisi II;
dilanjutkan dengan pembahasan Sekretariat Jenderal dalam Panitia
Anggaran DPR. Sejak menjadi anggota KPU, Ketua KPU hanya sekitar tiga
kali terlibat dalam rapat dengan Panitia Anggaran, ketiga-tiganya pun
menjelang Pilpres putaran kedua.
Anggaran KPU masuk ke dalam Mata Anggaran 69 atau yang lazim dikenal
sebagai anggaran “dan lain-lain”. Pada dasarnya KPU memiliki hanya satu
mata anggaran. Karena ini merupakan proyek politik, maka anggaran KPU
bersifat fleksibel dan multi years. KPU menjelaskan di Komisi II DPR,
Panitia Anggaran, Pimpinan DPR periode 1999-2004 serta kepada Presiden
tentang pentingnya dukungan penuh agar anggaran Pemilu 2004 sesuai
dengan kebutuhan. Hal itu penting, karena sebagai “proyek politik” tentu
saja logikanya pemilu harus berlangsung at any cost. Artinya “proyek
politik” harus berhasil dengan biaya berapapun sekalipun tidak berarti
boros. Hal ini karena kegagalan proyek politik akan mengakibatkan biaya
ekonomi yang jauh lebih mahal. Namun begitu sejak awal KPU telah
menerapkan efisiensi anggaran.
Seluruh anggaran yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilu telah
disepakati oleh pemerintah dan DPR. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi
keperluan kegiatan penyelenggaraan pemilu di KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu. KPU secara berkala
memberikan laporan penggunaan anggaran kepada pemerintah dan DPR.
sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang.
Pencairan anggaran Pemilu 2004 dilakukan melalui pembahasan yang
“alot” baik dengan pemerintah maupun dengan DPR, tidak semudah yang
mungkin diperkirakan orang. Dalam situasi pembahasan seperti itu, tidak
dikenal istilah kolusi atau sejenisnya. Hal ini terlihat dengan jelas
dalam kasus anggaran Pilpres yang baru disetujui oleh Panitia Anggaran
DPR pada jam 22.30 hari Jum’at malam, padahal pemilu pilpres putaran
kedua dilaksanakan pada hari Senin tanggal 20 September 2004. Akhirnya,
KPU harus meyakinkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk membuka
kantor-kantor cabangnya di seluruh Indonesia pada hari Sabtu dan Minggu.
Alhamdulillah kerja sama tersebut berjalan dengan baik, sehingga
kebutuhan dana untuk KPPS, PPS, PPK dapat terpenuhi pada detik-detik
terakhir pelaksanaan Pemilu 2004. Beberapa KPU Kabupaten/Kota memang
terpaksa meminjam dana kepada pemerintah daerah setempat atau kepada
pihak swasta.
KPU tidak pernah mengadakan rapat pleno untuk mengatur cara-cara di
luar aturan perundang-undangan agar dana anggaran KPU dapat turun dengan
mudah atau lncar. Prinsip KPU adalah penyelenggaraan pemilu merupakan
tanggung jawab negara dan bangsa secara keseluruhan. KPU berkali-kali
menyatakan kepada DPR baik kepada Komisi II maupun kepada pimpinan DPR,
bahwa kalau anggaran yang diperlukan tidak tersedia, maka KPU tidak akan
dapat menyelenggarakan pemilu. Bahkan beberapa kali pula sebelum pemilu
legislatif dan menjelang pemilu presiden putaran pertama, Ketua KPU
mempersilahkan DPR memecat seluruh anggota KPU apabila dianggap tidak
mampu menyelenggarakan pemilu. Seperti diketahui permintaan KPU untuk
tambahan anggaran Pilpres putaran pertama dan kedua yang sebesar Rp 900
milyar tidak dengan segera disetujui oleh Panitia Anggaran DPR,
sekalipun sebenarnya itu bukan “tambahan” dalam arti sesungguhnya.
Anggaran yang diusulkan KPU untuk tahun 2004 adalah Rp 3,9 trilyun,
namun hanya dikabulkan Rp 3 trilyun. Dalam menyusun anggaran KPU selalu
bersikap realistis. Kalau KPU memerlukan dana Rp 3,9 trilyun, maka yang
diajukan adalah Rp 3,9 trilyun. Hal ini karena bagi KPU kebutuhan Rp 3,9
trilyun adalah kebutuhan riil yang telah dihitung secara terperinci.
Sebaliknya apabila ada kelebihan anggaran, maka sisa anggaran
dikembalikan ke negara. Hal itu dilakukan sejak tahun 2001. Pada Tahun
2003, paling tidak KPU telah mengembalikan dana sebesar Rp 110 milyar
kepada negara, dan tahun 2004 sebesar Rp 230 milyar.
Kebutuhan dana pemilu untuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang
dibiyai oleh APBN adalah kebutuhan minimal. Di sementara daerah tentu
saja dana tersebut tidak mencukupi, sehingga dibantu dengan APBD sesuai
dengan pasal 23 UU No. 12 tahun 2003. Pada saat yang sama, KPU dapat
meyakinkan negara-negara sahabat untuk memberikan bantuan. Dalam hal ini
prosedur dan prosesnya sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. KPU memperoleh bantuan dari Jepang, Australia, Uni
Eropa, Canada, Amerika Serikat, Korea Selatan dan lain-lain. Kesemuanya
didapatkan dalam bentuk inkind bukan fresh money. Di samping itu ada
bantuan asing yang diberikan langsung kepada Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang nilainya mencapai Rp 57 milyar.
Keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu 2004, bukan sesuatu yang
datang begitu dari langit, tetapi merupakan hasil kerja keras lebih
kurang 5,5 juta pekerja pemilihan umum dari tingkat KPPS, PPS, PPK, KPU
kabupaten/Kota, KPU Provinsi sampai KPU Pusat. Selain itu masih ada
relawan IT-KPU yang terdiri dari para mahasiswa, guru dan siswa SMK yang
jumlahnya mencapai 54. 900 orang. Memimpin pekerja sebanyak 5,5 juta
orang untuk melakukan kegiatan secara bersama, dan pada waktu yang sama,
serta dengan jenis pekerjaan yang sama di seluruh Indonesia, dan di 118
perwakilan RI di luar negeri bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Tambahan lagi kegiatan tersebut dilatari oleh tekanan-tekan politik yang
begitu kuat. Peristiwa seperti ledakan bom di Kuningan sebelum Pilpres
putaran dua dan pernyataan-pernyataan para petinggi keamanan di negeri
ini, serta headline dari media cetak maupun elektronik yang bernada
pesimis, hanyalah sebagian saja dari tekanan-tekanan itu.
Salah satu persoalan yang sangat vital di dalam pelaksanaan Pemilu 2004
adalah terpenuhinya kebutuhan logistik di semua TPS di Indonesia. Tidak
ada satu stake holder-pun di luar KPU yang percaya bahwa kebutuhan
logistik yang rumit itu akan terpenuhi secara tepat waktu, tepat
sasaran, dan tepat jumlah. Keberhasilan tersebut tentu saja karena
perencanaan yang matang, dan kepemimpinan yang solid, serta kerja keras
tak kenal waktu dari pimpinan dan seluruh jajaran serta tenaga lapangan
KPU. Sebagaimana dikemukakan oleh saksi Prof. Dr. Amin Rais, bahwa kerja
KPU layaknya “kerja rodi”.
Mejelis Hakim Yang Mulia,
Untuk memahami situasi yang dihadapi oleh KPU, antara jadwal waktu
pelaksanaan pemilu dengan proses-proses yang harus dilewati dalam rangka
memenuhi kebutuhan logistik Pemilu 2004, perlu dipahami secara
keseluruhan, bagaimana sekuensi yang harus dilewati dalam pengadaan
barang dan jasa. Pada dasarnya, proses pengadaan barang dan jasa di KPU
terikat dengan jadwal dan tahapan persiapan pelaksanaan Pemilu. Dengan
demikian perencana kebutuhan logistik harus cerdas dalam menyiasati
waktu yang tersedia dan asumsi-asumsi kebutuhannya.
Sebagai contoh:
1. Pendataan pemilih yang mestinya selesai pada April dan Mei 2003,
baru selesai pada akhir Desember 2003. Itu pun yang dihasilkan baru data
pemilih sementara. Akhirnya pada tanggal 25 Februari 2004. dengan SK
KPU No. 18 tahun 2004, diputuskan jumlah pemilih sebagai dasar untuk
menentukan berapa jumlah TPS yang dibutuhkan.
2. Konsekuensi logis dari jumlah TPS yang baru diputuskan pada
Februari 2004 tersebut adalah, bahwa seluruh kebutuhan logistik yang
diadakan pada tahun 2003, diperkirakan berdasarkan asumsi-asumsi. Karena
KPU tidak dapat menghitung kebutuhan logistik secara pasti, maka KPU
harus menghitung antara waktu proses perencanaan kebutuhan barang
mutlak, proses pengadaan barang baik melalui tender terbuka, pemilihan
langsung maupun penunjukan langsung, proses implementasi pengadaan
tersebut, distribusinya ke seluruh Kabupaten/Kota dengan memperhitungkan
pula waktu yang diperlukan untuk distribusi sampai ke TPS-TPS di
seluruh Indonesia yang sebanyak 585 218 TPS.
3. Penentuan jumlah partai politik peserta pemilu
Penentuan jumlah partai politik dari 50 partai yang mendaftar menjadi 24
partai politik baru tercapai pada tanggal 8 Desember 2003. Penentuan
ini melalui proses yang panjang mulai KPU Kabupaten/Kota, ke KPU
Provinsi dan akhirnya penghitungan rekapitulasi persyaratan partai
politik peserta pemilu sesuai dengan pasal 7 UU No 12 tahun 2003. Hal
ini juga berpengaruh terhadap penghitungan kebutuhan logistik seperti
kebutuhan kertas suara dan kertas untuk formulir. Tetapi pengadaan
kertas untuk kedua kebutuhan tersebut tentu saja harus dilakukan jauh
hari sebelum jumlah partai dapat ditentukan. Dengan demikian KPU harus
menggunakan asumsi jumlah partai politik untuk kebutuhan surat suara dan
formulir sesuai dengan jumlah partai yang terdaftar yaitu 50 partai
politik. Seandainya KPU tidak memesan kertas surat suara dan formulir
jauh-jauh hari, maka waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi kertas
tidak akan memenuhi target jadwal hari pemilu yakni 5 April, 5 Juli dan
20 September 2004.
4. Daerah Pemilihan dan Daftar nama calon legislatif
Kebutuhan surat suara yang riil baru dapat ditentukan sesudah finalnya
penetapan daerah pemilihan dan nama-nama calon legislatif. Adapun jumlah
calon legislatif tidak kurang dari 460.000 yang bertarung di 2057
daerah pemilihan. Nama-nama calon baru disahkan KPU pada tanggal 30
Januari 2004, dan setelah itu barulah KPU dapat melakukan proses
pencetakan surat suara. Verifikasi atas nama-nama calon membutuhkan
waktu paling tidak satu bulan, sehingga baru pada akhir Februari 2004
KPU dapat mencetak surat suara. Keseluruhan surat suara berjumlah
sekitar 662an juta lembar yang terdiri atas 2057 jenis dan dengan
nama-nama calon yang berbeda-beda. Setelah dicetak maka surat suara
harus dikirimkan ke alamat yang berbeda di 2057 daerah pemilihan atau ke
585.218 TPS.
Dalam keadaan yang tidak pasti, yaitu kurangnya dana, jumlah
kebutuhan yang tidak dapat ditentukan pada saat tender dilaksanakan, dan
situasi politik yang menekan, namun KPU tetap harus merencanakan dan
melaksanakan pengadaan barang dan jasa.
Oleh sebab itu KPU tidak dapat mengikuti secara “buta” prosedur
pengadaan barang dan jasa kebutuhan pemilu,seperti yang ada di Keppres
no 18 tahun 2000 ataupun Keppres no 80 tahun 2003. Kalau itu dilakukan
maka Pemilu 2004 dapat dipastikan tidak akan pernah terlaksana pada
waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian aturan perundang-undangan
di dalam prakteknya seringkali masih tidak dapat menampung tugas
substansial KPU menyelenggarakan pemilihan umum secara sukses. Dalam
situasi yang tidak menentu seperti itu KPU tetap melaksanakan tugasnya
dengan segala konsekuensinya seperti yang dialami KPU saat ini.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Di luar perkiraan sebagian orang, KPU berhasil melaksanakan Pemilu
2004. Saya menyadari sepenuhnya bahwa apabila pemilu gagal dilaksanakan,
maka biaya-biaya sosial, ekonomi, dan politik yang ditanggung negara
akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan untuk
pelaksanaan pemilu. Salah satu indikator yang waktu itu saya fahami
bersama-sama dengan Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Prof. Dr.
Dorodjatun Kuntjarajakti, adalah adanya investasi asing sejumlah US$ 60
milyar atau senilai sekitar Rp 500 trilyun yang setiap saat akan lari ke
luar negeri jika Pemilu 2004 gagal. Oleh karena itu saya secara
langsung bersama-sama dengan Prof. Dorodjatun Kuntjarajakti memberikan
penjelasan kepada bursa efek bahwa pemilu akan berlangsung dengan aman.
Indikator ekonomi dari keberhasilan Pemilu 2004 adalah dollar AS tidak
pernah menembus angka Rp 9000.
Di samping itu suasana politik yang “mencekam” juga memberikan tekanan
luar biasa kepada KPU, terutama kepada Ketua KPU yang menjadi simbol
integritas dan kemampuan KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum
secara jujur dan adil. Tekanan itu antara lain berupa teror yang terus
menerus diterima oleh KPU dan puncaknya ketika Ketua KPU mendapat
kiriman 11 butir peluru. Demonstrasi yang disertai caci maki merupakan
“makanan sehari-hari” KPU. Bahkan dalam suatu kesempatan, para
demonstran membawa pula penggalan kepala seekor anjing. Kejadian lain,
ada salah satu partai politik menduduki masjid KPU selama 10 hari, untuk
memaksa KPU meloloskan partainya dalam verifikasi partai peserta
pemilu. Di samping itu, pada saat rekapitulasi penghitungan hasil
pemilihan umum Presiden sedang berlangsung, sebuah bom meledak di kantor
KPU. Teror tersebut tidak hanya terjadi di KPU pusat, melainkan juga di
berbagai daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam dan Ambon. Tak
perlu dibantah bahwa teror yang terus menerus itu, sangat mempengaruhi
moral dan semangat kerja KPU.
Situasi semacam ini dan terbatasnya waktu yang tersedia sementara
pengadaan barang menghendaki proses yang panjang, mebuat KPU
mengkategorikan keadaan ini sebagai “mendesak”. Sejak awal terminologi
yang digunakan KPU adalah “keadaan mendesak” bukan “keadaan darurat”.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan politis, sementara beberapa media
massa saat itu mendesak agar KPU mendeklarasikan bahwa pemilu dalam
“keadaan darurat”. Desakan ini kita tolak. Pandangan Ketua dan anggota
KPU ketika itu adalah bahwa apabila KPU menganggapnya sebagai keadaan
darurat, maka pemerintah dapat saja mengambil alih pelaksanaan pemilu.
Di samping itu, DPR juga dapat melakukan intervensi. Artinya, bahwa
penyelenggara pemilu bukan lagi KPU yang bersifat independen. Apalagi
ada tuntutan dari masyarakat yang diatasnamai oleh LSM agar KPU
menyatakan keadaan darurat. Presiden dan DPR juga didesak agar segera
membentuk task force untuk menggantikan KPU menyelenggarakan pemilu.
Konon, bahkan jadwal hari-harinya pun telah disusun oleh LSM itu.
Seperti Itulah suasana politik yang menekan KPU ketika sedang
mempersiapkan pelaksanaan Pemilu 2004.
Dengan tetap menggunakan terminologi “keadaan mendesak”, KPU berusaha
menghindarkan bangsa dan negara ini dari keadaan chaos dan konflik
politik yang dapat merusak stabilitas. Bagi KPU definisi keadaan
mendesak adalah jelas dan tidak macam-macam, melainkan situasi dimana
kebutuhan barang-barang mutlak seperti kotak suara, surat suara, bilik
suara, tinta, biaya angkutan tidak tersedia sehingga Pemilihan Umum 2004
tidak dapat dilaksanakan.
Kebutuhan KPU akan barang-barang mutlak itu diputuskan dalam rapat pleno
KPU. Panitia pengadaan bekerja secara independen dalam menentukan HPS
dan pemenang tender. Untuk kebutuhan barang-barang mutlak panitia
menyampaikan laporan secara berkala kepada pleno KPU, sehingga pleno KPU
mengetahui perkembangannya tahap demi tahap. Pleno tidak pernah
mempengaruhi rekanan pemenang tender. Pleno berbicara tentang
spesifikasi kebutuhan yang diinginkan dan harga yang wajar. Apabila
kemudian ternyata bahwa perhitungan anggaran yang dibuat pleno tidak
akurat, maka pleno KPU dapat memutuskan untuk mengupayakan tambahan
anggaran. Panitia Pengadaan terdiri dari 2 orang anggota KPU dan 7
sampai 9 orang staff Sekretariat Jenderal KPU. Keikutsertaan anggota KPU
tersebut adalah dalam rangka built-in control penggunaan anggaran dan
untuk memastikan ketersediaan kebutuhan logistik tersebut. Di samping
itu, Sekretariat Jenderal masih membentuk panitia pengadaan barang dan
jasa yang tidak melibatkan anggota KPU. Seperti panitia pengadaan buku
panduan KPU, panitia asuransi dan lainnya.
Lembaga KPU terdiri dari anggota KPU dan Sekretariat Jenderal KPU
sesuai dengan aturan perundang-undangan. Pada prinsipnya anggota KPU
berada pada tingkat pengambilan kebijakan. Namun secara intensif anggota
KPU melakukan pengawasan melekat untuk memastikan terpenuhinya
kebutuhan logistik. Semua implementasi dari kebijakan KPU dipimpin oleh
Sekretaris Jenderal KPU yang dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal
dengan biro-biro yang terkait. Dengan demikian, setelah panitia
pengadaan menentukan pemenang tender, maka implementasi pengadaan barang
dan jasa untuk keperluan Pemilu menjadi tanggung jawab Sekretariat
Jenderal KPU.
Oleh sebab itulah ketika BPK mengaudit KPU, saya KPU mengharapkan
juga agar BPK memperhatikan keadaan mendesak dan managemen resiko yang
dihadapi KPU dalam melaksanakan proyek politik tersebut. Dengan demikian
laporan BPK akan dapat menjelaskan secara lengkap proses yang terjadi,
sehingga masyarakat dapat memahami kejadian yang sesungguhnya.
Sebagai
contoh:
1. KPU telah melakukan proses pengadaan tender secara terbuka. Salah
satu cara untuk menentukan pemenang adalah dengan memperhatikan
indikator teknis dan indikator harga. Sebagai contoh harga penawaran
terendah untuk pencetakan surat suara adalah Rp 680.- Kalau KPU
mempergunakan proses prosedural Keppres, maka pemenangnya adalah rekanan
yang menawarkan harga terendah. Namun KPU berhasil menekan harga
tersebut di dalam proses negosiasi yang sangat “alot” menjadi Rp 280.
Kemudian untuk oplah yang kecil ongkosnya dinaikkan 10-15% umenjadi Rp
302 dan Rp 308. Oleh sebab itu, apabila diperhatikan dengan perhitungan
secara kasar, maka sebenarnya KPU telah menyelamatkan uang negara
sedikitnya sebesar Rp 378 dikalikan 662 juta lembar surat suara adalah
Rp 264 milyar.
2. Pengadaan Perangkat IT KPU menurut Grand Design yang pertama
mencapai US$ 119 juta, sementara design yang dibuat oleh Sekretariat
Jenderal KPU bekerjasama dengan PT Telkom bernilai Rp 462 milyar. Ini
belum termasuk biaya operasional, sementara jaringan kedua design itu
hanya pada tingkat Kabupaten/Kota. Kedua design itu saya gagalkan
bersama sejumlah anggota KPU. Kemudian dibuat design lain dengan
jaringan yang mencapai tingkat Kecamatan oleh sebuat Tim Ahli yang
langsung bertanggungjawab kepada Ketua KPU. Cakupan sistem ini mencapai
4167 Kecamatan, 416 Kabupaten/Kota, 32 Provinsi dan Data Center serta
Disaster Recovery Center di Jakarta dengan biaya sebesar Rp 154 milyar.
Dengan demikian KPU telah menyelamatkan uang rakyat dalam jumlah yang
cukup besar dari pengadaan IT saja. IT KPU telah berfungsi dalam
meminimalkan terjadinya kecurangan dalam penghitungan perolehan suara
Pemilu 2004. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya sistem itu
juga telah memberikan rasa puas terhadap keinginan tahu masyarakat,
khususnya para pemilih, bahwa suaranya sampai di Jakarta dengan selamat.
Dengan demikian hasil pemilu dapat diterima oleh masyarakat luas. Kini
jaringan IT KPU ini di beberapa provinsi telah dipergunakan untuk
Pilkada.
3. Kotak suara telah dipergunakan tiga kali Pemilu 2004 dan masih
dapat dipergunakan untuk pelaksanaan Pilkada pada tahun 2005 ini dan
pemilu-pemilu selanjutnya. Dengan demikian juga dapat diperhitungkan
penghematan yang telah dilakukan KPU.
4. Buku Panduan KPU. Sebagai Ketua KPU pada waktu itu selama hampir
empat bulan saya tidak mau menandatangani otorisasi pembayaran pengadaan
buku tersebut, karena harga yang tidak masuk akal. Sebagai dosen yang
telah banyak mempublikasikan hasil karya ilmiah, saya sudah sangat faham
dengan pekerjaan percetakan, maka saya cukup tahu tentang biaya
pencetakan. Pengalaman itu membuat saya cepat dapat memahami adanya
kesalahan. Pleno kemudian memutuskan untuk renegosiasi. Kesempatan itu
kemudian dipergunakan untuk memangkas biaya percetakan dari Rp 39 milyar
menjadi Rp 27 milyar, sehingga Rp 12 milyar rupiah dapat dikembalikan
kepada negara. Baru kemudian saya mau menandatangani otorisasi
pembayaran pengadaan buku tersebut.
Dengan demikian saya mencegah terjadinya pemborosan uang rakyat
ataupun pelanggaran peraturan perundang-undangan, bukan sebaliknya. Jadi
tidaklah masuk akal kalau dikatakan saya melakukan tindakan-tindakan
yang dapat menghancurkan usaha-usaha besar yang saya bangun bersama
anggota KPU lainnya.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Saya sangat kaget bahwa dakwaan yang ditujukan kepada saya
berhubungan dengan pengadaan asuransi. Apa yang terjadi sebenarnya
adalah bahwa pleno KPU telah menyetujui anggaran untuk asuransi. Namun,
karena pada pemilu legislatif tidak diperbolehkan adanya pos anggaran
untuk asuransi, maka KPU tidak dapat melakukan apa-apa sebelum anggaran
untuk pengadaan asuransi itu disetujui oleh pemerintah. Seperti kita
ketahui bersama, dana untuk pengadaan asuransi tersebut baru disetujui
Departemen Keuangan pada tanggal 24 Juni 2004, padahal pemilu akan
dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004. Dengan demikian praktis hanya ada
waktu tersisa 10 hari untuk melakukan persiapan pengadaan asuransi itu.
Oleh karena itu, pada saat Sekretariat Jenderal mengajukan nota dinas
tentang pengadaan asuransi, maka mendesaknya waktu menjadi pertimbangan
utama saya. Saya sendiri tidak mempunyai kecurigaan tertentu, karena
biaya premi per orang hanya sekitar Rp. 500 per bulan. Oleh karena
proses pengadaan asuransi tersebut secara detail telah dibahas oleh
Sekretariat Jenderal, sementara situasi kerja di KPU menjelang Pilpres
putaran satu tersebut sangat padat, maka tidak mungkin hal ini dibahas
lebih jauh dalam pleno KPU.
Pengadaan asuransi berawal dari tuntutan berbagai KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota. Aspirasi dari bawah inilah yang menjadi dasar bagi
pleno KPU untuk mengajukan revisi ABT (Anggaran Belanja Tambahan).
Sekali lagi alasan KPU untuk memutuskan ABT untuk pos asuransi adalah
demi suksesnya pemilu presiden dan wakil presiden. Tuntutan KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota ini dikemukakan pada raker nasional di Jakarta,
seperti yang telah disampaikan oleh para saksi dari NAD (Kabupaten Aceh
Barat Daya), Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara. Mereka khawatir akan
situasi yang mengancam keselamatan para petugas pemilu, terutama karena
situasi yang semakin memanas menjelang pemilu. Pada saat itu saya justru
tidak berada di arena raker tersebut. Tidak ada keberatan dari anggota
KPU yang lainnya terhadap tuntutan itu sehingga gagasan pengadaan
asuransi bagi para penyelenggara pemilu ditampung oleh Sekretariat
Jenderal KPU.
Secara substansi pengusulan anggaran tambahan untuk asuransi,
kegiatan-kegiatan lain pernah dibahas dalam pleno KPU. Tentang hal ini
pun kemudian tidak ada keberatan dari DPR yang menerima laporan dari KPU
dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II pada bulan Juli 2004. Oleh
karena itu, proses implementasi selanjutnya ditindak lanjuti oleh
Sekretariat Jenderal. Implementasi menjadi tugas administrasi
Sekretariat Jenderal, sehingga sebagai Ketua KPU saya hanya
menindaklanjuti apa yang sudah disiapkan oleh Sekretariat Jenderal
sesuai dengan prosedur baku di KPU. Kesemuanya ini dilakukan dalam
rangka menjamin terselenggaranya Pemilu Presiden putaran pertama dan
putaran kedua dengan lancar dan aman. Apalagi hal ini sudah sesuai
dengan Keppres no 54/Th. 2003, SK KPU 622/tahun 2003 dan SK KPU 677
tahun 2003. Kalau yang dipersoalkan adalah mengapa saya tanda tangani
naskah perjanjian kerjasama atau MOU pengadaan jasa asuransi, maka dapat
saya kemukakan bahwa penandatangan semacam itu bukan satu-satunya yang
pernah saya tanda tangani. Saya juga menandatangani naskah MOU dengan
IKJ, ITB, UI, Telkom, dan semua ini disiapkan oleh Sekretariat Jenderal.
Penandatanganan kerjasama asuransi itu tidak sempat lagi diplenokan,
karena situasi mendesak, bukan karena kolusi antara Ketua KPU dengan
pihak Sekretariat Jenderal KPU. Dan apabila tindakan di luar pleno ini
dianggap tidak sah dan menimbulkan kerugian negara, hal ini pun bukan
satu-satunya keputusan yang saya ambil tanpa pleno. Keputusan saya untuk
memberlakukan surat suara yang dicoblos tembus dalam Pilpres putaran
pertama juga saya ambil di luar rapat pleno. Seandainya tindakan saya
menandatangani MOU pengadaan asuransi, maka sebagai konsekwensinya
keputusan saya memberlkukan surat suara tembus coblos itu sebagai tidak
sah dan menimbulkan kerugian negara.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Dalam rapat-rapat pleno, berkali-kali saya berpesan kepada Panitia
Pengadaan bahwa kalau ada rekanan yang mengaku-ngaku dekat atau mengaku
sebagai saudara saya agar langsung dicoret saja dari daftar peserta
tender atau peserta lelang. Saya tidak pernah melakukan intervensi
terhadap seluruh proses pengadaan barang dan jasa di KPU. Keputusan
pemenang tender adalah mutlak keputusan Panitia tender KPU. Dalam
kenyataannya tidak ada satu pun peserta tender yang memiliki hubungan
keluarga, baik keluarga dekat maupun keluarga jauh atau pun kolegial
dengan saya. Semua pemenang tender di KPU, adalah para rekanan yang baru
saya tahu setelah mereka menang dalam tender.. Bahkan ada
penandatanganan no hidden cost dalam beberapa tender di KPU. Oleh karena
itu, kasus asuransi menjadi aneh bagi saya kalau saya didakwa melakukan
kolusi untuk memperkaya diri maupun orang lain. Karena sesungguhnya
saya memiliki kesempatan yang luar biasa banyaknya dalam hal memperkaya
diri, namun hal itu tidak pernah saya manfaatkan.
Istilah dana taktis baru saya ketahui setelah terjadi musibah yang
menimpa KPU. Berkaitan dengan ini saya tidak pernah memberikan instruksi
baik lisan maupun tertulis kepada siapapaun baik Sekretariat Jenderal,
panitia pengadaan, maupun unsur-unsur di luar KPU untuk membentuk dana
taktis atau apapun namanya. Bahkan dari kesaksian Hamdani Amin dalam
persidangan ini pun terungkap bahwa tidak ada perintah dari Ketua KPU
untuk meminta uang kepada para rekanan. Kalau ada pejabat KPU meminta
dana kepada rekanan tanpa sepengetahuan saya, dengan sendirinya saya
tidak bisa dimintakan pertanggungan jawab. Saya tidak tahu sumbernya
uangnya secara keseluruhan. Sekretariat Jenderalpun tidak pernah
melaporkan kepada pleno KPU.
Mengenai uang dollar yang saya serahkan kepada KPK, itu sebagai
konsekwensi dari laporan saya kepada KPK seperti yang saya kemukakan di
dalam BAP saya. Uang tersebut saya simpan di rumah. Ketika saya
ditangkap pada tanggal 20 Mei 2005, KPK tidak menyita uang tersebut dari
saya melainkan saya yang menyerahkan kepada KPK. KPK tidak pernah
melakukan penggeledahan di rumah saya seperti yang diberitakan oleh
media elektronik maupun media cetak. Apa yang sesungguhnya terjadi
adalah saya ajak dua orang penyidik KPK ke rumah saya untuk mengambil
uang tersebut. Setelah dihitung di KPK ternyata jumlahnya bukan US$ 45.
000 sebagaimana yang saya sebutkan di BAP saya, melainkan US$ 44.900.
Kekurangan itu tidak saya sadari, karena memang uang tersebut tidak
pernah saya hitung.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Dalam menjalankan tugas yang demikian banyak dan harus diselesaikan
dalam waktu yang singkat, maka pleno KPU memberikan tugas kepada para
anggota KPU untuk memimpin rapat-rapat pleno atau rapat-rapat tim yang
dihadiri oleh sebagian anggota KPU. Hal ini disebabkan tugas yang begitu
banyak, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan rapat pleno lengkap
yang dihadiri oleh semua anggota KPU pada waktu-waktu tertentu.
Saat-saat menjelang pelaksanaan pemilu sering diadakan rapat-rapat
simultan oleh tim kerja sosialisasi, logistik, verifikasi caleg dan
kampanye. Karena situasi yang mendesak, maka anggota diberi kewenangan
untuk mengadakan rapat-rapat paralel ketika itu. Dalam kondisi yang
demikian, bukan suatu hal yang aneh apabila rapat pleno tidak lagi
menggunakan prosedur rapat pleno yang “baku”. Sebab, karena kesibukan
mereka, anggota KPU tidak mungkin untuk menghadiri dua rapat pada saat
yang sama. Akibatnya diberlakukan sistem kehadiran secara proxy, atau
dengan pemberitahuan sebelumnya atau sesudahnya. Kesemua hal itu
perlu/terpaksa dilakukan dalam rangka pengambilan keputusan.
Dalam hal ini pleno biasanya memberi tugas kepada dua atau tiga
anggota KPU untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan KPU. Sebagai contoh,
pleno menugaskan Hamid Awaludin untuk memimpin rapat yang berhubungan
dengan masalah-masalah kampanye. Sedangkan pada waktu bersamaan
berlangsung rapat verifikasi calon presiden dan wakil presiden yang
dipimpin oleh Anas Urbaningrum. Di lain ruang berlangsung rapat
sosialisasi yang dipimpin oleh Valina Singka. Rapat-rapat kebutuhan
logistik biasanya dihadiri oleh Chusnul Mar’iyah dan Sekretariat
Jenderal atau Wakil Sekretariat Jenderal bersama biro terkait. Pada saat
memungkinkan, Ketua KPU berpindah dari satu rapat ke rapat yang lain,
sehingga tidak semua dapat dihadiri. Semua itu bertujuan tidak lain
untuk terselenggaranya Pemilu 2004 secara tepat waktu.
Namun demikian ada beberapa hal yang tidak boleh tidak harus
diputuskan secara kolektif oleh Rapat Pleno lengkap atau setidak-tidak
harus memenuhi syarat quorum rapat.
Hal-hal tersebut merupakan core
business KPU seperti :
1. Verivikasi partai politik dalam rangka penetapan jumlah partai
2. Verifikasi calon legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
3. Verifikasi dan penetapan calon Presiden/Wakil Presiden
4. Alokasi Kursi DPR untuk setiap daerah pemilihan
5. Penetapan Daerah Pemilihan. Ada 69 daerah pemilihan untuk DPR, 32
daerah pemilihan DPD, 211 daerah pemilihan DPRD Provinsi, dan 1764
Daerah Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.
6. Penetapan Jumlah pemilih melalui program P4B (Pendaftaran Pemilih
dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan) yang dilakukan atas kerjasama
dengan Depdagri dan BPS.
7. Menentukan kebutuhan logistik untuk barang-barang mutlak seperti
kotak suara, bilik suara, kertas, surat suara, tinta, IT-KPU.
Barang-barang mutlak itu wajib diketahui oleh semua anggota KPU, sebab
tanpa barang-barang mutlak tersebut, maka pemilu tidak akan dapat
dilaksanakan. Penentuan kebutuhan logistik berbeda dengan penentuan
pemenang tender, karena pemenang tender diputuskan oleh Panitian
Pengadaan.
8. Rekapitulasi hasil penghitungan suara
9. Penetapan pemenang pemilihan umum.
Di luar hal-hal tersebut di atas, pleno KPU dapat mendelegasikan
wewenang kepada anggota KPU baik yang berhubungan dengan divisi-divisi
maupun dalam bentuk kepanitiaan kerjanya pleno menerima laporan dari
yang bersangkutan, sehingga semua anggota KPU dapat memperoleh
informasi. Di samping itu, semua anggota KPU dituntut untuk terus
menerus mencari informasi yang tertinggal dari setiap pleno yang tidak
mereka hadiri.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Menjadi anggota dan Ketua KPU bukanlah suatu jabatan pertama bagi saya
sebagai pejabat negara. Jauh sebelumnya, saya sudah pernah menduduki
jabatan-jabatan penting lainnya di Republik ini. Sebagai sosok yang
relatif mapan melalui pergulatan di bidang akademis, sebagai asisten
dosen, sebagai dosen, ketua program studi, ketua jurusan, dan guru besar
ilmu politik, membimbing ratusan mahasiswa dari S1 sampai S3, sehingga
telah melahirkan ribuan sarjana, ratusan magister, dan puluhan orang
doktor. Di Bidang pemerintahan saya pernah menjadi Deputi Kepala BP7
Pusat, asisten menteri khusus, anggota MPR/Badan Pekerja MPR, dan aktif
dalam berbagai kelompok kerja di berbagai instansi pemerintah pusat dan
daerah.
Beberapa buku yang saya tulis dibaca dan menjadi pegangan/rujukan
oleh ribuan mahasiswa ilmu politik dan masyarakat luas. Bekal pengalaman
itu membuat saya menjadi orang yang banyak belajar, sehingga di dalam
menyandang dan melaksanakan jabatan penting yang depercayakan oleh
negara kepada saya, Alhamdulillah saya tidak pernah terlibat dalam
masalah seperti yang sedang saya alami sekarang ini, sebagai ketua
sekaligus anggota KPU. Padahal keberhasilan KPU di dalam
menyelenggarakan pemilu, saya rasakan sebagai kesuksesan karir saya yang
paling spektakuler. Tetapi balasan yang saya dapatkan dari kesuksesan
itu adalah suatu kehinaan yang teramat rendah.
Adalah suatu hal yang sangat membahagiakan bagi saya selaku Ketua KPU
yang Alhamdulillah atas perkenan Allah SWT dan kerja keras yang tak
kenal lelah dari rekan-rekan anggota KPU lainnya serta keikhlasan dari
semua jajaran penyelenggara pemilu dan berkat dukungan dari rakyat
pemilih, Indonesia berhasil melaksanakan suatu pemilu yang tidak hanya
berjalan dengan baik, tetapi dengan kualitas kesuksesan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya. Atas kesuksesan tersebut, berbagai
pengakuan dan apresiasi dari pemerintah negara sahabat dan pengamat
asing telah diterima oleh KPU. Namun ironisnya di dalam negeri sendiri,
jangankan menerima pengakuan dan penghargaan, malahan lembaga KPU
diobrak-abrik, para anggota dan pejabat Sekretariat Jenderalnya ditahan
di dalam ruangan penjara yang pengab.
Ironi lain yang terasa paling menyakitkan dan menusuk ke dalam relung
hati saya adalah bahwa, sementara para penyelenggara pemilu tidak
dihargai, namun hasil kerja segenap jajaran KPU, serta para
penyelenggara pemilu lainnya, termasuk puluhan ribu tenaga relawan itu,
seringkali dijadikan bahan pembicaraan yang paling dibanggakan di dalam
forum-forum diplomasi internasional oleh para diplomat kita. Bahkan
tidak kurang juga oleh Presiden SBY sendiri. Yang menjadi pikiran saya,
bagaimana kita harus menjelaskan ironisme ini kepada rakyat nanti atau
mungkin generasi mendatang pada saat emosi masyarakat sudah menurun.
Pendidikan politik macam apa yang telah kita suguhkan kepada mereka?
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jabatan sebagai Ketua KPU dalam penyelenggaraan Pemilu 2004, harus
saya akui memang merupakan kedudukan yang dapat merusak integritas
pribadi yang sudah sejak lama saya bangun dan pertahankan. Sebab di
dalam lingkup jabatan tersebut, ada begitu banyak peluang untuk
memperkaya diri. Tapi Alhamdulillah berkat bimbingan dari Allah SWT
kesemua itu dapat saya lalui dengan baik. Itu yang pertama.
Kedua, Sebagai pakar ilmu politik lulusan luar negeri, saya banyak
mendapat tawaran untuk bekerja dari beberapa universitas dan lembaga
penelitian Singapura, Malasyia, Jerman. Tawaran-tawaran tersebut sudah
saya terima. Jika faktor materi yang menjadi ukuran, tentu
tawaran-tawaran tersebut sudah saya terima. Tetapi semuanya saya tolak.
Mengapa? Sederhana saja karena saya akan kehilangan kesempatan untuk
berbakti kepada bangsa dan negara saya. Demikian pula ketika saya
memutuskan menjadi anggota KPU dan kemudian dipercaya menjadi Ketua
lembaga tersebut, setiap tawaran yang datang kepada saya, selalu saya
jawab dengan tegas, bahwa tujuan saya menjadi Ketua KPU bukan untuk
mencari uang, tetapi ingin memberikan kontribusi bagi kemajuan kehidupan
bangsa dan negara ini.
Oleh karena itu, Majelis yang mulia, kalau saya mau membicarakan soal
korupsi yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada saya, maka
diskon asuransi yang sebesar Rp 5 milyar itu adalah kecil. Sebab jumlah
yang jauh lebih besar bisa saya peroleh dari hal-hal sebagaimana yang
telah saya ungkapkan tadi, kalau saya mau.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Pada saat BPK menyerahkan audit investigasi terhadap KPU tanpa
klarifikasi KPU kepada DPR, catatan penting yang dapat disampaikan di
sini adalah landasan hukum yang dipergunakan oleh BPK adalah UU No. 15
Tahun 2004. Pasal 27 ayat 1 UU tersebut menyebutkan bahwa “ketentuan
mengenai pemeriksaan atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini dilaksanakan mulai sejak pemeriksaan atas laporan
keuangan tahun anggaran 2006”. Ini berarti bahwa BPK telah melakukan
audit investigasi terhadap KPU atas dasar hukum yang belum berlaku.
Bagaimana BPK dapat mengaudit KPU secara akurat dan baik, sementara
membaca UU tentang dirinya saja tidak teliti? Siapa yang harus
bertanggung jawab terhadap semua akibat dari tindakan yang tidak
profesional ini?
Gegap gempita media di Indonesia baik nasional maupun lokal memberitakan
tentang masalah korupsi di KPU luar biasa, seakan-akan inilah
kesempatan bagi mereka untuk membalas “kekalahan” setelah mereka gagal
“berharap” KPU gagal melaksanakan Pemilu 2004. Sayang tidak ada satupun
media yang melihat persoalan KPU dengan cara yang kontekstual,
proporsional, dan adil. Hal yang sama juga saya alami dengan
pemberitaan-pemberitaan tentang diri saya pada umumnya. Hampir semua
media seakan-akan berlomba-lomba untuk mendiskreditkan saya agar publik
menghakimi saya sebelum para hakim menjatuhkan palunya. Apakah ini yang
dimaksud sebagai adil?
Sesungguhnya KPU telah dihujat oleh koalisi 5 LSM yang dengan lantang
menyatakan ada korupsi di KPU sebesar sekitar Rp 600 milyar pada awal
tahun 2004 yang lalu. Kemudian dengan seenaknya angka tersebut
diturunkan menjadi Rp 343 millyar. Selanjutnya oleh sebuah Media
Internet yang dapat dikatakan terhormat, angka tersebut diturunkan lagi
menjadi Rp. 262 milyar. Sementara laboran BPK yang diserahkan ke DPR
tanpa klarifikasi dari KPU dan kemudian oleh DPR diserahkan ke KPK
persisnya sebesar Rp 90.292.052.790,30 (sembilan puluh milliar, dua
ratus sembilan puluh dua juta, lima puluh dua ribu dan tujuh ratus
sembilah puluh, koma 30 sen rupiah).
Pada tanggal 9 Mei 2005, KPU telah memberikan klarifikasi secara rinci
yang menunjukkan semua kesalahan BPK dalam menghitung maupun kesalahan
BPK dalam merujuk Undang-Undang serta pasal-pasal yang dipergunakannya
dalam mengaudit KPU. Sayangnya DPR pun tidak bersedia membahas
klarifikasi KPU dan hanya menyerahkannya begitu saja kepada KPK. Agaknya
KPK pun tidak pernah membaca klarifikasi karena sudah terobsesi oleh
kecurigaan. Semoga saja pada suatu waktu nanti ada lembaga yang
memverifikasi hal ini dan menuntut pertanggungan jawab kepada siapa saja
yang harus bertanggung jawab.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Sebagaimana terungkap dalam kesaksian Prof. Dr. M. Amin Rais bahwa
seorang anggota KPU telah mengundurkan diri karena berpendapat bahwa
pemilu adalah sebuah “mission impossible”. Pendapat yang sama telah
disampaikan sebelumnya kepada saya oleh seorang mantan rektor ITB, Prof.
John Syafe’i. Ketika itu memang saya juga menyadari, bahwa sistem
pemilu yang sangat rumit, ditambah dengan kenyataan bahwa Indonesia
belum pernah melangsungkan pemilihan presiden secara langsung, dan
kondisi politik yang kurang menguntungkan serta rentang waktu yang
pendek, maka saya dapat memahami apabila ada yang menganggap Pemilu 2004
sebagai “mission impossible”. Oleh karena itu saya juga dapat memahami
keputusan 2 orang anggota KPU untuk mengundurkan diri. Sebab, apabila
pemilu betul-betul gagal terlaksana, tentu saja rakyat akan meminta
pertanggung-jawaban kepada KPU dan para anggotanya.
Tetapi, Majelis yang mulia, saya sangat bersyukur bahwa pada waktu
itu seluruh anggota KPU yang tidak mengundurkan dir menyadari, bahwa
berusaha menyelenggarakan pemilu dengan sebaik-baiknya adalah bentuk
pengabdian tertinggi yang dapat kami berikan kepada bangsa dan negara.
Bolehlah saya katakan dengan rasa bangga, bahwa pengabdian itu kami
jalankan sebagai panggilan patriotisme kepada negara. Rasa patriotisme
inilah yang juga saya pompakan kepada penyelenggara pemilu, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan kepada 5,5 juta pekerja pemilu termasuk
para relawan IT. Saya bersyukur bahwa pada saat itu kami dihinggapi
optimisme yang luar biasa, bahwa kita mampu menyelenggarakan pemilu
dengan baik, asal kita mau. Itulah yang oleh sebagian insan pers
dituding sebagai “arogan”. Melalui kesadaran intelektual kami yang
umumnya berlatarbelakang pendidikan ilmu politik, kami yakin bahwa
pemilu yang sukses adalah jawaban bagi peletakan kembali dasar-dasar
kebangkitan bangsa, setelah kita terpuruk karena multi krisis, termasuk
di dalamnya krisis kepercayaan diri bangsa kita dalam tata pergaulan
bangsa-bangsa di dunia. Dan sebagaimana saya nyatakan di muka, saya
merasa sangat senang, kini bangsa kita, dan juga pemerintah yang
terbentuk sebagai hasil pemilu, benar-benar menikmati kehormatan kita
sebagai bangsa yang demokratis.
Yang Mulia Majelis Hakim
Suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 dan pengakuan internasional
terhadapnya, perlu dihitung dengan nilai keuangan negara. Seandainya
Pemilu 2004 gagal, maka akan besar sekali kerugian keuangan yang
diderita negara. Risiko politik akan lebih besar dibandingkan dengan
nilai biaya ekonomi yang dikeluarkan oleh KPU pada pemilu 2004. Dengan
demikian KPU telah menyelenggarakan pemilu secara aman dalam rangka
suksesi kepemimpinan politik, yaitu pergantian anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan untuk pertama kalinya memilih
anggota DPD. Di samping itu untuk pertama kalinya dalam sejarah politik
Republik Indonesia, kita telah nyelenggarakan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung. Bahkan Amerika Serikat pun belum pernah
melaksanakan pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang benar-benar
langsung. Keberhasilan suksesi pimpinan nasional melalui Pemilu 2004
merupakan pertama kalinya pula suksesi kepemimpinan negara tanpa diikuti
oleh kerusuhan sosial dan politik. Kita dapat belajar dari sejarah
kerusuhan sosial politik yang timbul dalam proses pergantian Presiden
dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke Habibie, dari Habibie ke KH
Abdurahman Wahid, dan dari Abdurahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri.
Dengan demikian pergantian Presiden dari Megawati Soekarnoputri ke
Susilo Bambang Yudhoyono merupakan suksesi pertama kali yang berlangsung
tanpa kerusuhan yang menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian KPU
berharap bahwa keberhasilan Pemilu 2004 sebagai fondasi membangun budaya
politik yang demokratis tidak dilupakan begitu saja.
Saya berharap Majelis Hakim yang mulia bahwa dalam pengadilan yang
terhormat ini kita dapat melihat secara kontekstual, proporsional dan
adil proses pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan proyek politik
yang bernama Pemilu 2004 itu. Penghakiman yang tidak proporsional, akan
dapat merugikan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemilihan Umum 2004, seluruh proses dan legitimasi hasil Pemilu 2004,
dan perjalanan demokratisasi kita ke depan.
Sekian dan Terima Kasih.
Jakarta, 25 November 2005
Ketua KPU,
Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar