Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah),
ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang
dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka
(tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri
(tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada
pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang
berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang
dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah
ini digunakan oleh para pakar fikih.
Sedangkan menurut istilah,
zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan
waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih sayang
dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai
meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang
miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3)
membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang
sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa
sebulan.[4]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk
mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji,
dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya
sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya
setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara
berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri
adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari
berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin
Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’
(kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat
fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ،
وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang
merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun
dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang
keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Perlu dipehatikan
bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya
janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa
janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena
janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf
(kebiasaan yangg ada). [8]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena untuk
menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan
kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai
kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan
siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia
dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini
yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ
فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ
لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia
memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah
mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana
ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam.
[9]”[10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga
wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11]
Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami
bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi
tanggungan nafkah suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu
terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati
waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah yang
menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13] Alasannya, karena zakat fithri
berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu,
zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga
hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya
matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban
dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah
terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri.
Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari
maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan
sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan
zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari
terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, gandum,
beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar
sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama
Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu
kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama,
tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]
Perlu diketahui bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’
kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah.
Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi
makanan pokok lainnya, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang
biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh
diperintahkan seperti ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.”
(QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian dari kafaroh
karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan karena
berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari
semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis)
sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17] Dalil dari hal ini
adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu
seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنَّا
نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan
makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam
riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sho’ keju.”[19]
Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran
takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran
timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat
cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika
diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama
lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika
zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh
menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. Karena
tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti
dengan uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud mengatakan,
قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ - يَعْنِي فِي
صَدَقَةِ الْفِطْرِ - قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Imam
Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh seseorang,
“Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat fithri?”
Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. Mengeluarkan
zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ
“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ
يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ
عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang seharga
zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan
telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
(dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).[24]” Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25]
Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan
demikian”.”[26]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah
menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’, Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat
fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin
–khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang
dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak
boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan
padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat
–radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak
mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia
yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya.
Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang,
tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka
yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak diberikan
zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri disalurkan
pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat
60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah
khusus untuk fakir miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al
Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus diserahkan pada
orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8
golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan
untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang
sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang
setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat
fithri hanya khusus untuk orang miskin.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: (1)
waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga
dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan yaitu
satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ
أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya
diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu
hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما - يُعْطِيهَا الَّذِينَ
يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan
zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia
mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul
Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat
fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang
menunjukkan dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ
ثَلَاثَةٍ
“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa
yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul
Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh
ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh
ditunaikan satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat yang lebih
tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan
waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh hari
sebelum hari fithri. Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat
fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa
bersuka ria di hari fithri. Jika ingin ditunaikan lebih awal, maka
sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied.
Ibnu
Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri jauh-jauh hari
sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja hal ini tidak
mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk memenuhi
kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya
zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga
zakat ini pun disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat fithri
adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari
fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada
udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa
zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini
masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan
tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama
hamba yang mesti ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa
saja yang menyerahkan zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka
sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah seharusnya lembaga zakat
tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri harus dikeluarkan sebelum
shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat fithri diserahkan
langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun
dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan
kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak
berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab
wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[2] Al Majmu’, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa’ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.
At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma’ad, 2/17.
[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494.
[36] Al Mughni, 4/301.
[37] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan
ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri
tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia
mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar