Selasa, 05 Oktober 2010

MENGHARGAI HASIL KERJA MURID

Belum habis rasa kecewa terhadap perilaku sebagian guru. Sehingga pada judul yang lain kali ini saya juga ingin melanjutkan tulisan tentang guru.

Ananda Zhafira Mazaya, anak kedua saya yang masih kelas I MIN, tadi sore pulang sekolah dengan girang. Dengan wajah polos dia mengatakan gurunya baik sekali telah memberinya telur. Ada apa ini? batin saya, juga dengan setengah bertanya. Sejak kapan guru MIN membagi-bagikan telur pada muridnya?

Wah, ternyata saya kecele... Telur yang dimaksud bukanlah telur sungguhan, tapi merupakan nilai nol yang diberikan oleh sang guru pada tugas yang diberikan kepada anak saya. Memang nilai nol sering disamakan dengan telur... (istilah itu malah sejak saya masih kanak-kanak).
Dengan kecewa saya periksa lagi hasil tugas yang diberi nilai nol tersebut. Kalau pada awalnya saya sempat kecewa pada si anak, terakhir malah saya kecewa pada gurunya. Betapa tidak? Kalau melihat tugas yang sudah dikerjakan oleh si murid (nampak dari usahanya yang sungguh-sungguh), tidak seharusnya diberikan nilai nol. Katakanlah kalau hasilnya tidak memenuhi keinginan guru, setidaknya guru dapat memberi apresiasi terhadap usaha si murid dengan memberikannya nilai yang rendah, bukan nol.
Karena dengan usia anak kelas I MIN, yang rata-rata masih enam tahun, tentu saja kemampuan untuk mencerna keinginan guru masih rendah, sehingga tentu saja akan beragam pula hasil yang diperoleh masing-masing siswa. Namun, kita tetap harus memberi dorongan pada mareka yang masih cilik ini dengan penghargaan, bukan dengan hukuman, konon lagi dengan memberikan nilai nol...

Saya terus terang saja kecewa dengan kejadian terhadap Mazaya, apalagi kejadian ini bukan pertama kali. Sekitar dua tahun yang lalu, kejadian yang hampir sama, beberapa kali, juga menimpa anak sulung saya, Ananda Fildza Alifa, yang juga sekolah disana. Hanya saja bukan masalah nilai nol, tetapi guru menyalahkan PR Matematika yang dibuat Fildza. Ketika anak saya sudah sangat serius menghitung PR-nya ternyata di sekolah disalahkan. Karena ini mata pelajaran Matematika, tentu siapapun tidak bisa membengkokkan hasilnya. Dua kali dua hasilnya adalah empat. Pasti.
Anak sulung saya, Fildza menghitung kembali PR-nya. Hasilnya tetap sama seperti semula. Saya yang penasaran juga ikut menghitung, ternyata hasilnya tetap sama. Toh mata pelajaran ini adalah ilmu pasti. Jadi, gurunya yang salah. Sehingga saya, sebagai seorang ayah, membuat sebuah notes kecil di buku PR Fildza agar guru lebih berhati-hati memeriksa hasil tugas si murid. Kejadian seperti ini sempat terulang tiga kali, makanya saya sempat meragukan kemampuan gurunya tersebut.

Dengan beberapa kejadian yang saya alami, saya jadi teringat sebuah catatan kecil Bpk R.Kasali ketika mengunjungi anaknya yang sekolah di Amrik sono. Ceritanya ketika anak beliau mendapat tugas membuat suatu makalah dari Profesornya, si anak telah berusaha semampunya. Melihat makalah dimaksud, secara serta merta Pak R.Kasali menilai bahwa kualitas tulisan anaknya sangat rendah. Sangat tidak memenuhi kualifikasi, katanya. Namun sang anak tetap bersikukuh bahwa tulisannya sudah bagus sehingga dia tidak mau memperbaikinya, konon lagi waktu untuk menyampaikan makalah pada Profesornya sudah kepepet.
Setelah dibawa pada Profesor, malah memberi nilai yang bagus terhadap tulisan itu. Aneh juga. Pak R.Kasali segera saja menemui Profesor untuk mempertanyakan alasan memberikan nilai yang bagus pada hasil karya anaknya, yang menurut beliau sendiri masih kurang layak.
Jawaban sang Profesor sangat mengangetkan. "Di negara anda (maksudnya Indonesia) barangkali sudah terbiasa seorang guru tidak menghargai hasil kerja para anak didik (dalam hal ini mahasiswa). Tapi ini Amerika pak... kami memperlakukan dengan adil jerih payah anak didik. Kalau hasil yang dicapai kurang, kami tidak akan menghakimi, kami tetap akan menghargai mereka..."

Nah, jawaban itu yang membuat Pak R.Kasali merasa malu pada Profesor.

Kejadian yang saya ceritakan di Amrik itu seakan menelanjangi kita. Tidakkah seorang guru seharusnya menggunakan nurani? Bahwa menghargai sedikit saja anak didiknya (yang sudah berusaha mengerjakan tugas yang diberikan dengan semampunya) akan membuat si anak termotivasi untuk mendapat nilai yang lebih baik pada kesempatan yang lain.

Khusus bagi Mazaya, jangan bawa pulang lagi telur ke rumah....! Ummi-mu sudah cukup menyediakan lauk untuk makan...

Mukhlis Aminullah, orangtua murid, berdomisili di Kota Juang, Bireuen.

1 komentar:

  1. sangat kesihan kalau hasil usaha pelajar-pelajar tidak di hargai walaupun hasil kerjanya tidak memuaskan tetapi sekurang-kurangnya sebagai guru kita perlu menghargainya kerana itu adalah usaha mereka mengikut kemahiran yang ada pada mereka...kerana penghargaan dari seorang guru terhadap pelajarnya akan menjadi kenangan mereka dan mereka akan berusaha sekiranya gurunya memberi penjelasan yg baik terhadapnya...

    BalasHapus