Sabtu, 02 Mei 2009

KOALISI GOLKAR DENGAN ''GOLKAR''

Mengejutkan..!
Itulah kata yang pas bagi saya untuk memulai tulisan kali ini. Mengapa ? Ada dua hal yang ingin saya tulis terkait dengan kejadian mengejutkan dalam 24 jam terakhir. Kedua hal itu sama-sama merupakan kejutan. Jadi, pantas ''mengejutkan''.

Pertama adalah koalisi Partai Golkar dengan Hanura untuk mengusung JK-Wiranto sebagai Capres/Cawapres pada Pilpres mendatang. Kedua adalah dugaan keterlibatan Ketua KPK, Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan berencana Nasruddin Zulkarnaen, pengusaha asal Sulawesi Selatan. Kedua kejutan itu akan saya bahas satu persatu.

KOALISI GOLKAR-HANURA

Koalisi Partai Golkar dengan Partai Hanura untuk mengusung JK-Wiranto sebagai Capres/Cawapres pada Pilpres mendatang bagi saya merupakan ''kejutan''. Betapa tidak.....
Kita sama-sama mengetahui bagaimana hubungan keduanya selama ini, yang tidak bisa dikatakan harmonis untuk untuk ukuran bahwa keduanya adalah tokoh nasional. Walaupun tidak seburuk hubungan antara SBY-Mega, namun selama ini keduanya berada pada blok yang berbeda. Pasca kemenangan Wiranto pada konvensi Capres Partai Golkar tahun 2004, hubungan mereka renggang. Apalagi kemudian JK maju sebagai Cawapres-nya SBY dan menang sehingga JK menjadi orang nomor dua di Republik ini. Selanjutnya JK juga terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar... klop sudah. Wapres juga Ketua Partai besar.

Wiranto yang kalah telak pada Pilpres 2004 (malah hanya bertahan pada putaran pertama), kemudian membenahi diri. Mengingat bahwa keberadaannya di Partai Golkar hanyalah sebagai pelengkap (karena kekuasaan sudah dipegang JK), kemudian Wiranto segera menyusun kekuatan baru dengan mendirikan Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat). Bersama kawan-kawan mantan Jenderal ditambah beberapa mantan petinggi partai lain yang bergabung kemudian hari, embrio Partai Hanura terus tumbuh dengan pesat. Hampir seluruh wilayah Nusantara, Hanura mempunyai kepengurusan yang lengkap. Ditopang pengalamannya selama memimpin TNI serta pernah jadi Menteri, Wiranto dkk mencoba membesarkan Hanura. Dan hasilnya bisa kita lihat, saat ini Hanura masuk 10 besar dalam penghintungan sementara yang dilakukan oleh KPU.
Untuk ukuran partai baru, hal itu tentu membanggakan.....

Wiranto tidak hanya mendirikan partai. Keberadaannya pada level atas sebagai mantan pejabat negara tetap terjaga. Buah pikirannya tetap cemerlang, walaupun seringkali ''berseberangan'' dengan pemerintahan SBY-JK. Beliau tidak segan mengkritisi, kalau ada kebijakan pemerintah dirasa tidak memihak rakyat. Terakhir beliau sangat gencar menyerang SBY-JK terkait dengan harga BBM. Walaupun itu murni kritik demi rakyat, katakanlah demikian, namun tak bisa dipisahkan juga dari ambisi-nya kembali ke pemerintahan sebagai Capres. Ada simbiosis mutualisme.

Bagaimana dengan JK? Setali tiga uang. Dia tetap memandang Wiranto sebagai mantan rival. JK sangat reaktif menerima berbagai kritikan Wiranto. Tahun lalu, 2008, JK sempat menyatakan kepada pers bahwa pada Pemilu kali ini jangan ada lagi ''penumpang gelap'' dalam pencalonan Presiden dari Partai Golkar tahun 2009. Walaupun saat itu JK tidak menyebutkan nama siapa yang dimaksud ''penumpang gelap'' tersebut, publik tentu paham bahwa yang dimaksudkan adalah Wiranto. Hal ini karena Wiranto tidak sepenuhnya kader Partai Golkar. Walaupun kalau kita kembali melihat sejarah Orde Baru, sebagai Perwira TNI, keberadaannya dibelakang layar GOLKAR sebagai Penguasa tidak perlu diragukan lagi.

Nah, hari ini kedua orang yang pernah ''berseteru'' tersebut bersatu dalam satu gerbong untuk mencapai cita-cita menjadi penguasa di Republik ini. Benar-benar sebuah kejutan. Apalagi bila kita menyimak kata-kata pujian yang dilontarkan oleh keduanya pasca penandatanganan MoU antara Partai Golkar dengan Partai Hanura, tadi malam.
Wiranto memuji JK sebagai pengusaha berjiwa tentara yang sangat tegas. Juga memuji peran JK dalam penyelesaian kasus Poso, Ambon dan Aceh. JK lebih tentara dari tentara.
JK juga tidak segan memuji Wiranto sebagai kawan maupun ''lawan'' yang tangguh. JK mengatakan pengalaman Wiranto sebagai Panglima TNI yang telah mengambil berbagai kebijakan strategis pada masa transisi 1998-1999 telah membentuknya menjadi pemimpin yang kuat, berkarakter dan tidak cengeng. Menurut JK, pengalaman di TNI dipadukan dengan pengalaman sebagai birokrat (pernah menjadi Menteri) telah membuat Wiranto menjadi lebih bijak, termasuk saat memutuskan bersedia menjadi Cawapres JK.

Saling puji tentu saja tidak cukup. Untuk menjadi sebuah tim yang solid tentu butuh energi yang besar. Pada tahap awal tentunya PR menjadi tugas JK, terutama bagaimana meredam suara-suara mbalelo dari dalam tubuh Partai Golkar sendiri. Sebagaimana sudah kita diketahui umum, bahwa dalam Partai Golkar ada beberapa faksi. Dalam penentuan sikap menuju Pilpres 2009 sendiri ada beberapa opsi. Dari arus bawah, mereka lebih menghendaki Partai Golkar tetap mengusung JK sebagai Cawapres SBY, lagi. Menurut mereka, dengan begini peluang untuk memimpin tetap terjamin, mengingat popularitas SBY bersama Partai Demokrat sedang tinggi-tingginya. Opsi kedua datangnya dari tingkat elit yaitu lebih menghendaki JK maju sebagai Capres dari Partai Golkar, dengan asumsi peluang tetap terbuka lebar. Mereka melihat ke belakang, salah satunya yaitu dalam dua Pemilu terakhir; Presiden bukan dari Partai pemenang Pemilu. Salah satu cara adalah dengan berkoalisi dengan Partai Hanura.

Padahal, kalau kita mau melihat sedikit riwayat politik kedua Partai tersebut, maupun kedua Ketua Umum-nya, rasanya tidak perbedaan warna keduanya. Ibarat orang sudah pernah cerai, kemudian rujuk kembali. Sah-sah saja kalau ada yang menilai, telah terjadi koalisi Golkar dengan Golkar.
Secara eksplisit, tadi malam, Wiranto juga mengakui bahwa ada kesamaan ''chemistry'' yang sama antara dirinya dengan JK. Pada kesempatan tanya jawab dengan TV One, Tina Talisa sang reporter malah melempar guyonan, bahwa kuning berkoalisi dengan kuning.

Sebagai masyarakat, kita hanya bisa menantikan, program apa yang akan ditawarkan oleh mereka pada saat kampanye maupun penyampaian visi & misi pada minggu-minggu yang akan datang. Dan kalau suatu saat terpilih, kita tentu tidak menghendaki ada ''rivalitas'' antara keduanya, mengingat secara psikologis-pun keduanya adalah setara atau selevel. Mereka harus mengedepankan profesionalisme, sebagaimana telah dipertontonkan oleh SBY selama ini.

Mukhlis Aminullah, mantan anggota KPU Bireuen, Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar