Senin, 13 April 2009

QUO VADIS PEMILU DI ACEH

Hari ini agak susah bagi saya untuk memulai menulis tentang Pemilu. Bukan kehabisan ide, namun begitu banyak permasalahan yang terjadi, mulai dari proses pemungutan suara di TPS sampai rekapitulasi ditingkat Kecamatan. Oke, akan saya coba urutkan satu per satu........

Selama reformasi saya belum pernah melihat proses pemilu yang hancur-hancuran seperti tahun ini. Dan menurut cerita dari ayah saya, mungkin inilah Pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Pemilu 1955 pun yang masih dalam masa transisi setelah 10 tahun kemerdekaan dan bangsa kita masih mencari jati diri di dunia internasional, berlangsung lebih baik dari sekarang. Jangan ditinjau dari kemajuan tehnologi, tetapi dari prosesnya yang berlangsung lebih jurdil.....

Pemilu di masa Orde Baru-pun tidak sejelek ini. Katakanlah, rezim Soeharto mengekang semua elemen masyarakat, termasuk partai politik, untuk menyuarakan nasib rakyat dalam proses demokrasi, namun dilakukan tidak secara terang-terangan. Tidak ada intimidasi secara kasar yang mengabaikan etika dari tangan-tangan Orde Baru. Rakyat, termasuk Pegawai Negeri memang dianjurkan mencoblos Golkar. Kecurangannya yaitu suara kita tidak tersalurkan secara jujur, namun tidak dilakukan ancaman. Proses "penghilangan" suara rakyat dilakukan dibelakang layar.

Yang terjadi sekarang adalah proses kehancuran nilai-nilai demokrasi suatu bangsa, terutama bagi penduduk Aceh yang baru pertama kali pemilu-nya diikuti oleh Partai politik lokal. Cukup banyak menyisakan persoalan, mulai dari masa persiapan pemilu, perekrutan penyelenggara (Anggota KIP), pendataan pemilih, pencalonan, uji baca Al Qur'an, penetapan DPT, urusan Logistik, pemungutan suara dan terakhir adalah penghitungan suara.

Proses perekrutan Anggota KIP Bireuen, menyisakan beragam pertanyaan yang sampai hari ini tidak bisa dijelaskan kepada publik oleh tim penjaringan. Walau secara yuridis formal tidak ada masalah, karena memang tidak ada gugatan, namun hampir semua orang Bireuen yang selalu mencermati prosesnya (bukan hasil akhir), bisa mengatakan adanya "permainan" yang bertujuan mengamputasi hak-hak perseorangan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemilu.
Bukan rahasia umum, kemudian hari ada orang yang mengaku tidak bisa membaca Al Qur'an, tapi bisa lulus saat seleksi di Tim Penjaringan. Begitu juga sebaliknya, ada peserta seleksi yang jelas-jelas mendapat rangking teratas di uji tulis, sengaja rangkingnya dikaburkan menjadi peringkat belasan agar ketika tidak lulus wawancara, tidak ada masyarakat yang heran dan komplain. Semua "bocoran" baru terungkap secara detail di kemudian hari dan informannya adalah "orang dalam"

Ketika Anggota KIP yang baru, mulai melaksanakan tugas, beragam persoalan sudah menunggu dan harus diselesaikan. Ibarat seseorang baru bisa berjalan, tiba-tiba kita minta untuk berlari.... bagaimana dan apa yang dilakukan..? Begitulah yang terjadi, mereka harus melakukan pendataan pemilih dan mempersiapkan pencalonan Anggota DPRK. Pendataan pemilih berlangsung di bawah standar, akibat kurangnya koordinasi antara pihak KIP dengan jajaran di bawahnya. Hubungan dengan PPK, secara resmi, tidak terjalin secara intens. Bagi Anggota maupun Ketua PPK yang "rajin" menyambangi KIP, akan mendapat informasi seputar Pemilu, walau minim. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak pernah datang ke KIP atas inisiatif sendiri, tidak tau apa-apa. Kondisi ini sudah berlangsung lama dan para Anggota PPK sudah sering mengeluh.
Semua persoalan tsb membuat out-put yang dihasilkan juga tidak maksimal. Wajar saja bila sekarang kita temui carut marutnya DPT di masing-masing Kecamatan.


Selanjutnya pada proses pencalonan juga tidak kurang masalah. Ada informasi sangat akurat, bahwa ada salah seorang pengurus Partai tidak bisa membaca Al Qur'an, tetapi bisa lolos dari hadangan Teungku yang menguji. Sebuah sumber mengatakan, ybs "dibantu" untuk lulus....
Wah, gawat....... Ini baru satu sumber saja, bisa saja ada cerita "belakang layar" lain lagi.

Selanjutnya adalah proses penetapan DPT yang dilakukan 2 (dua) kali oleh KPU Pusat. Penetapan kedua sifatnya merevisi penetapan yang pertama, setelah ada perbaikan. Sementara pada level Kabupaten/Kota, KIP Kabupaten Bireuen tidak melakukan revisi terhadap hasil penetapan sebelumnya, padahal pada saat itu realita di lapangan adalah banyak masyarakat tidak terdaftar. Dan tentu saja ada juga sebaliknya, yaitu orang meninggal 2 (dua) tahun lalu masih masuk DPT. Kalau saja pihak KIP Kabupaten Bireuen, sejak awal jeli, tentu pro-aktif mendorong PPK serta petugas pendataan untuk melakukan re-chek terhadap DPT. Maka, wajar bila sekarang kita dapat info bahwa puluhan anggota keluarga Yonif 113 tidak terdaftar, puluhan anggota keluarga Asrama Polisi, puluhan anggota keluarga Kodim/Kiban 113 dan masyarakat lainnya. Keluarga saya di Gampong Cot Puuk, Kecamatan Gandapura ada belasan yang tidak terdaftar.

Ada apa dengan kampanye...? Sangat jelas banyak sekali pelanggaran di lapangan. Mobilisasi peserta kampanye salah satu Partai lokal mengabaikan aturan lalu lintas di jalan raya, sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya. Cerita lain adalah dilarangnya masyarakat menghadiri kampanye terbuka PKS, Partai SIRA dan PRA oleh sekelompok orang dari partai lokal tertentu. Selain itu, beberapa partai melakukan kampanye melewati batas waktu. Memang hal ini tidak semata-mata kesalahan penyelenggara, namun masyarakat sendiri punya andil karena tidak berani melapor ke Panwaslu.

Hari pemungutan suara adalah puncak dari semua proses penghancuran nilai-nilai demokrasi. Kami pantau di lapangan, beragam persoalan pada hari pemungutan suara. Mulai tidak dibagikannya DPT kepada Saksi maupun Panwas Lapangan oleh KPPS, tidak diumumkan DPT kepada Pemilih di TPS, tidak diberikan salinan hasil penghitungan suara di TPS kepada Saksi, hingga tidak di- akomodirnya protes Saksi pada penghitungan suara. Ada lagi pemilih yang tidak ada namanya dalam DPT, namun ybs akhirnya dapat memilih. Itu hanya pelanggaran oleh KPPS, belum lagi pelanggaran oleh beberapa pihak yang dengan sengaja menggiring Pemilih untuk memilih salah satu Partai lokal.

Semua perbuatan atau pelanggaran itu berlangsung secara terang-terangan. Tidak ada tindak lanjut dari pihak terkait. Panwas lapangan tidak berkutik, Saksi partai lain apalagi, mereka takut ancaman. Pelanggaran yang terjadi pada pemungutan dan penghitungan suara, berlangsung secara sistematis. Layaknya ada sebuah koordinasi yang matang, agar semua pihak melakukan pelanggaran, atau setidak-tidaknya ada pembiaran terjadinya pelanggaran. Akses untuk pemantau dan panwas juga sangat terbatas, sehingga pelanggaran-pelanggaran di lapangan terkesan tidak ada tindak lanjut.

Yang sangat kita sesalkan adalah pernyataan Ketua KIP NAD, A. Salam Poroh tanggal 10 April 2009 di koran Serambi Indonesia. Bahwa menurut KIP NAD, Pemilu di Aceh sudah berlangsung dengan baik. Padahal pada tanggal tersebut, masih dalam proses pemilu. KIP NAD terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Hari ini pun masih ada indikasi pelanggaran. Proses rekapitulasi di tingkat Kecamatan tidak berlangsung secara transparan. Ada beberapa Kecamatan yang melakukan rekapitulasi tidak dalam sebuah "Rapat Rekapitulasi Penghitungan Suara", artinya dilakukan penghimpunan data bukan di depan umum dengan menyebutkan satu per satu perolehan suara.
Ada kalanya memang bukan bertujuan untuk memanipulasi angka, namun karena keterbatasan formulir dan sebab-sebab lainnya. Namun proses demikian tetap merupakan pelanggaran.

Disatu sisi kita percaya para Anggota PPK akan berkerja dengan baik, namun di sisi yang lain, kita wajib untuk selalu waspada. Untuk saat ini sangat banyak calo politik maupun hantu kotak suara bergentayangan ke Kecamatan untuk menggoyang iman para penyelenggara. Mereka di imingi berbagai kemudahan.

Saya mengalami hal semacam itu ketika kita menyelenggarakan Pemilu 2004. Sampai hari inipun masih ada para Caleg yang mencoba untuk bermain-main dengan saya, padahal mereka tidak tau saya tidak lagi menjadi penyelenggara Pemilu. Semua godaan, Alhamdulillah bisa saya tolak dengan cara yang santun. Dan saya meyakini, para penyelenggara pemilu saat ini, terutama di Kecamatan, mengalami juga seperti saya. Mudah-mudahan mereka tetap di jalan yang tepat dan bisa menangkis godaan.

Masih ada beberapa tahapan lagi yang akan dilalui yaitu rekapitulasi tingkat Kabupaten/Kota, penetapan hasil pemilu tingkat Kabupaten/Kota dan penetapan Caleg terpilih. Mari kita buka mata lebar-lebar untuk menjaga suara rakyat. Lebih baik kita jaga sekarang, daripada nanti kita menggugat bila tidak puas terhadap hasil Pemilu.

Mukhlis Aminullah, mantan Anggota KPU Bireuen, Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar