Senin, 20 April 2009

KESAKSIAN JIHAD DARI SEORANG AGEN SPIONASE

Tragedi hancurnya gedung WTC 11 September yang berlangsung sekitar delapan tahun lalu masih menyisakan berbagai cerita, yang belum habis dikupas oleh media internasional maupun penulis buku. Tragedi itu tidak hanya yang mengakibatkan Amerika dan dunia berduka, namun juga membuat Amerika murka, terutama Presiden George W.Bush. Dan kejadian itu menjadi pembenaran kebijakan Bush kemudian hari yaitu menghancurkan Afghanistan, mencap semua orang Islam harus dicurigai dan membangkitkan sentimen anti-Islam dibeberapa negara Eropa. Sentimen agama yang dipicu dari "keadaan buruk" di Palestina, Afghanistan dan Bosnia yang tak kunjung berakhir, rupanya melahirkan kelompok Islam garis keras bersatu. Demi alasan jihad, lantas menyerang musuh di seberang lautan (Amerika/Eropa). Tak pelak, jika serangan itu menegaskan dikotomi Islam dan Barat dalam peta peradaban pasca keruntuhan Uni Soviet.

Genderang perang ditabuh dan serangan itu pun membangun peta terorisme internasional baru yang tak hanya melahirkan musuh untuk diserang (Barat) dan pelaku jihad (Al-Qaeda). Sebaliknya, Barat tak tinggal diam dan selalu waspada. Maka terorisme tak sekadar melahirkan dua kutub Barat dan Islam saling berhadapan, tapi juga keterlibatan spionase untuk membaca peta musuh.
Anda mungkin belum pernah mendengar tentang seorang Omar Nasiri, seorang Muslim yang mengemban misi dinas intelijen Prancis, Inggris dan Jerman. Selama 7 tahun yang bersangkutan berkecimpung dalam dunia intelejen ketiga negara tersebut di atas. Dan dia mengungkapkan tentang latar belakang cengkraman terorisme internasional yang sampai kini ternyata belum berakhir, dalam sebuah buku.

Meski Omar Nasiri bekerja sebagai spionase untuk dinas inteligen Prancis, Inggris dan Jerman (1994-2000) sebelum serangan 11/9, tapi kesaksian yang dibeberkan Omar dalam bukunya merupakan secuil informasi tentang bagaimana jaringan fundamentalisme dan intelijen kontra-terorisme bekerja. Apalagi selain sebagai mata-mata, Omar juga mengaku sebagai mujahid. Memang Omar yang berlatar belakang Maroko dan sempat menempuh pendidikan di Belgia, bisa menjadi jembatan yang memudahkannya jadi mata-mata.

Tapi keterlibatan Omar sebagai spionase Barat tentu tak sesepele itu tanpa ada ideologi jihad yang melatarbelakangi. Pada mulanya, ia sebagai seorang Muslim merasa tercabik dengan kesengsaraan umat Islam di Afghanistan dan Bosnia/Serbia dan hendak berjihad. Tentu keinginan itu membuat Hakim, kakaknya senang. Apalagi di Maroko, Omar hidup sebagai makelar gelap. Hakim lalu mengajak Omar kembali ke Belgia.

Tapi sesampai di Belgia, ternyata keadaan sudah berubah. Hakim menyeret Omar terlibat GIA (Kelompok Islam Bersenjata) jaringan teroris penting Aljazair (di Belgia). Dihadapkan pada kondisi Omar yang butuh uang, Omar menawarkan diri jadi pemasok senjata. Tapi saat rumah ibunya jadi markas GIA --menerbitkan surat kabar Al-Ansar-- ia dihinggapi rasa khawatir. Apalagi, sejak awal dia sudah berbeda ideologis dengan GIA (yang membenarkan pembunuhan warga sipil yang tak mendukung GIA).

Dari pebedaan itulah, Omar melakukan konfrontasi; mencuri uang kas GIA agar GIA hengkang dari rumah ibunya. Tapi, harapan itu meleset. Ia justru diancam (dibunuh). Dihinggapi takut, Omar pun terjerumus jadi spionase, setelah mendatangi dinas intelijen Prancis (DGSE) demi untuk menyelamatkan ibunya. Setelah itu, rumahnya digerebek. Polisi menangkap anggota GIA (Amin, Yasin dan Hakim) tetapi Omar bebas karena Giles (penghubung Omar dari DGSE) hendak menawarkan misi baru buat Omar untuk menelusup ke kamp di Afghanistan.

Omar tidak menolak. Omar menelusup dari Turki dan Pakistan kemudian bergerak ke jaringan radikal Islam Afghanistan (lewat Abu Zubayda). Semula di kamp di Khaldan. Rupanya, berkat kepiawaian di kamp, Omar dikirim Ibnu Syeikh ke kamp Darunta. Selama satu setengah tahun (1995-1996), misinya tak terendus. Dari Darunta, Ibnu Syeikh malah mengirimnya ke Eropa untuk dijadikan penghubung bagi petinggi kamp di Afghanistan.

Tetapi sekembali dari Afghanistan, Omar kembali menjadi antek intelijen Barat ditugaskan ke London --disewa secara gabungan oleh dinas rahasia Prancis dan Inggris untuk menyusup dalam jaringan kelompok radikal di London. Di kota itu, Omar bertugas memata-matai Abu Hamza (di masjid Finsbury Park) dan Abu Qatada (di Four Feather Club). Dari London, ia lantas ditugaskan ke Jerman.

Kisah Omar berakhir saat ia pindah ke Jerman. Di sana, dia diabaikan. Tak diberi perlindungan dan identitas baru sebagai warga Prancis yang dulu pernah dijanjikan. Apalagi tak lama kemudian Omar menikah. Hubungannya dengan dinas rahasia Jerman pun runyam. Tak ada lagi yang dikerjakannya, dan lantaran mendapat perlakuan yang buruk selama di Jerman (5 tahun tak diberi surat dan dia melakukan pekerjaan paling rendah), Omar memutuskan untuk menceritakan kisahnya sebagai spionase.


Menjadi intelejen Barat bukannya menyenangkan baginya. Ia tetap dihantui kebimbangan. Kebimbangan Omar, tentu dilatarbelakangi ideologi sebagai orang muslim. Dia bimbang untuk menambatkan kesetiaan. Dia merasa betapa sulit menjalani hidup jadi spionase. Maka ketika dia sadar bahwa dia telah bekerja untuk kaum kuffar, dia ingin menebus semua itu. Selain bertobat kepada Allah, dia juga ingin menulis pengalamannya dalam sebuah buku. Ia yakin buku yang ditulisnya adalah bentuk jihad dari seorang spionase dan pengakuan bahwa dia pernah khilaf.

Omar berharap, pengalamannya akan membantu membuka mata semua orang, bahwa setiap manusia (Muslim) bisa khilaf dan bekerja untuk musuh. Selain itu juga, pengalamannya berguna bagi pihak Barat, agar mereka memahami pemikiran umat Islam mengenai "logika jihad".

Bagi Anda yang ingin tau lebih detail tentang jihad Omar, sebaiknya membaca buku karangan nya itu, atau membuka mata lebar-lebar di internet mencari referensi lebih lengkap, karena yang saya tulis ini hanya sekelumit saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar