Sabtu, 30 Agustus 2008

ZAKAT & PEMBERDAYAAN UMMAT

Zakat adalah ibadah wajib yang termasuk rukun Islam. Perintah wajibnya termaktub secara tegas dalam Alquran Surat At Taubah: 103, yang menjelaskan bahwa zakat itu diambil dari harta aghniya’ (orang yang mampu) sebagai pembersih dan penyuci harta mereka.
Kata khudz yang berarti ambillah menyiratkan sebuah tindakan proaktif, bukan pasif menunggu. Ini membutuhkan sebuah kerja professional karena berkaitan dengan pengelolaan dana umat. Itulah sebabnya badan atau Lembaga Amil Zakat menjadi sangat berperan. Secara ideal zakat harus mampu menjadi solusi bagi masalah umat, khususnya masalah ekonomi.
Zakat memiliki potensi untuk itu. Potensi zakat nasional mencapai 19,3 triliun (Studi Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation, 2004). Versi lain, seperti yang pernah diungkap Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mencapai Rp 17 triliun. Jelas kedua data itu menggambarkan betapa besarnya potensi zakat. Kendati demikian, realitasnya masih jauh api dari panggang.
Dana umat yang berhasil dihimpun melalui badan dan Lembaga Amil Zakat tidak lebih dari lima persen. Sisanya belum jelas terhimpun dan tersalur melalui apa. Secara umum, ada dua alasan mengapa potensi zakat yang besar demikian belum optimal. Pertama, pemahaman seputar zakat belum lengkap. Ada sebagian masyarakat yang hanya mengetahui zakat itu sekadar zakat fitrah, yang besarnya hanya 2,5 kg beras atau senilai lima belas ribu rupiah. Ada juga yang memahami zakat itu hanya dibayarkan sepanjang Ramadhan sehingga dibatasi waktu satu bulan Ramadhan.
Pemahaman itu jelas membuat potensi zakat tidak terhimpun optimal. Bila hanya zakat fitrah, bagaimana mungkin potensinya mencapai triliunan rupiah? Begitu juga bila masa pembayarannya hanya pada Ramadhan, tentu membatasi para muzakki. Padahal, rezeki setiap orang tidak terbatas Ramadhan.Kedua, kebiasaan masyarakat memberikan zakat langsung kepada mustahik tanpa melalui badan atau lembaga amil zakat. Kebiasaan ini sah-sah saja selama tepat sasaran.
Tetapi, model distribusi gaya ini tetap menyisakan sejumlah kekurangan. Secara psikologis, mustahik akan merasa inferior, khususnya bila bertemu pemberi zakat. Belum lagi tentang keakuratan data dan kesinambungan program. Tentu sulit bila dilakukan oleh individu atau kelompok yang tidak memiliki kompetensi dalam pengelolaan dana zakat. Ini menjadi nilai lebih bagi badan atau lembaga amil zakat profesional. Mereka lebih mampu menjaga psikologis mustahik, memiliki data yang akurat, serta adanya perencanaan dan kesinambungan program.
Distribusi merata atau prioritasInilah salah satu pertanyaan yang sering muncul. Contoh, bila terkumpul dana zakat Rp 5 juta dan ada 50 mustahik di sebuah wilayah. Mana yang lebih baik, mendistribusikan dana itu secara merata kepada 50 orang mustahik, masing-masing 100 ribu, atau fokus pada 2-3 orang mustahik yang dinilai prioritas dan layak diberi dana untuk memberdayakan mereka? Semisal untuk modal usaha?
Tanpa mencoba menafikan satu dengan lainnya, tentu (semestinya) kita pilih yang dapat secara signifikan memberdayakan mustahik meskipun yang menerima sedikit. Artinya, ada prioritas. Tentu membutuhkan seleksi yang jelas prosedurnya agar tidak menimbulkan fitnah. Di sinilah keberadaan lembaga amil zakat yang profesional menemukan korelasi positifnya, menjadi sebuah kebutuhan. Bisa kita bayangkan bila yang mengurus pendistribusian dana tadi lembaga yang tidak profesional. Tentu fitnah akan bertebaran.
Sekadar perbandingan, pada zaman Rasulullah dan para sahabat, zakat diberikan kepada mustahik sampai mencukupi kebutuhan primernya sehingga mereka berdaya. Idealnya, pendistribusian yang merata, tapi memberdayakan. Akan tetapi, kondisi aktual kita berbicara lain. Mengingat jumlah orang miskin dan layak jadi mustahik sangatlah banyak, tidak sebanding dengan jumlah dana zakat yang siap didistribusikan sehingga membutuhkan waktu untuk proses pengentasannya.
Ubah mindsetAda hal yang terkadang kita lupakan dalam konteks pemberdayaan umat, mengubah mindset . Mengubah cara berpikir dari negatif menjadi positif. Dari mindset miskin menjadi mindset kaya.
Menurut hemat saya, kemiskinan yang paling mendasar adalah miskin pola pikir dan mental. Harta dan kekayaan sangat mungkin didapat bila pola pikir kita tidak miskin. Pengemis kini menjadi salah satu profesi yang menggiurkan. Meski harus menjual harga diri, secara nyata mengemis mendatangkan banyak penghasilan. Bahkan, di sebuah daerah di Jawa Timur terdapat sebuah kampung pengemis yang terdapat rumah-rumah yang bagus dan layak.
Dari mana didapat? Ternyata hasil mengemis. Pernah dalam suatu kesempatan saya mengorek informasi dari seorang pengemis cilik yang mengaku seluruh anggota keluarganya pengemis. Menurutnya, penghasilan total keluarganya yang berjumlah lima orang dari mengemis lebih dari Rp 70 ribu per hari.
Itu jumlah yang tidak sedikit. Mentalitas ala pengemis yang lebih berpikir cari gampangnya saja jelas merupakan masalah pelik yang dihadapi bangsa kita. Oleh sebab itu, bicara tentang pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk lembaga amil zakat, haruslah mampu mengubah mindset miskin tadi. Bila mindset tersebut tidak berubah, mustahil membuat para mustahik berdaya.
Yang ada hanya membuat mereka menikmati hidup sebagai mustahik. Selamanya menerima, bahkan meminta-minta. Padahal, Rasulullah bersabda: ”Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”.Potensi zakat nasional di atas kertas sangatlah besar. Bila realitasnya masih belum mampu membuat umat ini berdaya, berarti ada yang salah.
Badan atau lembaga amil zakat yang ada memiliki PR superberat, yaitu menjadikan zakat sebagai solusi problematika umat. Memperbaiki kinerja, membangun, dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap LAZ menjadi bagian dari agenda besar tersebut. Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab badan atau lembaga amil zakat. Sinergi dari pemerintah dan masyarakat jelas dibutuhkan.

oleh ; Wahyu Novyan
Alumnus Ilmu Komunikasi FISIP Unair
( dipublikasikan di Hr.Republika, 9 Agustus 2008 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar