Kamis, 28 Agustus 2008

Leadership of Muhammad

Dalam wacana dan spiritualitas Islam, Nabi Muhammad SAW memiliki kedudukan yang begitu signifikan. Dia menempati posisi barzakh (penengah) antara Allah SWT dengan alam semesta, terutama umat manusia. Sehubungan dengan Allah SWT, dialah sosok tokoh yang sedemikian kontemplatif, sedemikian akrab dengan-Nya.
Sementara berkaitan dengan umat manusia, dia mementaskan peran yang amat kombatif dan konstruktif demi tergelarnya kehidupan yang bersih serta berperadaban.

Di keheningan jiwa Nabi Muhammad SAW, terbuntal nilai-nilai transendental yang tak terbantahkan oleh kalangan spiritualis mana pun. Sedangkan pada manifestasi hidupnya yang wadag di tengah kehidupan horizontal, dia tidak pernah lelah menyembulkan perilaku-perilaku humanis-altruistik: cinta, kasih sayang, penghormatan, keadilan, kejujuran, dan amanah adalah segepok permata yang mengganduli sekujur hidupnya, mulai awal hingga ujung umurnya. Dia, sebagaimana diungkap Frithjof Schuon, adalah perwujudan kedamaian, kemurahan hati, dan kekuatan.

Dialah equilibrium yang final: keberpihakannya pada hukum-hukum Allah SWT tidak membuatnya keras hati dan kasar terhadap sesama, tapi sepenuhnya dibungkus oleh jiwa besarnya yang di kalangan sahabat-sahabatnya sendiri pun bahkan dinilai terlampau manusiawi. Dialah manusia langit sekaligus manusia bumi: sesosok personifikasi yang secara maksimal mewadahi kepentingan-kepentingan dunia dan akhirat umat manusia.

Dengan demikian, memperingati hari kelahirannya (mawlid) secara ideal berarti berupaya memungut kembali jejak-jejak teladan yang telah banyak tertimbun oleh busa-busa sejarah dan lipatan-lipatan angkara murka. Mengenang hari kelahirannya juga berarti berjerih payah memasuki kedalaman diri yang suci untuk kemudian keluar dengan pengejawantahan hidup yang baru, mulia, dan bestari.

Dari Penguasa ke Pemimpin

Di tengah berlangsungnya sistem sosial yang carut-marut di negeri ini dalam tempo yang cukup lama, memperingati Maulid Nabi Muhammad dalam pengertian yang luas secara substansial dan penuh kesungguhan betul-betul merupakan suatu tuntutan moral yang tak terelakkan. Setidaknya kalau bangsa ini memiliki kesadaran dan kesiapan untuk tidak terus memasuki jurang malapetaka yang semakin hari semakin kelam.

Bukan tanpa alasan, bangsa yang dulu dibangun Nabi Muhammad semula adalah satuan kafilah-kafilah yang jauh lebih brengsek dan biadab dibandingkan bangsa Indonesia hari ini.
Dengan demikian, bukanlah merupakan hal yang mustahil bahwa dengan meneladani esensi dan pola-pola kepemimpinan Nabi Muhammad yang penuh kearifan serta ketulusan, bangsa Indonesia akan segera sanggup keluar dari rentetan episode kemurungan yang diciptakan sendiri.

Dalam konteks ini, tentu saja yang kali pertama ditagih dan dituntut untuk mengimplementasikan pola-pola dan sistem kepemimpinan Nabi Muhammad adalah para penguasa di negeri ini, mulai pucuk yang teratas hingga yang terbawah, mulai presiden hingga kepala rumah tangga. Kepedulian yang serentak dan holistik dari segenap penguasa di negeri ini untuk menerapkan kepemimpinan yang ideal itu merupakan suatu hal yang niscaya, tidak boleh ditawar-tawar, minimal kalau mereka menyadari bahwa tanggung jawab sosial yang berat di negeri ini sepenuhnya bergelayut di depan hidung mereka.

Penguasa dan pemimpin: meski bisa saja berada pada jenjang yang sama atau malah tunggal, keduanya mengacu pada konotasi yang berbeda, bahkan pada satu atau dua hal tertentu bisa saja berlawanan. Penguasa adalah prototipe pemintasan sekian ambisi untuk meraih kepentingan-kepentingan yang, baik langsung maupun tidak, pada akhirnya dihalau untuk bermuara terhadap dirinya sendiri. Bisa berupa kekayaan-kekayaan duniawi, bisa juga berupa sanjungan serta tepuk tangan. Untuk mendapuk "prestasi sekaligus prestise" yang oleh kebanyakan mereka dianggap sebagai cita-cita ideal itu.

Mereka sering menjadikan rakyat kecil (grass root) sebagai modal utama yang ujung-ujungnya setelah ambisi mereka tercapai dijadikan tumpuan dari segenap kebohongan mereka. Karena itu, sepanjang terlontar dari mulut mereka, adegium berikut ini sama sekali tidaklah berlaku: vox populi vox dei, suara rakyat merupakan representasi suara Tuhan.

Sedangkan seorang pemimpin adalah yang mengorientasikan seluruh dedikasi dan perjuangannya semata untuk kemajuan serta kesejahteraan rakyat. Dengan sadar dan khidmat, dia sanggup memerankan diri secara total dan tulus sebagai abdi rakyat, bukan penguasa yang setiap saat selalu merasa kuat untuk menelikung dan mengisap nasib rakyatnya.

Dalam ruang lingkup pemahaman dan paradigma ini, transformasi dari kepengusaan ke kepemimpinan merupakan suatu keharusan yang mesti diejawantahkan oleh siapa pun yang telah dipercaya rakyat untuk memandu perjalanan negeri ini. Para penguasa harus memasuki ruang pertobatan masing-masing untuk kemudian menjelmakan diri mereka sebagai para pemimpin dengan terutama mengacu pada nilai-nilai kepemimpinan yang telah diteladankan Nabi Muhammad.

Pemimpin Simpatik

Kepemimpinan yang diejawantahkan dan diwariskan Nabi Muhammad kepada orang-orang sesudahnya adalah kepemimpinan yang penuh simpatik. Dengan kalimat lain, dia tidak pernah secuil pun bertindak dengan mengatasnamakan umatnya demi hajatnya sendiri. Tapi, seluruh yang dimiliki dia tumpahkan dengan penuh kasih sayang terhadap umatnya, terutama dari kalangan mereka yang malang dan papa.

Sebagai pemimpin, keberpihakan Nabi Muhammad kepada umatnya betul-betul ditumpahkan secara lahir dan batin. Artinya, dia tidak hanya memikirkan dan berupaya menyejahterakan umatnya secara fisikal atau lahiriah belaka. Tapi, yang terutama lebih ditekankan kali pertama adalah hegenisasi spiritual atau batiniah yang merupakan fondasi paling kukuh bagi tegaknya esensialitas kebahagiaan umatnya.

Dalam melaksanakan model kepemimpinan yang komprehensif itu, umat manusia di sekelilingnya betul-betul merupakan tumpuan perhatian Nabi Muhammad. Suka dan derita mereka adalah suka dan deritanya juga. Antara dia dengan umatnya laksana satu tubuh yang tunggal rasa dan tunggal nasib.

Karena itu, di mana pun dia berada di kalangan umatnya, dia senantiasa menampakkan sikapnya yang sedemikian egaliter dan familier. "Aku juga manusia sebagaimana kalian semua" merupakan ungkapannya yang populer karena sering diulang-ulang demi tergelarnya kehidupan yang berasas kesamarataan dan kesamarasaan.

Model kepemimpinan semacam itu membuatnya senantiasa merasa aman dari kemungkinan munculnya gangguan dari kalangan umatnya. Lantaran itu, ke mana pun dia pergi, tidak pernah terlintas di benaknya untuk menggempalkan para bodyguard dan barisan preman yang akan menjaganya.

Andaikan para penguasa di negeri ini betul-betul bekerja keras untuk menerapkan model kepemimpinan Nabi Muhammad, niscaya krisis multidimensi yang mendera negeri ini segera hengkang ke dalam kekelaman sejarah.

Wallahu a’lam bis-sawab.

oleh : Kuswaidi Syafi’ie, dosen tasawuf di PP Universitas Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar