Rabu, 09 April 2008

ORANG ACEH SUKA MERANTAU.....?

Mayoritas masyarakat Aceh tidak punya tradisi merantau. Tapi mereka akhirnya meninggalkan kampung halaman. Alasannya beragam, dari mencoba mengadu nasib hingga jadi pelarian politik. Tentu ada juga yang sekadar bersekolah, bahkan hingga ke luar negeri dan membangun komunitas di sana. Menurut Doktor Irwan Abdullah, peneliti senior di Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, di Aceh hanya etnis Pidie yang punya tradisi kuat merantau. Pria pada etnis itu, kata dia, menganut sistem kekerabatan matrilineal. Pria ikut keluarga istri ketika menikah. Juga tak punya hak memutuskan apa pun. Karena itulah banyak lelaki Pidie yang memutuskan hijrah. Irwan termasuk warga Aceh yang merantau. Menurut dia, etnis lain di luar Pidie yang merantau lebih banyak disebabkan oleh faktor politik dan keamanan. Berikut ini penuturannya kepada Heru C. Nugroho dan Syaiful Amin dari Tempo pertengahan minggu ini di Yogyakarta. Apa yang menyebabkan orang Aceh meninggalkan tanah leluhurnya? Pertama, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Kedua, karena faktor pendidikan. Lima tahun terakhir, orang Aceh banyak yang melarikan diri ke Malaysia karena situasi yang tidak aman, apakah mereka terlibat dengan GAM atau tidak. Yang lebih kontemporer sudah sampai ke wilayah-wilayah yang dulu tidak dijangkau orang Aceh, misalnya di tanah Batak, Sumatera Utara. Dulu orang Aceh tidak pergi (merantau) ke wilayah yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Sekarang banyak di daerah Kabanjahe, Tanah Karo. Di sini, di warung-warung tenda pasar kaget, malam hari, banyak orang Aceh yang jualan mi Aceh. Dulu tidak pernah ada. Ini menunjukkan bahwa situasi politik di Aceh memang membuat iklim tidak kondusif bagi generasi muda Aceh. Orang Aceh tidak punya ikatan kampung halaman yang kuat. Kalau mereka sudah pergi, ikatan ke daerah asalnya lemah dibandingkan, misalnya, dengan orang Minang atau Bali.
Bagaimana menjelaskannya secara historis? Orang Aceh itu sebenarnya punya orientasi keluar yang sangat kuat. Ada mitos akronim ACEH: A adalah Arab, C adalah Cina, E adalah Eropa, dan H adalah Hindia. Sejak dulu, orang Aceh tumbuh dengan berbagai bangsa. Komunitas Arab besar, komunikasi Aceh dengan Hadramaut cukup kuat, kemudian berlangsung perdagangan dengan Cina pada masa kesultanan. Bahkan, dalam mitologinya, ada keturunan Cina yang diperistri bangsawan Aceh. Ada satu daerah, Seulimum, dekat Banda Aceh, orangnya bule dengan hidung mancung. Di daerah ini dulu orang Portugis sempat beranak-pinak. Hindia jelas sekali hubungannya dengan Aceh. Bahkan Ibrahim Hasan dipercaya bukan orang Aceh tulen, tapi ada campuran Hindianya. Jadi komposisi kultural masyarakat Aceh sebenarnya sangat beragam sehingga dengan mudah menerima sesuatu dari luar. Demikian juga orang Aceh dengan mudah beradaptasi di luar. Apakah perantau Aceh juga punya tradisi berkumpul atau berkesenian yang jadi identitas bangsanya? Kesenian memang masih menjadi bagian, tapi tidak lagi menjadi identitas. Hanya sebagai satu kekayaan kultural yang dengan sadar dimainkan, dengan sadar ditampilkan, tapi tidak melekat sebagai satu identitas yang hendak ditonjolkan untuk menghadirkan Aceh. Kita kesulitan mencari representasi Aceh di perantauan. Kesenian saman, misalnya, ini kesenian Gayo. Jadi ada masyarakatnya sendiri. Seudati itu kelompok Aceh Utara. Tapi yang dibilang kesenian kolektif orang Aceh yang bisa menunjukkan identitas orang Aceh agak sulit. Orang Aceh (di perantauan) itu sangat mudah cair, tidak punya identitas kultural yang secara simbolis bisa dihadirkan, sehingga tidak teridentifikasi. Banyak juga warga Aceh yang tidak merantau. Apa pertimbangan mereka? Sebagian tentu saja karena merasa seluruh akses kehidupannya tersedia di tempat tinggalnya. Tidak semua orang Aceh memahami konflik sebagai tekanan. Dalam situasi konflik, banyak kesempatan diberikan. Jadi orang Aceh juga melihat bahwa konflik adalah sebuah kesempatan. Apakah bencana tsunami juga menjadi pemicu eksodus warga Aceh? Saya kira jelas. Sekarang saja di Yogya sudah banyak korban bencana yang datang menyelamatkan diri. Saya ketamuan juga banyak orang di rumah, korban dari sana. Mereka meninggalkan Aceh karena trauma melihat keadaan. Ada mahasiswa yang nggak mau lagi kuliah di sana, ada orang tua yang datang ke sini, paling tidak untuk sementara waktu. Di Medan nggak terhitung. Sekarang ini, apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat Aceh?
Yang sangat dibutuhkan adalah bantuan semangat, bantuan untuk mengembalikan kepercayaan diri. Bagi orang Aceh, merasa ditemani itu jauh lebih penting. Saya sudah melakukan wawancara dengan warga di beberapa pengungsian. Mereka mengatakan sangat tertekan dengan situasi sekarang. Mereka sedang labil sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar