Pengusiran besar-besaran Yahudi atau yang biasa disebut Diaspora
Yahudi, menyebabkan tersebarnya Yahudi ke berbagai negara. Pada
permulaan abad ke-12, penindasan Yahudi oleh Katolik mendorong
perpindahan orang-orang Yahudi Eropa kembali ke Tanah Suci. Dan
perpindahan itu meningkatkan jumlah populasi Yahudi setelah pengusiran
orang Yahudi dari Spanyol pada tahun 1492.
Selama abad ke-16,
komunitas-komunitas besar Yahudi kebanyakan berpusat pada Empat Kota
Suci Yahudi, yaitu Yerusalem, Hebron, Tiberias, dan Safed.
Pada pertengahan kedua abad ke-18, keseluruhan komunitas Hasidut yang berasal dari Eropa Timur telah berpindah ke Tanah Suci. Imigrasi dalam skala besar, atau dikenal sebagai Aliyah Pertama
(עלייה), di mulai pada tahun 1881, yaitu pada saat orang-orang Yahudi
melarikan diri dari pogrom di Eropa Timur.
Pada tahun 1896,
Theodor Herzl menerbitkan buku Der Judenstaat (Negara Yahudi), dan
memaparkan visinya tentang negara masa depan Yahudi, Tahun berikutnya ia
kemudian mengetuai Kongres Zionis Dunia pertama.
Aliyah Kedua
(1904–1914) dimulai setelah terjadinya pogram Kishinev. Sekitar 40.000
orang Yahudi kemudian berpindah ke Palestina.
Selama Perang Dunia
I, Menteri Luar Negeri Britania Arthur Balfour mengeluarkan pernyataan
yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour, yaitu deklarasi yang mendukung
pendirian negara Yahudi di tanah Palestina.
Atas permintaan Edwin
Samuel Montagu dan Lord Curzon, disisipkan pula pernyataan “it being
clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the
civil and religious rights of existing non-Jewish communities in
Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any
other country“.
Legiun Yahudi, batalion yang terdiri dari
sukarelawan-sukarelawan Zionis, kemudian membantu Britania menaklukkan
Palestina. Oposisi Arab terhadap rencana ini berujung pada Kerusuhan
Palestina 1920 dan pembentukan organisasi Yahudi yang dikenal sebagai
Haganah (Bahasa Ibrani : Pertahanan).
Pada tahun 1922, Liga
Bangsa-Bangsa mempercayakan mandat atas Palestina kepada Britania Raya.
Populasi wilayah ini pada saat itu secara dominan merupakan Arab muslim,
sedangkan pada wilayah perkotaan seperti Yerusalem, secara dominan
merupakan Yahudi.
Aliyah Ketiga (1919–1923) dan Aliyah Keempat
(1924–1929), secara keseluruhan membawa 100.000 orang Yahudi ke
Palestina. Setelah terjadinya kerusuhan Jaffa, Britania membatasi
imigrasi Yahudi, dan wilayah yang ditujukan sebagai negara Yahudi
dialokasikan di Transyordania.
Gerakan Nazi pada tahun 1930
menyebabkan Aliyah kelima (1929-1939) dengan masukknya seperempat juta
orang Yahudi ke Palestina. Gelombang masuknya Yahudi secara
besar-besaran ini menimbulkan Pemberontakan Arab di Palestina 1936-1939,
memaksa Britania membatasi imigrasi dengan mengeluarkan Buku Putih
1939.
Sebagai reaksi atas penolakan negara-negara di dunia yang
menolak menerima pengungsi Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust,
dibentuklah gerakan bawah tanah yang dikenal sebagai Aliyah Bet yang
bertujuan untuk membawa orang-orang Yahudi ke Palestina.
Pada
akhir Perang Dunia II, jumlah populasi orang Yahudi telah mencapai 33%
populasi Palestina, meningkat drastis dari sebelumnya yang hanya 11%
pada tahun 1922.
Setelah 1945, Britania Raya menjadi terlibat
dalam konflik kekerasan dengan Yahudi. Pada tahun 1947, pemerintah
Britania menarik diri dari Mandat Palestina, menyatakan bahwa Britania
tidak dapat mencapai solusi yang diterima baik oleh orang Arab maupun
Yahudi.
Badan PBB yang baru saja dibentuk kemudian menyetujui
Rencana Pembagian PBB (Resolusi Majelis Umum PBB 18) pada 29 November
1947. Rencana pembagian ini membagi Palestina menjadi dua negara, satu
negara Arab, dan satu negara Yahudi. Yerusalem ditujukan sebagai kota
Internasional – corpus separatum – yang diadministrasi oleh PBB untuk
menghindari konflik status kota tersebut.
Komunitas Yahudi
menerima rencana tersebut, tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab
menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah
tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini.
Pada 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan
selama 3 hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target
Yahudi.
Perang saudara dimulai ketika kaum Yahudi yang
mula-mulanya bersifat defensif perlahan-lahan menjadi ofensif. Ekonomi
warga Arab-Palestina runtuh dan sekitar 250.000 warga Arab-Palestina
diusir ataupun melarikan diri.
Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum
akhir Mandat Britania, Agensi Yahudi memproklamasikan kemerdekaan dan
menamakan negara yang didirikan tersebut sebagai “Israel“. Sehari
kemudian, gabungan lima negara Arab – Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon
dan Irak –menyerang Israel, menimbulkan Perang Arab-Israel 1948. Maroko,
Sudan, Yemen dan Arab Saudi juga membantu mengirimkan pasukan.
Setelah satu tahun pertempuran, genjatan senjata dideklarasikan dan
batas wilayah sementara yang dikenal sebagai Garis Hijau ditentukan.
Yordania kemudian menganeksasi wilayah yang dikenal sebagai Tepi Barat
dan Yerusalem Timur, sedangkan Mesir mengontrol Jalur Gaza. Israel
kemudian diterima sebagai anggota PBB pada tanggal 11 Mei 1949. Selama
konflik ini, sekitar 711.000 orang Arab Palestina (80% populasi Arab)
mengungsi keluar Palestina.
Pada masa-masa awal kemerdekannya,
gerakan Zionisme buruh yang dipimpin oleh Perdana Menteri David
Ben-Gurion mendominasi politik Israel. Tahun-tahun ini ditandai dengan
imigrasi massal para korban yang selamat dari Holocaust dan orang-orang
Yahudi yang diusir dari tanah Arab.
Populasi Israel meningkat
dari 800.000 menjadi 2.000.000 dalam jangka waktu sepuluh tahun antara
1948 sampai dengan 1958. Kebanyakan pengungsi tersebut ditempatkan di
perkemahan-perkemahan yang dikenal sebagai ma’abarot. Sampai tahun 1952,
200.000 imigran bertempat tingal di kota kemah ini.
Selama tahun
1950-an, Israel terus menerus diserang oleh militan Palestina yang
kebanyakan berasal dari Jalur Gaza yang diduduki oleh Mesir.
Pada
tahun 1956, Israel bergabung ke dalam sebuah aliansi rahasiaBritania
Raya bersama dengan dan Perancis, yang betujuan untuk merebut kembali
Terusan Suez yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh Mesir. Walaupun
berhasil merebut Semenanjung Sinai, Israel dipaksa untuk mundur atas
tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai ganti atas jaminan
hak pelayaran Israel di Laut Merah dan Terusan Suez.
Pada tahun
1967, Mesir, Suriah, dan Yordania menutup perbatasannya dengan Israel
dan mengusir pasukan perdamaian PBB keluar dari wilayah tersebut serta
memblokade akses Israel terhadap Laut Merah.
Israel kemudian
melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena
takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Hal ini kemudian berujung pada
Perang Enam Hari yang kemudian dimenangkan oleh Israel. Pada perang ini,
Israel berhasil merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan
Dataran Tinggi Golan.
Garis Hijau menjadi penanda batas antara
wilayah administrasi Israel dengan Wilayah pendudukan Israel. Batas
wilayah Yerusalem juga diperluas dengan memasukkan wilayah Yerusalem
Timur. Sebuah undang-undang yang mengesahkan pemasukan wilayah ini
kemudian ditetapkan. Hal ini kemudian berujung pada Resolusi Dewan
Keamanan PBB 478 yang menyatakan bahwa penetapan ini tidak sah dan
melanggar hukum internasional.
Kegagalan negara-negara Arab pada
perang tahun 1967 kemudian menyebabkan tumbuhnya gerakan kemerdekaan
Palestina oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Pada akhir
1960-an dan awal 1970-an, beberapa kelompok militer Palestina
melancarkan berbagai gelombang serangan terhadap warga-warga Israel di
seluruh dunia, termasuk pula pembunuhan atlet-atlet Israel pada
Olimpiade München 1972. Israel membalas aksi tersebut dengan melancarkan
Operasi Wrath of God (Kemarahan Tuhan). Pada operasi ini, orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap peristiwa München ini dilacak dan
dibunuh.
Pada hari Yom Kippur 6 Oktober 1973 yang merupakan hari
suci Yahudi, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak
terhadap Israel. Perang tersebut berakhir pada tanggal 26 Oktober dengan
Israel berhasil memukul balik pasukan Mesir dan Suriah. Walaupun
demikian perang ini dianggap sebagai kekalahan Israel.
Pemilihan
Knesset 1977 menandai terjadinya titik balik dalam sejarah perpolitikan
Israel. Pada pemilihan ini, Menachem Begin yang berasal dari partai
Likud mengambil alih kontrol pemerintahan dari Partai Buruh Israel. Pada
tahun itu pula, Presiden Mesir Anwar El Sadat melakukan kunjungan ke
Israel dan mengucapkan pidato di depan Knesset. Aksi ini dilihat sebagai
pengakuan kedaulatan Israel yang pertama oleh negara Arab.
Dua
tahun kemudian, Sadat dan Menachem Begin menandatangani Persetujuan Camp
David dan Perjanjian Damai Israel-Mesir. Israel menarik mundur
pasukannya dari semenanjung Sinai dan setuju untuk bernegosiasi membahas
otonomi warga Palestina yang berada di luar Garis Hijau. Namun, rencana
tersebut tidak pernah diimplementasi.
Pemerintahan Begin
mendukung warga Israel untuk bermukim di Tepi Barat, mengakibatkan
konflik dengan warga Palestina di daerah tersebut.
Pada tanggal 7
Juni 1981, Israel membom bardir reaktor nuklir Osirak milik Irak pada
Operasi Opera. Badan intelijen Israel, Mossad, mencurigai reaktor nuklir
tersebut akan digunakan Irak untuk mengembangkan senjata nuklir.
Pada tahun 1982, Israel melakukan intervensi pada Perang Saudara
Lebanon untuk menghancurkan basis-basis serangan Organisasi Pembebasan
Palestina di Israel Utara. Intervensi ini kemudian berkembang menjadi
Perang Lebanon Pertama. Israel menarik pasukannya dari Lebanon pada
tahun 1986. Intifada Pertama yang merupakan perlawanan rakyat Palestina
terhadap pemerintahan Israel terjadi pada tahun 1987, menyebabkan
terjadinya kekerasan di daerah pendudukan Israel.
Selama Perang
Teluk 1991, PLO dan kebanyakan warga Palestina mendukung Saddam Hussein
dan Irak dalam melancarkan serangan misil terhadap Israel.
Pada
tahun 1992, Yitzhak Rabin menjadi Perdana Menteri Israel setelah
memangkan pemilihan umum legislatif Israel 1992. Yitzhak Rabin dan
partainya mendukung adanya kompromi dengan tetangga-tetangga Israel.
Tahun 1993, Shimon Peres dan Mahmoud Abbas, sebagai wakil Israel dan
PLO, menandatangani Persetujuan Oslo. Persetujuan ini memberikan
Otoritas Nasional Palestina hak untuk memerintah di Tepi Barat dan Jalur
Gaza. Selain itu, juga dinyatakan pula pengakuan hak Israel untuk
berdiri dan menyerukan berakhirnya terorisme.
Pada tahun 1994,
Perjanjian Damai Israel-Yordania ditandatangani, membuat Yordania
menjadi negara Arab kedua yang melakukan normalisasi hubungan dengan
Israel.
Dukungan publik Arab terhadap persetujuan ini menurun
setelah terjadinya peristiwa pembantaian umat muslim yang sedang
bersembahyang di Masjid Ibrahimi oleh sekelompok ekstremis gerakan Kach.
Selain itu, pemukiman warga Israel di daerah pendudukan yang masih
berlanjut, serta menurunnya kondisi ekonomi Palestina juga menurunkan
dukungan publik Arab.
Dukungan publik Israel terhadap persetujuan
ini juga berkurang setelah terjadinya rentetan kasus bom bunuh diri
yang dilakukan oleh Hamas. Pembunuhan Yitzhak Rabin yang dilakukan oleh
esktremis Yahudi ketika ia sedang meninggalkan sebuah pawai yang
mendukung perdamaian dengan Palestina mengejutkan seluruh negeri.
Pada akhir 1990-an, Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu
menarik mundur pasukannya dari Hebron dan menandatangai Memorandum
Sungai Wye. Memorandum tersebut memberikan Otoritas Nasional Palestina
kontrol yang lebih luas.
sumber: wikipedia
Saya posting
tulisan ini bukan untuk mengakui legalitas negara Israel, tetapi sebagai
bahan bacaan dan kajian, untuk mendorong kita mempelajari lebih lanjut
tentang Israel, musuh abadi ummat Islam sedunia. Kebenaran sejarah ada
pada masing-masing pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar