Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, jauh-jauh hari sebelum para
pemikir dan kaum intelektual lahir, Islam telah mengurat dan mengakar
dalam sejarah kerasulan di atas muka bumi ini. Tidaklah seorang rasul
diutus melainkan membawa misi Islam dan tauhid. Sebuah fakta yang tentu
tak bisa dipungkiri dan realita yang tak terbantahkan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah Kami
utus pada setiap umat, seorang rasul yang menyerukan: Sembahlah Allah
dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Membaca teks dan makna dari terjemah ayat di atas, mengingatkan kita
akan konteks dakwah para rasul. Mereka yang diutus oleh Allah kepada
berbagai macam kelompok manusia dengan latar belakang kebudayaan dan
cara berpikir yang berlainan. Para rasul itu ternyata berangkat dan
bermula dari sebuah pedoman dasar yang sama; yaitu kewajiban memurnikan
ibadah untuk Allah semata. Atau apa yang kita kenal dengan istilah
‘tauhid’.
Kemudian, apabila kita cermati dengan pandangan yang lebih tajam dan
seksama, menjadikan dakwah tauhid ini sebagai prioritas dalam upaya
ishlah al-ummah; perbaikan ummat adalah bagian daripada konsep
kesempurnaan dan keindahan Islam. Islam yang memecahkan problema dan
Islam yang mewujudkan kesejukan hidup yang sesungguhnya. Inilah prinsip
dasar yang telah diabaikan oleh banyak kaum cerdik cendekia.
Sebagaimana dituturkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang menceritakan kisah pemberangkatan Mu’adz bin Jabal, radhiyallahu’anhuma. Di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpesan kepada Mu’adz -pesan yang semestinya diingat oleh segenap da’i
dan penggagas perbaikan umat-, “Hendaklah yang pertama kali kamu
serukan kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.
Bukhari)
Sederhana dan jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai orang yang mendapatkan wahyu dari Allah, yang berbicara bukan
dengan hawa nafsu, yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin; telah
memberikan rumus dan formula dakwah yang amat jitu dan cemerlang.
Memprioritaskan dakwah tauhid dalam menggerakkan roda perbaikan.
Bukan itu saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan sebuah gambaran yang simpel dan sarat makna tentang tafsiran Islam dalam konteks kehidupan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang
tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu
cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah wajah Islam yang sejuk, teduh, dan menunjukkan kewibawaan.
Islam yang menyeru kepada pemurnian ibadah untuk Allah semata dan
meninggalkan pemujaan kepada sesembahan selain-Nya. Bahkan, inilah yang
menjadi rahasia dan hikmah penciptaan jin dan manusia. Sebagaimana dalam
firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Aduhai, betapa banyak manusia dan kaum cendekia yang lalai dan lupa
akan rahasia dan hikmah yang agung ini! Ribuan, jutaan, bahkan trilyunan
nikmat Allah yang mereka ‘konsumsi’ tak mampu menyadarkan mereka akan
hakikat dan tujuan hidup penciptaan alam semesta yang amat luas ini. Laa
haula wa laa quwwata illa billaah…
Apakah Islam yang salah atau Nabi yang keliru? Tentu saja tidak!
Bahkan, para ulama kita pun telah mewariskan nilai dan manhaj yang mulia
ini dalam ratusan bahkan ribuan jilid kitab dan risalah yang mereka
terbitkan. Para ulama hadits -misalnya- memberikan perhatian khusus di
dalam buku-buku mereka dengan adanya sebuah bab khusus tentang iman, bab
khusus tentang tauhid, bab khusus tentang aqidah. Seperti halnya Imam
Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya dengan Kitab al-Iman dan Kitab at-Tauhid. Demikian pula Imam Muslim rahimahullah di dalam Sahih-nya dengan Kitab al-Iman.
Gambaran-gambaran ini ingin menunjukkan kepada kita, bahwa pada
hakikatnya dengan menjunjung tinggi dakwah tauhid justru akan
menciptakan kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan hidup umat manusia.
Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian pihak, bahwa
seruan-seruan dakwah tauhid adalah faktor pemecah belah umat, sebab
munculnya berbagai teror dan penganiayaan serta maraknya premanisme di
dunia Islam. Padahal, sama sekali tidak. Sungguh, itu merupakan
pandangan dan cara berpikir yang salah!
Allah ta’ala menegaskan (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang
yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’aam: 82)
Islam tidak memperkenankan kezaliman. Islam menyeru dan menyiapkan
segala perangkat demi tegaknya keadilan. Islam mengajak kepada iman yang
murni. Iman yang bersih dari kotoran syirik dan kebid’ahan. Iman yang
memandu kepada jalan yang lurus. Iman yang menyelaraskan antara ucapan
dan perbuatan. Iman yang membebaskan hamba dari penghambaan kepada
sesama, menuju tauhidullah. Karena hanya dengan tauhid itulah hidup
manusia akan tentram, aman, dan bahagia.
Inilah Islam yang terbuka kepada siapa saja yang ingin memahami dan
melaksanakan ajaran-ajarannya. Inilah Islam yang tidak hanya berkutat
dengan hubungan manusia dengan Allah, namun juga sangat perhatian kepada
masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Karena Islam tidak menghalalkan
segala bentuk kezaliman; apakah kezaliman kepada diri sendiri,
kezaliman kepada hak orang lain, atau kezaliman terhadap hak Rabb alam
semesta.
Dengan mengaplikasikan nilai-nilai dan bimbingan Islam dalam segala
sisi kehidupan justru akan membawa kepada kebaikan dan kemajuan. Allah ta’ala
telah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti
petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS.
Thaha: 123)
Dengan menerapkan petuah dan ajaran al-Qur’an akan membawa umat manusia kepada kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan sebagian kaum dengan
Kitab ini -al-Qur’an- dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain
dengannya pula.” (HR. Muslim)
Dan sebagaimana yang telah ditegaskan oleh para ulama -diantaranya Imam Ibnul Qayyim dan Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahumallahu-
bahwasanya pada hakikatnya seluruh al-Qur’an berisi pembicaraan tentang
tauhid. Demikian pula yang ditegaskan oleh ahli tafsir kenamaan masa
kini Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Seluruh isi
al-Qur’an berbicara tentang penetapan tauhid dan menafikan lawannya. Di
dalam kebanyakan ayat, Allah menetapkan tauhid uluhiyah dan kewajiban
untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya.
Allah pun mengabarkan bahwa segenap rasul hanyalah diutus untuk mengajak
kaumnya supaya beribadah kepada Allah saja dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah pun menegaskan bahwa
tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
beribadah kepada-Nya. Allah juga menetapkan bahwasanya seluruh kitab
suci dan para rasul, fitrah dan akal yang sehat, semuanya telah sepakat
terhadap pokok ini. Yang ia merupakan pokok paling mendasar diantara
segala pokok ajaran agama.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23])
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan,
“al-Qur’an berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, dan
sifat-sifat-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid ilmu dan
pemberitaan. Selain itu al-Qur’an juga berisi seruan untuk beribadah
hanya kepada-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya serta ajakan untuk
mencampakkan sesembahan selain-Nya. Itulah yang disebut dengan istilah
tauhid kehendak dan tuntutan. al-Qur’an itu juga berisi perintah dan
larangan serta kewajiban untuk patuh kepada-Nya. Itulah yang disebut
dengan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Selain itu, al-Qur’an
juga berisi berita tentang kemuliaan yang Allah berikan bagi orang yang
mentauhidkan-Nya, apa yang Allah lakukan kepada mereka ketika masih
hidup di dunia, dan kemuliaan yang dianugerahkan untuk mereka di
akhirat. Itulah balasan atas tauhid yang dia miliki. Di sisi yang lain,
al-Qur’an juga berisi pemberitaan mengenai keadaan para pelaku
kesyirikan, tindakan apa yang dijatuhkan kepada mereka selama di dunia,
dan siksaan apa yang mereka alami di akhirat. Maka itu adalah hukuman
yang diberikan kepada orang yang keluar dari hukum tauhid. Ini
menunjukkan bahwa seluruh isi al-Qur’an membicarakan tentang tauhid,
hak-haknya, dan balasan atasnya. Selain itu, al-Qur’an pun membeberkan
tentang masalah syirik, keadaan pelakunya, serta balasan atas kejahatan
mereka.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah dengan takhrij al-Albani, hal. 89 cet. al-Maktab al-Islami)
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah
berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah
dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh
isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah
tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga
berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang
keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat
syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan
ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan
dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari
ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)
Terakhir, marilah kita renungkan firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri darinya maka tidak akan dibukakan untuk mereka
pintu-pintu langit dan tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa
masuk ke dalam lubang jarum. Demikian itulah Kami akan membalas
orang-orang yang berdosa/kafir itu.” (QS. al-A’raaf: 40)
Wallahu a’lam bish shawaab.
sumber: terjemahkitabsalaf.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar