JEPANG adalah sebuah negara maju pada awal abadd ke 20. Bom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 telah meruntuhkan segalanya bagi masyarakat Jepang. Bukan hanya meruntuhkan perekonomian Jepang, tapi lebih dari itu yaitu terkait dengan martabat orang Jepang di mata Internasional. Namun orang Jepang tidak mau larut dalam duka. Mereka terus berupaya untuk bangkit dan melupakan masa lalu. Beberapa faktor yang membuat mereka cepat bangkit adalah budaya mereka. Mereka mempunya beberapa trik, yang sebenarnya umum saja dan dapat dilakukan oleh bangsa manapun.
KERJA KERAS
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras.
Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat
tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911
jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).
Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di
Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak
dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang
malam (tepatnya pagi ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan.
Fenomena Karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang.
Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah
sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.
MALU
Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri
(bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era
samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia
modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi
para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau
merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah
anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau
tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih
jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan
memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis
langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan,
pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di
halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun”, mereka berjajar
rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila
mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan
umum.
HIDUP HEMAT
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap
anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan.
Di Jepang, para ibu rumah tangga rela naik sepeda menuju toko sayur
agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak
keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu,
tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian.
Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan
mahasiswa-mahasiswanya.
LOYALITAS
Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan
tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa,
sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka
biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini
mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau
menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri
sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.
INOVASI
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan
dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang
diminati oleh masyarakat. Contohnya saja Akio Morita yang mengembangkan
Sony Walkman, Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki
oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan
dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama
puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu.
Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan
jumlah total produksi mencapai 150 juta produk.
PANTANG MENYERAH
Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting
dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang
menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam
teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang
cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam
juga tidak membuat Jepang menyerah. 85% sumber energi Jepang berasal
dari negara lain termasuk Indonesia. Kemudian Rentetan bencana terjadi
di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul
dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambah dengan gempa bumi besar di
Tokyo. Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya
Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta
cepat (shinkansen). Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana
orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang
dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).
BUDAYA BACA
Tidak peduli dimana saja duduk atau berdiri, banyak orang yang
memanfaatkan waktu untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat
manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah. Buku
pengetahuan disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat
semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan
dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis,
jerman, dsb).
KERJASAMA KELOMPOK
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja” yang terlalu
bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya
ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di
dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu,
mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja
dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.
MANDIRI
Sejak usia dini anak” dilatih untuk mandiri. Di Yochien (gak tau nama
apa) setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan
bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk
bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang
tua. Mahasiswa mengandalkan kerja part time untuk biaya kuliah dan
kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka meminjam uang ke
orang tua yang nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.
JAGA TRADISI
Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang
kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah
untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta
maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Sampai saat ini orang Jepang
relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari
orang lain. Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di
Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang
murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi
para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian
mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa
insentif lain untuk orang” yang masih bertahan di dunia pertanian.
Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
mukhlis aminullah, dari berbagai sumber di internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar