Minggu, 18 Juli 2010

KISAH ORANG BODOH

ORANG BODOH yang sukses memang mustahil. Tapi semua bisa terjadi. Dulu sering kita dengar pameo, pu taduek pu tapike, boh manok hana tangke (untuk apa kita duduk untuk apa kita piker, telur ayam tidak bertangkai). Tapi sekarang pameo itu terbantakan setelah beberapa waktu lalu di Aceh Utaram ditemukan, ternyata ada ‘boh manok yang memiliki tangkai”.

Memang ajaib, tapi semua itu bisa saja terjadi. Boleh jadi disebabkan faktor alam atau karena factor lainya. Dalam termonologi “kebodohan” bahwa tidak semua yang pandai itu sukses, berkuasa. Buktinya betapa orang yang dianggap umum “bodoh” mereka meraih sukses dan berkuasa. Tentu, sebagai orang bodoh tugas selanjutnya adalah merekrut orang-orang pintar Walhasil, boss-nya orang pintar adalah orang bodoh.

Orang bodoh identik dengan kesalahan, maka dia rekrut orang pintar yang tidak pernah salah untuk memperbaikinya. Orang bodoh tidak bisa membuat teks pidato, maka disuruh orang pintar untuk membuatnya. Walhasil orang bodoh yang memerintahkan orang pintar untuk keperluan orang bodoh. Orang bodoh biasanya jago cuap-cuap jual omongan, dan orang pintar percaya. Selanjutnya, orang pintar menyesal karena telah mempercayai orang bodoh.

Karenanya, untuk apa orang pintar berdemo, apalagi meratap-ratap kepada orang bodoh. Karena sudah lazim bahwa kebodohan tidak mungkin bisa disandingkan dengan kepintaran. Kebodohan tetap saja dengan keadaannya, bodoh, dan bila ada kritik orang pintar sudah pasti akan dipandang sebagai sikap bodoh.

Alkisah tentang kebodohan terjadi di sebuah Negeri Peringgi. Pagi itu berkumpullah para petinggi negeri untuk membicarakan bagaimana membangun negeri demi kemakmuran rakyat. Untuk itu, diperlukan pembiayaan yang memadai sehingga seluruh rencana bisa berjalan dengan lancar. Dalam pertemuan tersebut, salah seorang petinggi negeri angkat bicara; bahwa untuk tahun ini Negeri Peringgi membutuhkan anggaran biaya dengan “plafon” mencapai 1 Trilyun. Mendengar itu, sontak seorang petinggi lainnya protes dan membantah dengan berteriak, “untuk apa uang sebesar itu kita hambur-hamburkan hanya untuk membuat plafon? Padahal plafon di kantor ini masih cukup baik dan belum perlu diganti! Lihatlah plafon yang di atas kepala tuan-tuan ini, bukankah masih cukup indah? Untuk apa kita habiskan sampai 1 Trilyun menggantinya? Itu kan gagasan bodoh, karena sangat tidak punya nurani kerakyatan!” tukasnya.

Mendengar bantahan tersebut, kini gilirannya petinggi yang menggagas menjadi bingung. Maka mulailah bertanya-tanya; apakah memang ia sudah bodoh? Boleh-jadi hal itu benar, apalagi selama ini dia sendiri sering berdiskusi bahkan “bertukar pikiran” dengan orang-orang bodoh, maka bisa saja pikiran yang dulu pintar sekarang sudah ditukar dengan milik orang bodoh. Maka wajar ketika jawaban tidak seperti dimaksudkannya.

Tentang kebodohan, sebenarnya bukanlah aib yang harus ditutup dengan berdiam diri. Hanya saja bodoh menuntut pergolakan agar ia dapat bungkam. Pergolakan inilah yang kemudian dijabarkan di dalam proses menuntut ilmu. Dan inilah yang dikisahkan, ketika ada dua seorang dalam satu masjid. Satunya sedang melaksanakan salat, dan satu lagi tidur. Lalu, ketika syetan masuk ingin mengganggu orang yang salat, ia melihat ada orang tidur. Lalu syetan pun lari lintang pukang. Ketika ditanya oleh mbah si setan; kenapa lari, yang dijawab si syetan karena ada orang tidur tapi berilmu. Ternyata setan lebih takut pada orang punya ilmu walaupun tidur daripada orang melek, bahkan sedang salat tapi tidak memiliki ilmu.

Maka wajar ketika realitas hari ini banyak orang melek, sukses secara materi bahkan berkuasa, tapi karena tidak memiliki ilmu alias bodoh, maka keadaan tetap tidak berubah malahan semakin menjadi semerawut, tak ada aturan karena sesungguhnya kita hanya memiliki keberanian dengan segala kebodohan. Ironinya, ketika al-jahlu (kebodohan) ini disadari, namun tidak upaya untuk memperbaikinya. Justru sebaliknya terlena dengan pikiran bodoh itu sendiri, mempertahankan karakteristik kebodohannya dimana emosinya selalu mengalahkan logikanya. Untuk itu kalau kita siap, mari kita “nikmati” saja kelakuan kebodohan itu sampai waktunya akan berubah

sumber : Hr.Serambi Indonesia, 18 Juli 2010. tulisan Ampuh Devayan.

1 komentar: