Senin, 03 Agustus 2009

PERJALANAN MELINTASI KUBURAN ANEUK MANYAK


Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan diri pulang kampung ke Bireuen, menjenguk keluarga. Setelah saya tinggalkan beberapa minggu, karena harus melaksanakan tugas di Samadua, kepulangan kali ini tentu saja membawa selaksa kerinduan pada anak-anak, isteri dan orangtua serta adik-adik tercinta. Saya membayangkan, seraut wajah teduh perempuan ”penjaga rumah”, akan menyambut saya dengan cinta...... Saya tidak melupakan hangatnya pelukan dua gadis kecil ketika saya pulang pertama kali, bulan lalu. Saya membayangkan, sambutan yang sama akan menunggu di pintu rumah.
Tapi untuk itu saya harus menempuh ratusan kilometer, jalan berkelok, berliku, curam dan sempit. Itulah jalan peninggalan penjajah Belanda yang pada awalnya adalah jalan setapak. Konon, jalan tersebut dibuat untuk mempersingkat jarak tempuh antara Meulaboh dengan Pidie. Sebelumnya, untuk menuju Meulaboh dari Pidie, atau sebaliknya, harus melalui Banda Aceh, pada masa itu masih bernama Koetaradja.

Ya, untuk sampai ke Bireuen, sekarang bisa melewati puncak Geumpang menuju kawasan Pidie di utara. Kalau saya berangkat dari Samadua, tentu saya harus melewati tiga Kabupaten sebelum ”mendaki” gunung menuju Beureunun, kemudian melanjutkan perjalanan ke kampung halaman di Kota Juang tercinta, juga melewati dua Kabupaten lagi.

Perjalanan sejauh itu sangat melelahkan, namun saya menikmatinya dengan beberapa alasan. Pertama, saya yakin bahwa kepulangan saya akan disambut sukacita oleh keluarga, terutama isteri dan anak-anak. Sepasang mata indah, akan membawa saya tenggelam pada seribu danau. Tatapan rindu memancarkan aura keteduhan, yang bisa membuang gelisah, berhari-hari dan berminggu-minggu sendiri di Samadua.
Kedua, saya adalah orang yang suka ”berpetualang”. Perjalanan, jauh atau dekat, selalu saya nikmati. Setiap jengkal aspal dan ribuan meter tanah Tuhan yang yang saya lewati, beberapa diantaranya saya catat dalam memori yang terdalam. Ketika melewati gunung demi gunung, memecah belah kesunyian Tutut, Geumpang, Mane dan Tangse saya faham dengan banyaknya eksplorasi alam milik Tuhan, yang dilakukan oleh tangan-tangan jahil manusia.

Pada kesempatan kali ini saya tidak akan menulis tentang terbakarnya hutan Tangse, walaupun saya prihatin dengan kejadian itu. Biarlah insan pers dan aktivis lingkungan yang akan menyampaikan hal itu untuk masyarakat. Saya hanya ingin menulis ulasan tentang ”Kuburan Aneuk Manyak”, pada kelanjutan tulisan ini. Masalah kerinduan, sudah saya hantarkan pada awal tulisan ini. Sengaja, dalam perjalanan kali ini, saya luangkan waktu untuk singgah di kuburan tersebut untuk mengetahui sejarahnya, sekaligus sambil beristirahat di warung yang ada disekitar, sebagai penghilang rasa capai dan membunuh rasa lelah.

”Kuburan Aneuk Manyak” adalah legenda. Dan saya yakin, sebagian kecil masyarakat sudah pernah mengunjungi atau melintasi kuburan tersebut yang letaknya persis di pinggir jalan negara yang menghubungkan Meulaboh dengan Beureunun, berada dalam wilayah Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat.
Dari tulisan yang ditempelkan pada kuburan dan penjelasan singkat dari Majelis Adat Geumpang, terurai jelas sebuah kisah singkat tentang keberadaan kuburan tersebut. Seorang pemuda dari Meulaboh yang bernama Teungku Marhaban menikahi gadis asal Geumpang yang bernama Maisarah. Perkawinan itu dikaruniai seorang putera yang sangat tampan, menjadi buah hati yang mengisi hari-hari bahagia keluarga mereka. Sayang, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama, pada usia perkawinan menginjak 5 (lima) tahun, Maisarah meninggal dunia. Tinggallah Teungku Marhaban menduda, sambil mendidik anak semata wayangnya yang berusia 4 (empat) tahun.

Beberapa saat setelah kematian isterinya itu, Teungku Marhaban masih menetap di Geumpang, hingga kemudian beliau berniat untuk pulang ke Meulaboh. Untuk mencapai Meulaboh, harus melalui jalan setapak yang menghubungkan Geumpang ke Sungai Mas, cikal bakal jalan yang kita gunakan sekarang. Sejak dahulu, jalan ini sudah ramai digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu Belanda di saat berpatroli maupun oleh pejuang Aceh yang bergerilya mencari informasi antara Pidie dan Meulaboh.
Memenuhi maksudnya untuk menetap di Meulaboh, beliau menjual seluruh harta benda, sehingga ia membawa uang dalam jumlah yang banyak, termasuk kepingan uang emas. Kabar kepulangan tersebut diberitahukan kepada seluruh kerabatnya. Salah seorang temannya secara sengaja mendatangi beliau untuk menanyakan kapan persisnya kepulangan tersebut. Tanpa menaruh rasa curiga, Teungku Marhaban pun membeberkan tanggal dan hari keberangkatannya ke Meulaboh.

Hari berganti, ayah dan anak piatu yang ditemani seorang sahabatnya itu melenggang pulang ke tanah kelahirannya. Dengan tertatih menyusuri jalanan yang terjal, bebatuan, hingga semak belukar yang menjadi dinding langkahnya, tibalah ketiga si pengembara di Gampong Bangkeh. Tepatnya di rumah geuchik setempat, yang kala itu dijabat oleh Keuchik Daud.

Dengan penuh rasa hormat, Teungku Marhaban memohon untuk bermalam di rumah orang yang paling disegani oleh masyarakat itu. Keesokan harinya, mereka bertiga kembali pamit untuk melanjutkan perjalanan semula, dengan menenteng “bu kulah” (nasi bungkus pakai daun pisang). Namun, entah bagaimana kelanjutannya, sahabat yang setia menemani itu sekitar dua hari berselang, tiba-tiba bergegas kembali pulang ke Gampông Bangkeh, sekaligus untuk kedua kalinya berjumpa dengan Keuchik Daud. Mereka sempat berbincang dengan warga setempat.

Sang sahabat tadi mengaku tak dapat melanjutkan perjalanan menemani Teungku Marhaban, karena terserang demam tinggi. Dia mengatakan khawatir penyakit yang dideritanya akan bertambah parah hingga diputuskan hari itu juga meninggalkan Gampong Bangkeh. Selanjutnya, dia meyebutkan perlu berobat ke Pidie.
Keesokan harinya, kawasan Geumpang yang dilalui Teungku Marhaban dan anaknya didatangi segerombolan serdadu Belanda. Setiba di Gampong Bangkeh, mereka menanyakan kepada Keuchik setempat, apakah dalam beberapa hari terakhir ini ada masyarakat yang melintas di jalan tersebut. Pasalnya, serdadu Belanda itu menemukan dua mayat terbujur kaku, tergeletak di kawasan Neungoh Ukheue Kayee (Pendakian Akar Kayu), yang merupakan korban penganiayaan. Tubuh kedua mayat tersebut tercabik-cabik dengan kondisi mengenaskan.

Keuchik Daud, atas perintah Ulee Balang, langsung memerintahkan masyarakat Bangkeh mengecek kebenaran berita tersebut. Setelah didalami dan ditelusuri dengan sesakma, ternyata dua mayat dimaksud adalah Teungku Marhaban dan anaknya yang berusia 4 tahun. “Lehernya digorok, tubuhnya tercabik-cabik terkena sayatan senjata tajam. Keduanya dikebumikan dalam satu lobang, mengingat sudah membusuk dan tragis sekali nasibnya. Ini Jelas-jelas akibat penganiayaan,” ungkap warga kala itu kepada Keuchik Daud.

Keterangan tersebut dilaporkan pada Ulee Balang untuk selanjutnya dilakukan penyelidikan. Hasil informasi yang digali dan dikumpulkan dari beberapa warga yang melihat terakhir kalinya almarhum, disimpulkan bahwa yang melakukan pembunuhan adalah sahabat Teungku Marhaban sendiri.
Di bawah perintah Ulee Balang, kemudian sahabat yang menemani Teungku Marhaban akhirnya ditangkap. Hasil interogasi aparat gampông setempat, orang tersebut mengakui telah membunuh Teungku Marhaban dan anaknya untuk memperoleh harta benda yang dibawa saudagar itu. Tersangka pun dijatuhi hukuman berdasarkan hukum adat kala itu.

Untuk mengenang sejarah itu, masyarakat setempat pun akhirnya menamakan kawasan tersebut dengan naman Dusun Kubu Aneuk Manyak, masuk ke wilayah Gampong Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Bahkan, di samping makam dibangun sebuah musholla oleh Bank BPD Aceh yang diberi nama Al-Muhajirin, sebagai tempat beribadah bagi para pengguna jalan yang singgah di sana.

Demikianlah sekilas cerita ”Kuburan Aneuk Manyak” yang menyertai kepulangan saya kali ini, mudah-mudahan menarik minat Anda yang melintas untuk singgah sejenak di sana. Saya harus melanjutkan "perjalanan" menemui beberapa bidadari saya, yang sudah menunggu.

Mukhlis Aminullah, berdomisili di Samadua, Aceh Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar