Senin, 18 Februari 2008

KPU = Komisi Peningkatan Upah

Menarik sekali membaca opini Sdr.Rommy Fibri, Koordinator Peliputan Politik dan Keamanan LIPUTAN 6 SCTV beberapa waktu yang lalu di Harian Suara Karya dengan judul : KPU atau "Komisi Peningkatan Upah"Setelah menyimak kalimat demi kalimat dari opini atau katakanlah "coretan dinding" yang ditulis oleh Sdr. Rommy, kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa Sdr. Rommy benar-benar orang yang "tidak" faham tentang KPU maupun masalah Penyelenggaraan Pemilu secara universal.Untuk jelasnya berikut kami kutip tulisan Sdr. Rommy secara utuh :Apa jadinya kalau orang belum bekerja, sudah minta tambahan gaji? Pasti akan Anda tolak mentah-mentah. Tapi mungkin Anda termasuk orang bijak, yang akan menimbang besaran angka dan seberapa berat tugas yang diemban. Nah, bagaimana jika yang minta tambahan gaji adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU)?Sehari setelah dilantik tiga bulan lalu, KPU memang langsung tancap gas. Mereka rapat sampai dinihari, bahkan tak jarang harus mengawali pekerjaan esok harinya, sangat pagi. Yang diurus tak hanya persiapan pemilu 2009, melainkan juga sengketa pilkada di sejumlah daerah, termasuk pilkada di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan.Konsekuensi itu memang tak terhindarkan, mengingat pemilu 2009 yang semakin dekat. Namun belum kelihatan hasil kerjanya, Ketua KPU mengusulkan penambahan tunjangan bagi seluruh jajaran KPU, baik di tingkat pusat hingga daerah. Alasannya, beban kerja bertambah akibat jumlah staf yang dikurangi.UU No. 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, memang mengurangi anggota KPU dari 11 menjadi tujuh orang. Keberadaan Biro juga dipangkas dari sepuluh, hanya tinggal tujuh. Saat ini, gaji Ketua KPU berkisar Rp14 juta, dan anggota sekitar Rp12 juta. Angka itu masih dkurangi pajak penghasilan 15 persen. Sedangkan tunjangan yang resmi didapat selain mobil dinas, hanyalah kupon bensin.Sekilas, pengajuan tambahan dana bagi KPU amatlah wajar dan rasional. Toh, langkah KPU itu direspons banyak pihak dengan bermacam sikap. Barisan oposisi di parlemen, menolak mentah-mentah. Sementara yang moderat, masih akan melihat besaran angka yang diajukan terlebih dahulu. Karena siapa tahu, dengan dinaikkan gajinya, pejabat-pejabat KPU itu tak lagi korupsi seperti anggota KPU periode 2004 silam.Namun pertanyaan berikutnya, apakah dengan dinaikkan gaji, dijamin kinerja mereka akan semakin baik? Apakah mereka tak bakal korupsi? Benarkah staf mereka berkurang sehingga beban kerja bertambah?Mengingat sebegitu banyak tender proyek yang bakal digelar buat pemilu 2009, mestinya KPU lebih konsentrasi ke sana. Hal itu penting, agar mereka tak lagi terjerembab masuk penjara, seperti rekan-rekan mereka periode 2004 lalu.Jika dibilang beban kerja bertambah, seperti alasan yang disampaikan Sekretaris Jenderal KPU, agaknya argumen ini berlebihan. Karena dari pengalaman KPU periode 2004--yang banyak masuk bui karena korupsi proyek pengadaan alat-alat kelengkapan pemilu--, maka pada penyelenggaraan pemilu 2009, proyek-proyek pemilu akan ditangani dan diurusi kesekretariatan KPU. Para anggota KPU yang terhormat, hanya bekerja di tingkat kebijakan.Jadi praktis, anggota KPU tak lagi berurusan dengan makelar-makelar pabrik kertas, ataupun pengusaha karbitan yang menyabet proyek dengan "salam tempel". Apalagi tak sedikit "perusahaan papan nama", yang ngiler menggaet tender kertas suara dan segala macam atribut pemilu mendatang. KPU mestinya tanggap dengan segera membuat kebijakan untuk mengawasi pelaksanaan tender alat-alat kelengkapan pemilu ini.Belum lagi soal koordinasi dengan KPU-KPU daerah yang harus segera diatur. Penetapan Panitia Pemilihan Pusat hingga tingkat di bawahnya, belum juga terbentuk. Pengaturan jadwal pemilu legislatif, pemilu presiden, koordinasi dengan Panitia Pengawas Pemilu, komunikasi dengan DPR, koordinasi dengan bagian keuangan negara, dengan pihak kepolisian untuk pengamanan, dan masih segudang lagi.Jadi, tak terhitung pekerjaan rumah yang mesti dilakukan, daripada sekadar mengusulkan kenaikan gaji. Apalagi budaya timur mengenal, kerja keras dulu, baru minta tambahan upah; bukan belum kerja sudah minta peningkatan upah. Jika manuver itu yang ditempuh , KPU tak ubahnya adalah "Komisi Peningkatan Upah" belaka.Jelas sekali bahwa "coretan dinding" yang disampaikan oleh Sdr. Rommy adalah tendensius. KPU hanya ingin mengusulkan, artinya belum disampaikan secara resmi kepada Pemerintah tentang keinginan kenaikan upah (pokja), tapi hampir semua orang (yang mengatakan dirinya Pengamat Pemilu) sibuk membuat opini 'buruk" terhadap KPU, seolah-olah kenaikan upah yang diinginkan oleh KPU merupakan hal sangat tabu, yang seakan-akan "sangat" menggerogoti keuangan negara.Mata semua orang terbelalak, sepertinya semua orang di KPU adalah Public Enemy yang harus segera disingkirkan.Padahal, seandainya mereka (yang mengatakan dirinya Pengamat Pemilu) berpikir dengan logis, apa yang ingin diusulkan oleh KPU adalah hal yang sangat wajar.Uang Kehormatan Ketua, Anggota dan Sekretariat Jenderal KPU amat kecil bila dibandingkan dengan Uang Kehormatan (atau Gaji) Ketua, Anggota dan Sekretariat Jenderal Komisi Negara lainnya apalagi bila dibandingkan dengan Gaji (dan penghasilan lainnya) Anggota DPR yang terhormat.Uang Kehormatan yang diterima oleh Ketua, Anggota dan Sekretariat Jenderal KPU sangat tidak seimbang dengan tanggung jawab pekerjaan yang harus dipikul.Tanpa ingin mengurangi rasa hormat terhadap masyarakat sebagai "pemilik" uang yang dikelola Negara, memang harus kita akui Uang Kehormatan (tidak ada uang lain-lain seperti di DPR) Ketua, Anggota dan Sekretariat Jenderal KPU serta jajarannya di daerah sudah sepantasnya disesuaikan....!Bagaimana pendapat Anda.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar