Rekan -rekan yang semoga
selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat
adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu
rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun,
realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita
melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku
Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di
antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun
kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali
dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit
yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu
ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang
sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku
Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada
tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum
meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik
kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah
–rahimahullah- mengatakan,
“Kaum
muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan
sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar
dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan
minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman
dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (
Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm
–rahimahullah-
berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada
dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang
mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (
Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –
rahimahullah-
juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat
secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang
berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya
termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai
berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi,
celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (
Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?
Dalam
point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa
meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini.
Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang
meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani -
rahimahullah-
mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari
kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap
meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian
besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan
pendapat (Lihat
Nailul Author, 1/369). Mengenai meninggalkan
shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada
tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang yang meninggalkanshalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i,
Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok,
Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana
dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan
salah salah satu pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga
mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan
adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai
dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi,
intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama
termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat
dalam. (
Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah
menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu).
Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya
bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang
merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.”
(QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan
persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak
dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang
meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)
Dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah
Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat.
Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah
seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa
roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa
ambruk dengan hilangnya shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak
ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
(Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di
Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab
Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam
Irwa’ul Gholil
no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang
sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya.
Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk
ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim
dalam kitab
Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi
menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq.
Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan
menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At
Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim
mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di
dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat
Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari
pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan
perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka
menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat
para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang
itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan
shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab
(Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq
(Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (
Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang,
“Sholat oleh, ora sholat oleh.”
[Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa].
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat,
orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para
ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah
meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah
enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah
pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan
tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering
dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah
pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut
terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar.
Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan
sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan
sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan
berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak
sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di
banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka
tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang
meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan
nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti
pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku
bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang
kadang shalat dan kadang tidak.” (
Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat]
Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum
bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang
ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang
dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima]
Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar
waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering
mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir,
namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah
berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat
Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah
sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu
menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –
radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya
di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa
menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan
shalat.”
Imam Ahmad –
rahimahullah- juga
mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara
shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian
dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu.
Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai
hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan
engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu,
sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat
Ash Sholah, hal. 12)
Oleh
karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa
shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan
melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq
(membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya
dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman
adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar
membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau
iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan
kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang
beriman (mu’min-mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah
hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu
yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat
Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga
tidak pernah meninggalkan shalat dan dapat mengingatkan anggota
keluarga, kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya
meninggalkan shalat lima waktu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Selesai disusun di
Panggang, Gunung Kidul, 22 Jumadil Ula 1430 H Al Faqir Ilallah: Muhammad
Abduh Tuasikal Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar Artikel
www.muslim.or.id